Women Lead Pendidikan Seks
June 09, 2020

Survei Komnas Perempuan: KDRT Naik Selama Pandemi, Sedikit yang Melapor

Latar belakang pendidikan pendidikan tinggi tidak serta merta mendorong perempuan untuk melaporkan kekerasan yang dialami.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Safe Space
Share:

Tingkat pendidikan tinggi ternyata tidak serta merta mendorong perempuan untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami selama pandemi. Hal ini merupakan salah satu temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) setelah melakukan survei daring selama April hingga Mei 2020 ketika pembatasan sosial diberlakukan pemerintah.

Survei ini direspons oleh 2.285 orang, 1.885 di antaranya perempuan. Sebagian besar perempuan berusia 31-50 tahun, lulusan S1/sederajat, menikah dan memiliki anak, bekerja penuh waktu, dan tidak memiliki anggota keluarga yang termasuk kelompok rentan.

Selama pandemi, 88 persen responden perempuan dan 10 persen responden laki-laki menyatakan semakin sering mengalami kekerasan. Dari jumlah tersebut, 80,3 persennya tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya. Dari kelompok responden yang berlatar pendidikan S1 hingga pascasarjana, 79 persennya memilih diam saja ketika menerima kekerasan. Lebih lanjut, sebanyak 68,8 persen responden juga tidak menyimpan kontak layanan pengaduan kekerasan.

Berkaca dari hasil temuan ini, Komnas Perempuan memandang masih rendahnya kesadaran dalam hal manajemen risiko kekerasan baik pada responden perempuan maupun laki-laki.

 “Ini mempertegas bahwa kalau kita hanya melihat dari laporan, itu hanya puncak gunung es,” kata Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan, yang memaparkan temuan survei dinamika perubahan rumah tangga selama pandemi dalam konferensi pers daring (3/6).

Masalah ekonomi

Menurut Komnas Perempuan, literasi teknologi dan masalah ekonomi pada masa pandemi COVID-19 menjadi faktor yang memengaruhi pengaksesan layanan pengaduan, serta berbagai permasalahan yang muncul selama masa Kerja dari Rumah (WFH) dan Belajar dari Rumah (SFH).

Sebanyak 72 persen responden melaporkan bahwa pengeluaran mereka bertambah selama pandemi dan 40 persen responden merasa khawatir akan kehilangan pekerjaan di masa krisis ini.

Pekerja di sektor informal lebih rentan mengalami kekerasan daripada pekerja di sektor formal selama pandemi. Hal ini karena kerja informal lebih memiliki ketidakjelasan secara penghasilan ketika krisis sekarang. Situasi tersebut diduga mendorong terjadinya kekerasan ekonomi, yang berdampak secara paralel terhadap terjadinya kekerasan fisik, psikologis, dan seksual.

Baca juga: Wabah Corona Langgengkan KDRT, Hambat Penanganan Kasus

Komnas Perempuan juga menyoroti perkara beban kerja yang diemban baik perempuan maupun laki-laki selama pandemi. Mayoritas responden (96 persen), baik laki-laki maupun perempuan, menyatakan beban kerja rumah tangga yang mereka pikul semakin banyak.

Jumlah responden perempuan yang mengerjakan beban kerja domestik dengan durasi lebih dari tiga jam dua kali lebih banyak dibanding laki-laki. Satu dari tiga responden yang menyatakan adanya penambahan beban kerja domestik menyebutkan dirinya mengalami stres.

Kerentanan terhadap beban kerja berlipat dan kekerasan terhadap perempuan paling banyak ditunjukkan oleh responden perempuan yang berlatar penghasilan kurang dari Rp5 juta, bekerja di sektor informal, berumur 31-40 tahun, berstatus menikah dan memiliki anak lebih dari tiga orang, serta menetap di 10 provinsi dengan paparan COVID-19 tertinggi.

Masalah relasi rumah tangga

Temuan lain survei ini menunjukkan 10,3 persen responden yang mengalami ketegangan dalam hubungannya dengan pasangan. Ketegangan relasi dengan pasangan dua kali lebih banyak dilaporkan oleh responden berusia 31-40 dan berpenghasilan kurang dari Rp5 juta dibandingkan kelompok berpenghasilan lebih tinggi.

Kekerasan dalam rumah tangga yang lebih banyak dilaporkan oleh responden adalah kekerasan psikologis dan ekonomi. Sebanyak 289 perempuan (15,3 persen) menjawab kadang mengalami kekerasan psikologis, sementara 66 perempuan (3,5 persen) menjawab sering. Sedangkan kekerasan ekonomi dilaporkan oleh 10 persen responden perempuan dan kurang dari 4 persen laki-laki.

Kekerasan semakin sering terjadi pada kelompok responden berpenghasilan kurang dari Rp5 juta dan mengalami penambahan pengeluaran selama pandemi. Hal ini dinyatakan oleh hampir 80 persen responden dari kelompok penghasilan tersebut.

Baca juga: 93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan yang Dialami: Survei

Selain itu, survei ini juga menemukan bahwa anak teridentifikasi sebagai anggota keluarga di rumah yang paling banyak mengalami kekerasan, diikuti oleh pasangan dan ibu/mertua perempuan. Di samping sebagai korban kekerasan, anak juga disebutkan sebagai pelaku kekerasan terbanyak kedua setelah pasangan.

Komnas Perempuan mengakui sejumlah keterbatasan survei yang dilaksanakan secara daring, di antaranya kurang bervariasinya jawaban karena mayoritas responden berasal dari Pulau Jawa. Selain itu ada kemungkinan keterbatasan akses internet dan kemampuan mengakses data secara daring sehingga survei ini hanya mencakup kelompok tertentu saja. Proporsi responden perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang menjadi kelemahan lain yang dilaporkan Komnas Perempuan. 

Kendati demikian, survei ini hanya merupakan satu bagian dari rangkaian kegiatan yang dilakukan Komnas Perempuan dalam menyikapi kondisi perempuan selama pandemi. Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Maria Ulfah Ansor, mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan beberapa tahapan lain setelah survei daring ini.

“Kami akan menyebar angket untuk pengada layanan yang sedang diproses juga analisisnya. Setelah itu, kami akan melakukan FGD (focus group discussion) sebanyak 12 kali dengan berbagai pemangku kepentingan,” ujarnya dalam konferensi pers yang sama.

“Kami akan mendengarkan masukan-masukan dari para perempuan yang positif COVID-19 dan berhasil sembuh, para relawan, tenaga kesehatan, perempuan terdampak termasuk perempuan kepala keluarga, juga masukan kelompok minoritas termasuk mereka yang terdiskriminasi selama ini,” papar Maria Ulfah.

Di samping itu, Komnas Perempuan juga akan melakukan FGD dengan pakar-pakar dan pengambil kebijakan. Dari hasil kajian survei daring dan penyebaran angket ke pengada layanan serta FGD, akan dirumuskan keputusan dan rekomendasi yang ditujukan kepada para pengambil kebijakan, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan publikasi dan kampanye.

Artikel ini didukung oleh hibah Splice Lights On Fund dari Splice Media.

Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan di sini.

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop