Women Lead Pendidikan Seks
March 31, 2022

‘The Adam Project’, Film Sci-Fi yang Berbalut Tema Penerimaan Diri

The Adam Project kental dengan tema penerimaan diri yang mampu membuat penontonnya menangis haru.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Culture // Screen Raves
The Adam Project review
Share:

Terpancing ulasan-ulasan positif di Twitter, saya akhirnya memutuskan menonton The Adam Project, film keluaran Netflix. Banyak yang bilang filmnya emosional dan menggugah air mata. Sebagai seseorang yang mudah terharu dan menangis, saya menaruh ekspektasi yang cukup tinggi pada film satu ini. Apalagi ketika saya tahu genrenya sci-fi alias fiksi-sains perjalanan waktu, genre favorit saya. Lalu, ada nama-nama besar seperti Ryan Reynolds, Zoe Saldaña, Jennifer Garner, dan Mark Ruffalo di sana.

Ternyata benar saja, film besutan Shawn Levy ini sukses membawa saya dalam pusaran emosi. Dengan berbagai adegan yang sebenarnya sederhana, film ini tidak hanya mampu menghadirkan gelak tawa, tapi juga sukses membuat tangis saya pecah sejadi-jadinya.

Baca juga: Ulasan ‘Belle’: Perempuan yang Terluka, Patah, Bangkit

Film The Adam Project, Sci-Fi Unik tentang Penerimaan Diri

Sebetulnya, The Adam Project adalah film sci-fi perjalanan waktu yang sangat klise. Film dibuka dengan latar 2050 dan lantunan lagu The Spencer Davis Group “Gimme Some Lovin'" yang mengudara. Dalam atmosfer nostalgia lewat lantunan musik tahun 80-an, penonton dibawa pada sebuah adegan yang sangat kontras, aksi kejar-kejaran dan saling tembak dua jet futuristik. Salah satu jet ini dikendarai oleh seorang pilot bernama Adam (Ryan Reynolds).

Adam ketika itu sangat ingin kembali ke 2018 untuk mencari kembali istrinya yang “menghilang”. Namun sayang, usahanya gagal. Ia justru kembali pada tahun 2022 dan bertemu dengan Adam kecil yang ketika itu sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Pertemuannya dengan Adam kecil lantas membuatnya frustasi, karena ia tak semestinya berada dalam paralel yang sama dengan dirinya sendiri versi anak-anak. Adam juga harus dibuat pusing karena mesti kembali berhadapan dengan dirinya yang begitu menyebalkan dan membuatnya banyak menyesali keputusan dalam hidupnya.

Dengan plot klise inilah The Adam Project membangun keunikannya. Menolak untuk fokus pada adegan aksi dengan efek CGI mewah, The Adam Project justru fokus pada tema yang salah satunya tentang penerimaan diri. Melalui pertemuan tidak terduga, Adam besar dan Adam kecil, keduanya harus berkompromi dengan diri mereka sendiri. Diri yang sebenarnya merupakan satu kesatuan yang saling berbagi kabut amarah yang sama.

Dalam beberapa adegan diperlihatkan bagaimana Adam kecil seenak hati melontarkan kalimat menyakitkan dan bersikap acuh terhadap sekitarnya utamanya kepada sang ibu. Dan Adam dewasa selalu saja menyalahkan ketidakhadiran ayahnya selama ia tumbuh dewasa sehingga ia menjadi individu yang “gagal”. Tindakan mereka ini lahir karena keduanya menolak untuk merangkul proses duka. Proses dari goresan yang ditorehkan akibat kematian sang Ayah.

Luka yang mereka bagi bersama ini menjadi pembelajaran bagi para penontonnya tentang bagaimana seiring kita tumbuh dewasa, kita lupa caranya untuk berduka. Lupa caranya untuk merangkul kesedihan kita apa adanya. Inilah yang kemudian menghantarkan kita pada gejolak amarah secara konstan. Menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain menjadi satu-satunya cara menghadapi setiap kesedihan yang menghampiri kita. Pada gilirannya kita menjadi individu antipati dan egois yang hanya hidup untuk memberi makan ego kita sendiri.

Sumber: IMDB

Baca juga: Menerima dan Berdamai dengan Duka Lewat ‘Jujutsu Kaisen Vol. 0’

Eksplorasi Relasi Orang tua Anak yang Tak Biasa

Selain mampu membingkai tema duka dalam balutan adegan dan dialog reflektif antar Adam kecil dan Adam dewasa, The Adam Project juga sukses menonjolkan kompleksitas relasi orang tua dan anak. Kompleksitas relasi ini makin menunjukkan sisi emosionalnya di babak ketiga hingga akhir film. Bagi sebagian orang mungkin ini menjadi poin negatif karena mengaburkan esensi genre sci-fi perjalanan waktu. Namun, bagi saya sendiri ini adalah poin plus yang jarang dieksplorasi film-film genre serupa.

Dalam berbagai dialog dan adegan Adam dan ayahnya, penonton misalnya dibuat tersadar tentang bagaimana selama perkembangannya, anak-anak membutuhkan sosok orang tua yang mampu memvalidasi perasaan dan nilai diri mereka.

Orang tua terkadang terlalu fokus mengejar sesuatu. Karir dan uang mereka kejar sampai sering kali lupa bahwa waktu sebenarnya lebih berharga dibandingkan dengan apapun di dunia. Akibatnya, mereka perlahan melepaskan genggaman tangan mereka pada anak-anak mereka. Membiarkannya tumbuh sendirian tanpa sosok yang mampu memberikan kasih sayang dan perhatian cukup pada mereka. Hal inilah yang dialami oleh Adam (kecil dan dewasa) yang merindukan kehadiran sosok ayah dalam kehidupannya yang pada prosesnya membuat ia tumbuh menjadi sosok yang tertutup dan tidak percaya diri.

Tidak hanya melalui hubungan adam dan ayahnya,The Adam Project juga secara apik mengeksplorasi kompleksitas relasi orang tua dan anak melalui penggambaran kerenggangan hubungan Adam kecil dan ibunya.

Secara sosial, ada sebuah peraturan kaku tak tertulis bagi orang tua untuk terus dapat bersikap kuat di depan anak-anak setiap saat. Orang tua tidak diperbolehkan memperlihatkan kerentanan mereka di depan anak-anak. Hal ini tidak lain karena adanya ketakutan anak akan berpikir mereka tidak memiliki sosok kuat yang dapat melindungi dan menjadi tempat mereka bergantung.

Baca juga:  Satu Resep Bahagia: Kenali Diri Sendiri

Peraturan sosial tak tertulis ini sialnya berbahaya dan justru berakibat fatal pada perkembangan emosional kolektif keluarga. Pasalnya, anak tidak bisa mengerti apa yang orang tua rasakan jika orang tua tidak mau secara jujur memperlihatkan kerentanan mereka sendiri. Padahal layaknya manusia pada umumnya, orang tua juga dapat mengalami berbagai gejolak emosi yang harus mereka lampiaskan.

Dalam The Adam Project hal inilah yang tidak dilakukan oleh Ellie Reed (Jennifer Garner). Kendati memperlihatkan kesedihan atas meninggalnya sang suami, Ellie justru berusaha terus bersikap kuat dan tegar di depan anaknya. Sikapnya ini jelas menjadi boomerang mematikan baginya. Adam kecil menganggap ibunya sama sekali tidak peduli dengan kematian sang Ayah hingga menganggapnya egois.

Adam pun berubah menjadi anak yang sering membuat ibunya sakit hati melalui kalimatnya yang pedas dan perilakunya yang menyebalkan. Sayangnya, Ellie harus menelan segala kalimat dan tindakan Adam yang menyakitkan hati dan di satu sisi harus menghadapi dukanya seorang diri.

Secara garis besar, The Adam Project adalah film fiksi ilmiah yang sederhana namun sangat mengena. Dengan formula klasiknya, film ini diramu sedemikian rupa tanpa membuat penontonnya bosan dan sibuk memusingkan teori perjalanan waktu atau tokoh antagonis yang kurang intimidatif. Melalui faktor tersebut, tak heran film ini mendapatkan banyak respons positif dari para penonton. Utamanya bagi mereka yang membutuhkan semacam obat pereda rasa sakit atas luka dan trauma keluarga yang mereka alami.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.