Women Lead Pendidikan Seks
November 11, 2020

Surat untuk Bapakku di Hari Ayah

Pada Hari Ayah Nasional ini, kusampaikan kata-kata yang sulit sekali terucap ketika aku bertatap muka dengan bapakku.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Lifestyle
FatherHood_Equality_Kesetaraan_Gender_House_Rumah_Tangga
Share:

Cukup lama dan sulit saya menyiapkan diri untuk menuliskan hal paling personal ini: Sebuah surat untuk bapak di Hari Ayah, surat untuk orang yang selama puluhan tahun hidup dekat dengan saya secara fisik, tetapi tidak secara emosional. Beragam konflik sejak kecil yang membekas di benak saya hingga dewasa menyisakan rasa kecewa, marah, dan sedih setiap mengingat sosoknya, terlepas dari deretan kebaikan yang ia lakukan dalam membesarkan saya dan kakak saya.

Kata psikolog saya, emosi negatif yang yang muncul akibat hubungan anak dan ayah yang tak harmonis sejak dulu memang melekat lebih erat, sampai-sampai membuat saya kesusahan mengingat momen indah bersamanya, susah menetralkan perasaan apalagi sampai memahami, memaklumi, dan memaafkan tindakan-tindakan yang barangkali tidak dia sengaja atau tak diketahuinya telah melukai saya.

“Kalau kamu belum bisa atau mau bicara langsung sama dia, coba tuliskan surat untuk bapakmu. Kamu simpan sendiri saja enggak apa-apa. Setidaknya ini membantu menyalurkan perasaanmu yang terpendam lama,” pesan psikolog saya.

Keengganan luar biasa menghinggapi saya saat mendapat pesan itu. Tapi bagaimana pun, saya ingin melangkah maju, memulihkan luka agar orang sekitar saya juga tak lagi-lagi terkena imbas trauma masa kecil saya yang mengemuka, walau hanya diawali dengan kata-kata yang mungkin tidak akan sampai kepadanya langsung.

Untuk Bapak,

Masih jelas dalam ingatan saya ketika kamu membangunkan saya pagi-pagi sebelum sekolah, untuk memperbaiki PR yang sudah kamu koreksi malam sebelumnya. Saya yang sering tidak teliti ini beruntung mempunyai bapak sepertimu yang siap sedia membantu anaknya soal pelajaran.

Tak hanya PR, kamu pun lihai sekali memperbaiki berbagai barang yang rusak di rumah, membuat macam-macam perabot dari tanganmu yang telah keriput itu, hanya supaya kita bisa lebih berhemat dan mengajarkan saya memanfaatkan barang yang kita punya.

Dan sepanjang 14 tahun saya bersekolah, kamu tak pernah absen mengantar saya ke sekolah, kadang juga menjemput pada akhir pekan. Ditambah lagi saat saya hendak bepergian ke mana-mana, entah jauh atau dekat, kapan pun saya membutuhkan, kamu tak berkeberatan mengantar saya, memastikan saya tiba di tujuan dengan selamat.

Baca juga: Pelajaran Soal Relasi Remaja Putri dan Orang Tua dari Kasus ‘F’

Sekali waktu saat kamu mengantar saya pergi, kecelakaan terjadi dan itu terus terngiang di kepala saya sampai sekarang. Di depan mata saya, kakimu terluka parah hingga harus dioperasi, bahkan kadang masih terasa ngilu sampai kini. Dalam kondisi gawat seperti itu pun, kamu terlihat berusaha tetap kuat, bahkan masih bisa bicara dan tersenyum seolah tak terjadi apa-apa kepada tenaga medis dan kerabat yang berbondong-bondong datang. Sementara saya rapuh melihat darah mengucur deras dan didera rasa bersalah karena menganggap kejadian itu ada lantaran saya memintamu mengantar pergi, kamu terlihat begitu sabar dan sekokoh kayu jati pada kursi tamumu yang usianya melebihi usia saya.

Kamu juga yang mengajarkan saya melalui tindakanmu bahwa pekerjaan rumah adalah tugas setiap orang, gender apa pun itu. Selepas letih kamu bekerja di luar, kamu tetap membantu Mama mengerjakan tugas-tugas domestik. Lagi-lagi saya beruntung bisa memetik pelajaran ini darimu, karena tidak di semua keluarga tindakan serupa denganmu bisa ditemukan.

Kamu itu orang baik, begitu yang diyakini semua orang yang mengenalmu, termasuk saya. Sampai pada suatu ketika, saya mencoba mengeluarkan hal-hal yang terpendam selama belasan tahun, tentang caramu dan almarhumah Mama mengasuh dan mendidik saya.

Kita berkonflik sampai saya mengambil jarak cukup jauh dan lama denganmu. Seperti halnya dengan Mama, saya kesulitan untuk menetralkan perasaan dan mencapai rekonsiliasi denganmu. Saya terpaku di titik sepakat untuk tidak sepakat denganmu dalam berbagai hal prinsipil.

