Film Pengabdi Setan 2: Communion (2022) relatif jadi buah bibir warganet sejak penayangan trailer perdananya. Beberapa orang bahkan menyebutnya sebagai film horor Indonesia paling menyeramkan. Sang sutradara Joko Anwar nampaknya paham betul elemen apa yang perlu dimasukkan dalam film agar penontonnya teriak histeris sembari menutup mata.
Sama seperti film pertamanya, Joko Anwar lihai menggabungkan scoring mencekam dan suara keras dalam berbagai adegan jumpscare. Tak lupa masukkan visual ketakutan jamak manusia: Kematian. Hasilnya, kamu akan melihat parade horor, dari pengkafanan, penguburan, dan salat untuk jenazah.
Jika belum puas, tambahkan dengan visual setan pocong dan kuntilanak. Maka, penonton seperti saya dijamin akan sulit tidur nyenyak sambil memeluk guling. Karena ketakutan ini, saya pun sampai harus mengungsi ke kamar adik laki-laki saja dan tidur di kamarnya selama sepekan.
Nyatanya saya tak sendiri, dua teman dekat saja menonton Pengabdi Setan juga mengalami hal serupa. Di kasus mereka, mereka beberapa hari tak bisa tidur lelap dan harus tidur dalam lampu menyala terang. Kata mereka, mereka terlalu takut untuk menutup mata dan mematikan lampu. Takut kalau tiba-tiba pocong atau kuntilanak berkunjung ke kamar.
Melihat rasa takut yang ditimbulkan oleh film horor ini, muncul satu pertanyaan: Apa benar kita ini sebenarnya diciptakan dengan rasa takut terhadap hal-hal tertentu?
Baca Juga: Benarkah Membayangkan Skenario Terburuk Bikin Hidup Bahagia?
Rasa Takut Dipelajari Bukan Bawaan Lahir
Manusia memang memiliki rasa takut dan ini adalah salah satu jenis emosi paling dasar dan kuat. Rasa takut bisa sangat melumpuhkan, tetapi juga berperan penting dalam kelangsungan hidup manusia.
Uniknya, kita tak pernah secara harfiah memiliki rasa takut sejak lahir. Simpelnya, kita tak dilahirkan dengan rasa takut pada hal tertentu. Puluhan tahun ilmuan dan masyarakat awam memahami, manusia punya rasa takut bawaan, utamanya pada ketinggian dan suara keras.
Takut pada ketinggian datang dari hipotesis penelitian yang dilakukan oleh psikolog E.J. Gibson dan R.D. Walk pada 1960. Keduanya terkenal karena visual cliff, yakni evaluasi persepsi kedalaman pada bayi berusia 6 hingga 14 bulan, serta hewan. Mereka menempatkan bayi pada platform yang memiliki plexiglass (akrilik) tepat di luar tepinya untuk melihat berapa banyak bayi yang benar-benar akan melangkahi visual cliff.
Dari percobaan ini, sebagian bayi tidak melewati dan melangkah ke kaca plexiglass. Dari riset inilah, mereka berasumsi takut jatuh adalah bagian dari rasa takut bawaan. Semacam naluri untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
Kini para peneliti mempertanyakan ulang hipotesis yang sudah jadi pemahaman umum ini. Dalam Fear of heights in infants? (2014), tiga peneliti dari bidang psikologi mengumpulkan sejumlah bukti penelitian dari 1961 hingga 2013 dan mendapatkan kesimpulan serupa. Bahwa manusia sebenarnya tak dilahirkan dengan rasa takut tertentu. Dalam penelitian pada 2006 yang mereka kutip, bayi enggan merangkak di sisi dalam plexiglass tidak menunjukkan ekspresi ketakutan prototipik. Mereka bahkan tersenyum.
Mereka tampak menikmati masalah. Demikian juga, di lereng curam, ekspresi wajah bayi didapati positif atau netral, bukan negatif, terlepas dari apakah mereka berusaha melampaui batas atau menghindarinya.
Jika memang rasa takut bawaan itu tak ada. Kita, manusia tak pernah punya rasa takut terhadap hal tertentu, lantas dari mana rasa takut terhadap hal tertentu itu muncul? Jawabannya adalah dari pengalaman.
Dalam penelitian Social learning of fear (2007), Andreas Olson, profesor di Departemen Ilmu Saraf Klinis bersama rekannya Elizabeth Anya Phelps, profesor Pershing Square dari Ilmu Saraf Manusia di Universitas Harvard mengungkapkan, sebagian besar pengetahuan kita tentang ketakutan datang dari eksperimen perilaku. Simpelnya, ketakutan ini tercipta dan berkembang karena dipelajari oleh manusia itu sendiri.
Ketakutan kita terhadap laba-laba, ular, kegelapan di antaranya, merupakan ketakutan alami yang berkembang pada usia muda, dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya kita. Ia murni dari faktor eksternal manusia. Sehingga, anak kecil tidak secara otomatis takut pada kegelapan. Sebaliknya, ia takut lantaran dididik untuk takut atau ia melihat orang lain takut terhadap hal-hal tersebut.
Hal senada juga dikatakan oleh Seth Norrholm, ahli saraf translasi di Emory University pada CNN. Ia mengatakan bagaimana kecenderungan kita takut pada laba-laba dan ular adalah ulah nenek moyang kita yang kemudian berevolusi hingga kini.
Didikan ini kemudian terlihat dari respons manusia terhadapnya. Berdasarkan penelitian Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Jerman yang dikutip dalam Science Alert, ditemukan respons berbeda dari anak-anak prasekolah terhadap gambar laba-laba, ular, dan bunga.
Ketika ditunjukkan gambar ular dan laba-laba, anak-anak ini mengalami pelebaran pupil. Dalam kondisi cahaya yang konstan, perubahan ukuran pupil ini merupakan sinyal penting untuk aktivasi sistem noradrenergik di otak, yang bertanggung jawab atas reaksi stres. Dengan demikian, bahkan bayi termuda pun tampaknya stres oleh kelompok hewan ini.
Hal ini diyakini terjadi karena bias yang kita bawa ke arah mereka sepanjang waktu. Bahwa mereka berbahaya dan perlu ditakuti. Sehingga, ungkapan Norrholam pun jadi benar adanya.
Baca Juga: Ajari Anak-anak Hadapi Kegagalan dan Mereka Akan Lebih Kuat
Takut pada Hal Gaib yang Lahir dari Agama
Lantas, dari manakah rasa takut kita terhadap hantu dan hal-hal gaib ini berasal? Frank T. McAndrew, Profesor Psikologi dari Knox College mungkin punya jawabannya untuk kita.
Dalam artikelnya yang diterbitkan The Conversation, McAndrew menjelaskan rasa takut kita terhadap hantu atau hal-hal berbau gaib datang dari agama yang kita anut. Beberapa peneliti berpendapat, agama berevolusi sebagai perangkat manajemen terror. Ini adalah cara praktis untuk menghilangkan ketidakpastian seputar salah satu hal paling menakutkan yang dapat kita bayangkan, yaitu kematian.
Hampir setiap agama memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi pada kita setelah kita mati dengan jaminan bahwa kematian bukanlah akhir. Di Islam kita kenal Jannah atau surga, tempat di mana jiwa kita tinggal selamanya jika kita memiliki amalan baik yang banyak.
Umat Katolik selanjutnya percaya pada rumah singgah yang disebut api penyucian. Tempat di mana orang-orang yang tidak cukup layak masuk surga tetapi terlalu baik untuk masuk neraka dapat membayar iuran mereka sebelum mendapatkan tiket ke surga.
Sementara, umat Buddha dan Hindu percaya pada siklus kematian dan reinkarnasi yang pada akhirnya dapat menghasilkan keadaan spiritual permanen. Bahkan kepercayaan Yahudi, yang tidak terlalu fokus pada kehidupan setelah kematian, menganggap kehidupan setelah kematian memang ada.
Baca juga: Kita Tak Dilahirkan untuk Bahagia, Kenapa Masih Terobsesi?
Agama yang hadir untuk meredakan kecemasan kita tentang kematian menurut McAndrew memiliki efek buruk dalam meningkatkan kemungkinan kita khawatir tentang hantu, roh, dan makhluk gaib lainnya.
Dalam buku Paranormal America (second edition) Ghost Encounters, UFO Sightings, Bigfoot Hunts, and Other Curiosities in Religion and Culture (2017) misalnya dituliskan bahwa mereka yang menggambarkan diri mereka sebagai orang yang percaya Tuhan dan menganut agama tertentu dua kali lebih mungkin untuk percaya pada hantu daripada mereka yang tidak menganut agama tertentu atau tidak mempercayai keberadaan Tuhan.
Narasi agama yang berporos pada cerita nabi, dewa, roh, malaikat, mukjizat, yang dihuni oleh kader nabi, dewa, roh, malaikat, dan mukjizat membentuk persepsi kita sendiri terhadap hal-hal gaib dan bagaimana kita memvisualisasikannya. Hal ini senada dengan penelitian The critical role of mental imagery in human emotion: insights from fear-based imagery and aphantasia (2021) yang menyimpulkan, cerita menakutkan dari hal-hal berbau gaib hingga jatuh dari tebing, atau berada di pesawat yang akan jatuh akan kehilangan faktor penakutnya ketika pembaca tidak bisa membayangkan adegan secara visual.
Karenanya, kenapa kita begitu takut pada setan dan hantu tak lepas dari bagaimana agama yang kita anut berperan besar dalam memvisualisasikan eksistensi makhluk-makhluk gaib ini. Kembali pada artikel yang McAndrew tulis, ia menjelaskan Katolik Abad Pertengahan, hantu dianggap sebagai jiwa yang tersiksa dari orang-orang yang menderita karena dosa-dosa mereka di api penyucian.
Selama Reformasi Protestan, karena sebagian besar umat percaya, jiwa segera pergi ke surga atau neraka, aktivitas paranormal dianggap sebagai ulah malaikat, setan, atau makhluk gaib lainnya yang jelas bukan manusia.
Lalu bagi umat Hindu, hantu adalah jiwa orang-orang yang mengalami kematian akibat kekerasan atau orang-orang yang tidak diberikan ritual kematian yang sesuai dan diperlukan. Hantu Buddhis adalah individu yang bereinkarnasi yang mungkin sedang memilah karma buruk.
Ada beberapa agama lain, seperti Saksi-Saksi Yehuwa, yang juga percaya penampakan hantu adalah setan yang menyamar daripada jiwa orang yang sudah meninggal. Lalu dalam tradisi lisan Yahudi, kita mengenal cerita tentang hantu jahat (Dybbuks) dan hantu yang baik hati dan penolong (Ibburs). Mereka inilah yang mencoba memasukkan diri mereka ke dalam urusan manusia.
Sementara, untuk Muslim sendiri, kepercayaan terhadap makhluk gaib jadi salah satu kunci pemahaman terhadap dzat-dzat Allah dan semua ciptaannya. Orang Muslim mempercayai adanya Jin. Makhluk ciptaan Allah yang bisa berubah wujud tergantung pada situasi yang bahkan eksistensinya terdapat dalam Alquran. Sebagai makhluk gaib ciptaan Allah, Jin dekat sekali dengan kita. Mereka sedekat pembuluh nadi, ada yang baik juga jahat dan perubahan wujud mereka biasanya dilandasi oleh ketakutan seseorang terhadap sesuatu.
Dengan demikian, maka tak mengherankan Pengabdi Setan jadi momok buat banyak orang. Buat orang Indonesia yang sudah dari kecil dijejali segala cerita horor dengan hantu atau setan lokal, film ini jelas membangkitkan ketakutan mereka. Ketakutan yang sudah diajarkan sedari kecil dan kembali diperkuat oleh kepercayaan agama.
Comments