Bishara Sheikh Hamo dari komunitas Borana, Kenya menceritakan pengalaman pahitnya menjalani sunat atau female genital mutilation (FGM) kepada BBC. Saat kecil, ia bersama empat teman perempuannya diarak dengan kondisi ditutup mata, dan dipegang kuat kakinya seperti kambing.
Lalu seseorang mencari labia, dan memotong bagian genitalnya hingga Bishara kesakitan. Keempatnya dipotong dengan pisau yang sama, sehingga relatif tak bersih. Obat penghilang rasa sakit pun cuma berupa ramuan tradisional.
Bishara yang kala itu berumur 11 tahun tak pernah diberi tahu, sunat perempuan itu membuat ia mengalami menstruasi tak teratur dan masalah kandung kemih seumur hidup. Pun, infeksi dan hanya bisa melahirkan lewat bedah caesar.
“Katanya kami harus disunat agar suci, sesuai perintah agama,” kata dia, menirukan ucapan neneknya.
Baca Juga: KUPI 2 Diadakan: Ulama Perempuan Internasional Berkumpul di Semarang dan Jepara
Apa yang dialami Bishara cuma fenomena puncak gunung es dari sunat perempuan. United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) mencatat sepanjang 2020, sekurangnya ada 200 juta perempuan berusia 15-49 tahun dari 31 negara mengalami pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan (P2GP). Di Indonesia sendiri tercatat sebanyak 51 persen anak perempuan berusia 0 hingga 11 tahun mengalami praktik P2GP.
Data ini diperoleh dari hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013. Selain itu dalam hasil survei ini juga ditemukan fakta di mana menurut provinsi, persentase tertinggi praktik P2GP ada di Gorontalo, yaitu sebanyak 83,7 persen dan terendah di Nusa Tenggara Timur sebanyak 2,7 persen.
Tingginya prevalensi perempuan yang mengalami praktik P2GP jadi indikasi kuatnya diskriminasi gender di Indonesia. Yang lebih fatal, 92 persen perempuan mengaku P2GP merupakan bagian dari perintah agama. Begitu yang dikutip langsung dalam penelitian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2018 di 10 Provinsi di Indonesia.
Berangkat dari sini, KUPI II membuat diskusi bertajuk “Pra Musyawarah Keagamaan tentang Perlindungan Perempuan dari Bahaya Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan Tanpa Alasan Medis”.
Dengan menghadirkan para tokoh agama seperti Nur Rofiah, Umma Faridah, Atiyatul Ulya, dan komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi, sesi ini merangkum berbagai pengalaman serta masukan perempuan peserta terkait P2GP.
Hal ini disambut antusiasme tinggi oleh peserta yang didominasi oleh perempuan. Salah satunya adalah Hikmah, bagian dari Gusdurian. Ia menceritakan pengalamannya mengalami P2GP.
Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam
“Anak-anak perempuan di Gorontalo itu semua menjalani khitan perempuan, umumnya saat kami berusia masih dua tahun. Umur di mana kami bahkan belum mengetahui apa-apa bahkan tentang tubuh kami sendiri,” jelasnya.
Dari pengalaman perempuan seperti Hikmah dan masukan dari peserta perempuan lain inilah para pembicara mencatat poin-point penting. Nantinya itu dijadikan bahan musyawarah untuk menetapkan fatwa terkait P2GP.
“Apa hukum Islam terkait P2GP tanpa ada alasan medis? Siapakah pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk mencegah praktik? Dan apa hukum penyalahgunaan wewenang para tenaga medis serta tokoh agama yang melakukan P2GP tanpa alasan medis? Ketiga pertanyaan ini dijawab setelah kita melakukan pra musyawarah dengan mendengar segala masukan, rekomendasi, dan pengalaman perempuan peserta yang ada,” jelas Dr. Atiyatul Ulya.
Pentingnya isu P2GP dibahas dalam KUPI II ini juga tak lepas dari visi misi KUPI dalam memanusiakan manusia lewat menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dalam press conference pada pukul 13:00 di Jepara bilang, selama ini salah satu akar kekerasan perempuan adalah diskriminasi berbasis gender.
Baca juga: Konferensi Internasional KUPI II: Teguhkan Eksistensi Ulama Perempuan
Struktur dan relasi sosial ini sayangnya menempatkan perempuan berada jauh di bawah laki-laki. Karena itu, dalam upaya penghapusan kekerasan, penting bagi pihak yang punya peran penting di masyarakat untuk mengkampanyekan kesetaraan yang substantif.
“Sejak diselenggarakannya kongres pertama, KUPI telah mengupayakan kepemimpinan perempuan yang setara dengan laki-laki dalam berbagai isu. KUPI juga mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga, bagi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, upaya yang dilakukan KUPI sangat berharga,” tuturnya.
Comments