Ada perasaan kecewa, marah, dan sedih saat saya mengeluarkan unek-unek dan kamu membalas “Bapak cuma melakukan apa yang banyak orang lakukan”. Pak, tak semua yang banyak orang lakukan selalu benar dan baik. Saat Bapak mengucapkan itu saya berpikir, sisi diri saya sebagai manusia hanya diakui bagian makhluk sosialnya saja dan sebagai makhluk individual, saya dilupakan.

Baca juga: Surat Cinta untuk Anak-anak Perempuan di Indonesia

Ketika itu ingatan saya berlari ke momen ketika Mama pernah berucap, “Pokoknya kalau dibilangin orang tua harus nurut”. Saya merasa kecil dan ketika beranjak dewasa serta mampu berargumentasi, saya tetaplah dianggap tak berdaya, tak berkemampuan, tak dipercaya. Memang, berapa pun usia anak, kerap ia tetap dipandang sebagai anak kecil sang orang tua yang butuh panduan dan perlindungan. Tapi, Pak, hal itu rupanya berefek buruk pada kepercayaan diri saya dan kepercayaan saya pada orang lain, termasuk kepada Bapak dan Mama.

Saya ingat saat pertama kali saya depresi setelah putus cinta pada masa SMA, Bapak dan Mama berpikir jalan terbaik adalah memanggil orang gereja untuk bicara dengan saya alih-alih sebagai orang tua berkomunikasi langsung dengan anaknya. Saya berontak. Saya berpikir bahwa kalian merasa anak kalian ini kesurupan dan kalian tidak tahu bagaimana menghadapinya.

Saya maklum bila Bapak tidak terpikirkan untuk menjangkau psikolog atau psikiater karena keterbatasan informasi yang saya dan Bapak punya kala itu. Namun, saya tetap menyayangkan pilihan tindakan Bapak. Dari peristiwa itu saya memandang relasi kita sebagai keluarga tampaknya tak lebih dari dua teman serumah yang jarang bercakap apalagi mengenal. Ada sekelebat rasa iri ketika saya melihat kedekatan teman saya dengan orang tuanya, yang bisa setiap hari berbincang soal apa saja, hal yang sulit sekali saya wujudkan.

Ketika saya punya anak, kamu kembali meneguhkan pernyataanmu soal konformitas dengan kebanyakan orang. Menerapkan standar sosial tradisional yang saklek soal pengasuhan. Seolah-olah saya tak belajar juga tentang bagaimana mengasuh anak. Ada pernyataanmu yang menghakimi saya setelah melihat tubuh anak saya. Tanpa tedeng aling-aling kamu melancarkan itu padahal ada kesempatan untuk bertanya alih-alih langsung menuding.

Perasaan kecewa itu masih ada, Pak. Tapi, banyak bacaan dan obrolan dengan beberapa orang yang mendorong saya untuk menerimamu, menerima keadaan yang sudah saya lalui pada masa lampau, juga menerima diri saya sendiri yang tak lepas dari kesalahan saat menyikapimu.

Baca juga: Kenapa Ayahku Tak Ada di Langit-langit Kamar?

Bagaimana pun, dirimu telah terbentuk puluhan tahun dalam budaya generasi terdahulu, yang sering kali tak sejalan dengan yang saya pelajari soal relasi orang tua-anak dan kesehatan mental. Begitulah mungkin yang kamu pelajari dan idealnya diterapkan ke anak cucumu, padahal menurut saya tidak mesti begitu. Bagaimana pun, tanpa campur tanganmu dalam hidup saya, tidak mungkin saya sampai pada titik sekarang.

Sebenarnya berat sekali rasanya, Pak, mencoba memulihkan batin, memaafkan dan meminta maaf. Kadang setelah dua-tiga langkah, saya kembali ke titik nol dengan berjubel pikiran negatif dan keraguan bahwa kita bisa berdamai. Tapi saya mau mengusahakan itu, saya belum mau berhenti.

Sebagaimana saya, kamu pun tetap berusaha memperbaiki relasi dengan saya di tengah batasan yang saya buat di antara kita. Kamu juga tetap sabar di sana menunggu saya kembali terbuka kepadamu. Kamu telah berusaha, dengan segala pengetahuan dan kemampuan yang kamu punya.

Terima kasih atas usahamu, Pak. Terima kasih atas jerih payahmu untuk saya terlepas kini kita tak berbicara dengan “bahasa” yang sama, dan masih jauh untuk mewujudkan hari-hari kita berbincang dari hati ke hati. Entah apakah hari itu akan datang, atau hanya jadi angan seperti keinginan saya melakukan itu dengan Mama. Saya berharap, permasalahan tak selesai saya dengan Mama tidak kembali terulang pada relasi kita.

Maaf karena saya belum mampu bertatap muka dan berbincang panjang denganmu. Maaf karena sikap kerasku kepadamu saat itu membuat pipimu basah diam-diam. Dan maaf, Pak, karena saya tak bisa menjadi anak yang kamu dambakan, yang memegang kepercayaan seperti yang kamu pegang.

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop