Diskursus populer di media selalu mengaitkan terminologi queer dengan identitas seksual maupun gender di luar heteroseksual. Namun, queer juga dapat dilihat sebagai metode untuk membongkar norma-norma tradisional, menurut peneliti studi gender dan seksualitas.
“Queer bukanlah LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Teori queer dapat digunakan sebagai alat untuk membongkar seksualitas kita, baik heteroseksual maupun LGBT,” kata Hendri Yulius, peneliti dan penulis buku Coming Out, dalam diskusi berjudul Queer yang diadakan oleh Museum MACAN di Jakarta (30/3).
Sebagai sebuah disiplin keilmuan, menurut Hendri, teori ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan gay liberation (pembebasan gay) yang muncul pada tahun 1960-an di Amerika Serikat. Stonewall uprising (protes terhadap insiden penyerangan kaum LGBT oleh di Bar Stonewall, kota New York) sering kali dianggap sebagai awal kemunculan gerakan pembebasan ini.
“Gerakan gay liberation melihat seksualitas sebagai potensi untuk melawan norma-norma sosial. Mereka ingin membongkar seksualitas yang normatif, misalnya konsep pernikahan,” ujar Hendri.
Ia menambahkan, pada tahun 1980-an, terjadi krisis AIDS di Amerika Serikat, yang kemudian mengubah arah gerakan pembebasan gay menjadi aktivitas AIDS. Krisis ini juga membuka diskusi tentang seksualitas menjadi lebih terbuka, sehingga hal ini membantu visibilitas kelompok LGBT, ujarnya.
Bangunan dasar teori queer adalah anti-normativitas atau selalu mencurigai dan mempertanyakan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
“Sebagai sebuah pendekatan kritis, teori queer (membantu kita) melihat mengapa sebuah hal dijadikan norma. Hal apakah yang hilang, ditutup, mengalami eksklusi, dan dibuang ketika suatu hal dijadikan norma. Ketika ada sebuah hal yang normatif, maka ada hal yang non-normatif,” kata Hendri.
Ia menambahkan, karena teori queer adalah sebuah pendekatan anti-normativitas, maka sifatnya juga non-identitarian.
“Teori queer mengkritisi mengapa identitas seksual itu harus ada. Kenapa aktivitas seks, sebagai sesuatu yang kita lakukan di ruang privat, menjadi penanda identitas kita? Acara pernikahan straight couple itu legitimasi aktivitas seks oleh publik, kan? Apakah dampak dari identitas-identitas itu, termasuk identitas LGBT?” tanyanya.
Dampak Institusionalisasi Seksualitas
Teori queer juga dapat digunakan untuk mengkritik institusionalisasi seksualitas. Ketika sebuah hal dilembagakan, maka akan muncul berbagai regulasi, ujar Hendri.
“Misalnya, pernikahan. Kenapa saat ini hubungan pernikahan hanya didefinisikan sebagai ikatan antara dua orang? Pernikahan hanya dianggap sah kalau didaftarkan dan hanya melibatkan dua orang. Bagaimana dengan orang yang menjalin hubungan secara terbuka,” kata Hendri.
Di sisi lain, homonormativitas muncul sebagai dampak dari legalisasi pernikahan sesama jenis. Salah satu contoh homonormativitas adalah pelabelan gay baik dan gay buruk.
“(Ada anggapan bahwa) untuk menjadi gay yang baik berarti harus menikah, memiliki keluarga, dan tidak ngeseks secara serampangan. Di Australia, ada yang melihat bahwa pernikahan sesama jenis hanya sebagai pengurangan bahaya agar kelompok konservatif tidak menang dan tidak semakin mendiskriminasi teman-teman non-heteroseksual,” ujarnya.
Saat ini, di banyak negara, heteroseksualitas menjadi bagian dari “bangunan” negara dan bangsa. Sementara itu, homoseksualitas berada di luar kerangka tersebut. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, pernikahan sesama jenis telah diakui. Namun, Jasbir Puar (professor di Departemen Kajian Perempuan dan Gender di Universitas Rutgers) melihat bahwa ada “harga yang harus dibayar untuk sebuah kebaikan”.
Puar memperkenalkan konsep homonasionalisme dalam bukunya yang berjudul Terrorist Assemblages: Homonationalism in Queer Times untuk memahami bagaimana hak-hak LGBT berpadu dengan nasionalisme dan digunakan untuk mengontrol kelompok lain yang dianggap bertentangan.
Hendri menuturkan, di Amerika Serikat, misalnya, pengakuan terhadap LGBT digunakan untuk membatasi imigran muslim. Banyak yang menganggap mereka homofobik, berasal dari kultur yang terbelakang, dan tidak seperti AS yang modern.
Sementara itu, dalam dunia seni, istilah queer art dan queer artist banyak dijumpai, terutama dalam sastra, namun terminologinya tidak tepat, menurut Hendri.
“Hal apakah yang membuat suatu karya seni dianggap queer art? Apakah karena yang membuat seorang gay atau lesbian sehingga otomatis karyanya dianggap queer art? Padahal queer itu sendiri kan menolak identitas. Jadi, apakah sebenarnya (istilah) queer art itu ada? Atau enggak ada? ” katanya.
Ia menambahkan, teori queer dapat digunakan untuk mengkritik mengapa sebuah karya seni dianggap sebagai representasi Indonesia, tetapi karya lain tidak.
“Ada political funding, ada kepentingan nasional. Kita harus ‘membongkar’ itu semua,” ujarnya.
Baca juga soal diskriminasi terhadap atlet terkait pembatasan level testosteron.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa
Comments