Gosip kerap diasosiasikan sebagai tindakan buruk dan berbahaya dalam masyarakat. Saking buruknya, Paus Fransiskus dalam misa di hotel Vatikan pada Mei 2016 pernah menyebut gosip sebagai persekusi dan harus dihindari oleh umat Kristen.
Reputasi buruk gosip ini sebenarnya tidak muncul dari ruang hampa. Di Indonesia, gosip berbahaya karena pernah jadi alat persekusi dukun santet pada akhir 1990-an. Melalui penelitian yang dilakukan selama dua tahun di Desa Tegalgirang, Nicholas Herriman dari Universitas La Trobe, Australia dalam “The Great Rumor Mill: Gossip, Mass Media, and the Ninja Fear” (2010) memaparkan, pembantaian dukun santet di sana berkelindan dengan gosip bahwa mereka adalah orang yang buruk dan berbahaya. Tak tanggung-tanggung, 194 orang yang dicurigai sebagai dukun santet, tewas, menurut catatan tim ad hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2015.
Gosip di Banyuwangi, kata Herriman, diproduksi oleh segelintir orang lalu menyebar liar lewat komunikasi lisan antarpenduduk. Dalam praktiknya, gosip sangat efektif memperburuk citra seseorang bahkan bisa jadi mesin pembunuh untuk orang-orang tak bersalah. Karena dukun santet tak terang-terangan mengaku sendiri, maka maka proses identifikasi mereka dilakukan secara rahasia, sepihak, dan subjektif oleh tetangga, anggota keluarga, atau teman mereka sendiri.
Kita menyebutnya sebagai kabar angin, atau kata si ini, kata si itu. Efeknya tak main-main, kabar angin di Banyuwangi itu bahkan pernah membunuh ketua pengurus di desanya dan seorang kiai. Kabar angin ini juga jadi cara pemerintah setempat melakukan pendataan yang diinstruksikan oleh Bupati Banyuwangi, Purnomo Sidik pada 6 Februari 1998. Sidik mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajaran aparat pemerintahan dari camat hingga kepala desa untuk mendata orang-orang yang ditengarai memiliki ilmu supranatural dan untuk selanjutnya melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap orang-orang tersebut. Namun rupanya hasil pendataan bocor, dan persekusi terus meluas.
Gosip yang dibuat pun makin ngadi-ngadi. Tak hanya dilakukan oleh perempuan tapi juga lelaki. Disebutkan dalam Geger Santet Banyuwangi (2000), pembunuh dukun santet adalah para ninja yang membawa benda semacam handy-talky untuk berkomunikasi dan mereka mampu berpindah-pindah tempat dengan gesit, terlatih, dan sistematis.
Baca juga: Gosip, Penyihir, dan Usaha Mencabut Taring Perempuan
Selain persekusi dukun santet, gosip juga berperan kuat dalam persekusi etnis Tionghoa. Penelitian dua tahun di Semarang yang dilakukan Zane Goebel dan Nicholas Herriman bertajuk “The Intimacy of Persecution: Gossip, Stereotype, and Violence” (2013) disebutkan, gosip yang dilakukan “bapak-bapak” khususnya, terhadap “Kris”, konglomerat Tionghoa, membuat ia dilabeli sebagai orang pelit, sombong, dan ogah membantu tetangga di tengah krisis moneter 1997-1998. Tak hanya itu, Kris pun dicap sebagai “cukong-nya pemerintah” yang rela membayar uang perlindungan kepada pejabat pemerintah, seperti militer dan polisi. Gosip inilah yang membuat etnis Tionghoa di kota itu dimusuhi dan dicemooh dengan panggilan menyakitkan: China atau Cina.
Gosip Tak Selamanya Buruk
Namun tidak selamanya gosip selalu berkaitan dengan sesuatu yang negatif, termasuk tindakan persekusi. Dalam Witches, Witch-Hunting, and Women (2018), Silvia Federici, perempuan Marxis Italia-AS menjelaskan, di Inggris modern awal, kata gosip mengacu pada teman perempuan dengan konotasi ikatan emosional yang kuat tanpa bermaksud merendahkan. Ia mencontohkan pertunjukan Chester Cycle di mana mengandung sindiran guna meningkatkan status sosial laki-laki sebagai bagian dari struktur kekuasaan lokal. Dalam pertunjukkan ini, gosip selalu dilihat sebagai bentuk solidaritas antarperempuan yang kuat dan mandiri, terutama bagi mereka yang berani bersuara menentang perintah absolut suami mereka.
Federici pun menekankan, gosip bagi perempuan berfungsi untuk menciptakan jaringan dan ruang sosial mereka sendiri, dan secara bersamaan menentang otoritas laki-laki. Dalam praktik pemagaran tanah komunal yang dilakukan laki-laki atas dasar kapitalisme contohnya, perempuan gencar melakukan perlawanan dengan menggosip.
Baca juga: ‘Gossip Girl Indonesia’: Masihkah Kelakuan Chuck Bass Bisa Ditoleransi?
Terkait manfaat gosip, Dr. Ottilia Brown, Psikolog Klinis di Lighthouse Arabia di Dubai kepada GullfNews mengatakan, beberapa ribu tahun yang lalu, nenek moyang kita menggunakan gosip sebagai alat mengumpulkan dukungan terhadap kelompok luar dan untuk mengerek status kelompok sendiri. Gosip menawarkan informasi berharga yang memfasilitasi kelangsungan hidup manusia, dan dengan segera, itu dimanfaatkan sebagai alat mempererat hubungan. Gosip juga mengingatkan anggota kelompok tentang nilai-nilai inklusif mereka.
Senada, Antropolog dan Psikolog Evolusioner Robin Dunbar dalam bukunya Grooming, Gossip, and the Evolution of Language (1996) dan diterbitkan oleh Harvard University Press berujar, gosip berperan penting dalam keberlangsungan hidup nenek manusia. Ia memandang gosip sebagai instrumen tatanan sosial dan grooming tanpa akhir yang dilakukan manusia purba dalam hubungan sosial mereka. Melalui gosip, manusia zaman baheula menyatukan kelompok yang beragam. Pasalnya, gosip memberi identitas bersama dan membantu mereka merasa lebih terhubung dengan lingkungan mereka.
Baca juga: Perempuan Bergosip, Laki-laki 'Boys Talk'
Kendati gosip memang mempunyai peranan penting dalam peradaban dan kelangsungan hidup manusia hingga saat ini, masih harus ada rambu-rambu bagi kita untuk menyeleksi jenis gosip. Dr. Brown dalam wawancara yang sama, menekankan cara membedakan antara gosip baik dan buruk. Salah satunya adalah dengan menggunakan kriteria niat dan konsekuensi. Kita bisa mempertanyakan,“Apakah ada niat jahat dengan memberikan informasi ini?” “Apa potensi konsekuensi negatif bagi orang yang saya bagikan informasinya?”
Dengan cara ini, kita dapat menyeleksi dengan baik gosip yang kita terima, sehingga bisa menekan dampak buruknya.
Comments