“Aku sih anti, ya, sama temen cewek. Gak asik.”
“Perempuan enggak tulus dan seru kalau jadi teman.”
“Mending temenan sama cowok. Real. Gak banyak drama kayak cewek.”
Pernyataan-pernyataan ini sering saya temui (lagi) dalam banyak perbincangan di media sosial belakangan ini. Mungkin topik ini terlalu mengasyikkan untuk tidak dibahas berulang kali.
Baru-baru ini saya menemukan diskusi seputar ini di Twitter, tentang bagaimana teman cowok lebih baik daripada cewek dalam banyak hal. Saya cukup kaget karena banyak yang mengamini stereotip tersebut, dan sebagian besar ternyata perempuan. Mereka terang-terangan mendiskreditkan perempuan lain dalam pergaulan mereka. Hal ini membuat saya menyadari bahwa kita masih berkutat dengan praktik misogini yang bahkan juga datang dari perempuan sendiri alias internalized misogyny.
Saya memang enggak tahu persis apa yang terjadi dalam lingkaran pertemanan mereka itu. Tapi apa pun itu, sepertinya tak ada yang layak menjadi justifikasi atas generalisasi perempuan dan interaksinya dalam pertemanan. Perempuan jelas bisa asyik dan tidak banyak drama. Lagipula, drama itu seru, kok. Bukankah itu alasan kita menyaksikan drama Korea?
Isu ini mengingatkan saya dengan sebuah serial drama Norwegia berjudul “SKAM” (2015). SKAM, yang berarti shame dalam bahasa Inggris, mengisahkan tentang kehidupan anak SMA di Norwegia dengan melibatkan konflik seputar pacaran, pertemanan, keluarga, agama, orientasi seksual, dan kesehatan mental. Serial ini menampilkan persahabatan lima remaja perempuan yang tidak terlepas dari “drama”, tetapi tetap berperan sebagaimana mestinya, menjaga satu sama lain.
Baca juga: Ketika Perempuan yang Lebih Berdaya Sudutkan Sesama Perempuan
Misalnya saja saat Vilde melabel Eva sebagai perek karena kencan dengan pacar dari sahabatnya sendiri. Sana, yang memang berkarakter vokal serta frontal, kemudian menegur Vilde dengan kalimat, “Jangan hakimi temanmu. Bela ia apa pun yang terjadi.” Lingkaran pertemanan memang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk berbagi cerita. Bebas dari penghakiman. Namun tetap menyadarkan kesalahan.
Pengalaman tersebut tidak kemudian menjadikan Sana antipati terhadap Vilde. Ketika Vilde tiba-tiba pingsan di sebuah pesta, merekalah yang merawatnya hingga sadar. Dalam adegan tersebut, Sana terlihat sangat aktif memberi pertolongan sederhana pada Vilde seolah telah melupakan konflik antara mereka tempo hari. Bahkan ia hanya tertawa pasrah saat Vilde muntah di pakaiannya.
Di season terakhir, Sana—akibat kecerobohannya— terlibat masalah kejahatan digital dengan geng lain yang secara tidak langsung ikut merugikan Vilde. Namun, setelah melewati berbagai pergolakan dan masalah sendirian, ia dikejutkan dengan kenyataan bahwa teman-temannya telah memaafkannya bahkan membelanya sepenuh hati. Adegan ini begitu manis dan mengharukan. Chris, Vilde, Noora, dan Eva menjemput Sana dengan riang sembari meneriakkan namanya. Dengan mobilvVan sederhana, mereka tetap bahagia.
Serial ini diakhiri dengan pembacaan pidato yang ditulis oleh Noora sebagai hadiah Idul Fitri untuk Sana. Betapa mereka penuh dengan kejutan. Siapa sangka serial ini akan ditutup dengan perayaan Idul fitri dan bukan Russefeiring—agenda perayaan kelulusan khas remaja Norwegia—yang menjadi latar belakang pembentukan geng mereka.
Begitulah “SKAM” menggambarkan potret pertemanan yang lucu, frontal, dan loyal. Mereka terlibat drama, tetapi mampu menemukan jalan keluarnya lewat komunikasi, kesabaran, dan pengertian. Sehingga drama seharusnya tidak menjadi sesuatu yang ditakutkan. Justru ia mampu mewarnai dan memperkuat persahabatan.
Baca juga: Kenapa ‘Reply 1988’ Terus Populer
Alasan lain untuk bertahan dalam dinamika pertemanan perempuan adalah ia lebih mampu menyediakan apa yang kita butuhkan. Siapa teman yang akan kita ajak diskusi tentang menstruasi? Siapa yang bisa dengan tulus menenangkan kita saat patah hati? Siapa yang bisa sangat mengerti akan tantangan seorang perempuan kalau bukan seorang perempuan juga?
Logika tersebut sesuai dengan hasil riset yang ditulis oleh Suzanna M. Rose, profesor kajian gender dari Florida. Ia menuliskan bahwa same-sex friendship memberikan bantuan dan loyalitas yang lebih besar ketimbang cross-sex friendship. Khusus pada perempuan, “bantuan” tersebut diwujudkan dalam bentuk perbincangan emosional dan dialog tentang polemik personal, seperti yang dijabarkan oleh peneliti Richard Aukett et al. dari Selandia Baru dalam tulisannya “Gender differences in friendship patterns”. Hal inilah yang umumnya tidak diberikan laki-laki dalam pergaulannya. Menurut mereka, laki-laki cenderung fokus pada melakukan kegiatan bersama, tidak pada dialog.
Sebagai manusia, tentu kita harus memperluas koneksi pada siapa saja. Namun kita selalu butuh ruang aman untuk mengisi energi atau sekadar berbagi. Maka pilihlah dengan tepat ke mana kita mengantarkan diri.
Untuk perempuan di luar sana yang, sayangnya, tidak beruntung mendapatkan teman perempuan yang baik, kalian hanya bertemu individu yang salah, bukan gender yang salah. Yakinlah masih ada perempuan yang tepat menjadi teman untukmu. Girls who support other girls.
Comments