Women Lead Pendidikan Seks
March 12, 2018

Tidak Dicintai Salah, Tidak Mencintai Juga Salah

Lahir dengan penyakit Lupus, penulis dianggap tidak tahu diri karena "memilih" pasangan hidupnya.

by Yun Atmawicaya
Issues // Politics and Society
Share:
Memangnya perempuan tidak berhak memilih siapa laki-laki yang diingininya untuk dijadikan pasangan hidup? Pertanyaan tersebut ingin aku teriakkan keras-keras ke seluruh jagat setelah putus hubungan dengan Anjar. Aku merasa lega keluar dari hubungan yang mengekang. Namun kelegaan itu sirna secepat karena komentar seorang kerabat.

“Yun, kamu itu sudah beruntung. Ada laki-laki yang mau serius sama kamu, mau nikahin kamu. Belum tentu ada laki-laki yang mau nerima kamu yang punya penyakit berat kayak gini. Apa kurangnya?”

Masalahnya aku tidak mencintai Anjar! jeritku dalam hati.

Aku ingin mengingatkannya atas pacarku sebelumnya, Bagus, yang kemudian memutuskan hubungan karena alasan dia tidak mencintaku. Kenapa dulu kerabatku tidak protes pada Bagus yang cuma pura-pura cinta padaku? Kenapa dia diam saja saat ada kerabatnya dicampakkan laki-laki? Komentar kerabatku cuma singkat, “Ya sudah, sabar aja. Coba intropeksi dirimu, jangan hanya bisa salahkan Bagus.”

Kontras sekali respons antara peristiwa dengan Bagus dan Anjar.  Jujur, aku sakit hati pada Bagus yang jelas-jelas bilang tidak cinta padaku. Tetapi beberapa tahun berikutnya pada saat aku tidak berhasil mencintai Anjar, aku sama sekali tidak pernah punya maksud balas dendam. Aku sudah berusaha untuk jatuh cinta pada Anjar dalam proses pacaran yang wajar. Mau dikata apa lagi, aku tidak bisa mencintai Anjar, meski aku tahu dia laki-laki yang baik. Bukankah orang bijak bilang cinta tidak bisa dipaksakan?




Aku masih tersinggung dengan kerabatku yang bersikap tak adil itu. Komentarnya pada kejadian dengan Bagus menyiratkan bahwa baginya, perempuan wajib bersikap sabar karena posisinya cuma dikasihani. Dilarang protes kala diperlakukan semena-mena secara psikologis. Aku disuruhnya intropeksi diri dan tidak menyalahkan Bagus, lalu menurutnya aku yang paling salah? Padahal jelas-jelas Bagus berkoar-koar dia cuma mengasihani aku.

Lalu pidato panjangnya tentang Anjar itu pun tak masuk di akal. Baginya, perempuan memang menghuni kasta kedua yang tidak pantas punya pilihan. Baginya, perempuan baiknya menurut saja bila mendapat pinangan dari laki-laki sembarangan. Cinta atau tidak cinta itu urusan belakangan, yang penting ada laki-laki yang mengajak nikah.

Terlebih lagi, dia kira dia bijaksana karena memilih kalimat, “beruntung karena ada laki-laki yang mau menerima kamu yang penyakitan.” Seolah-olah dengan kondisi hidup bersama penyakit menjadikan daya tawarku terjun bebas di mata laki-laki.

Tuhan memang menciptakanku untuk hidup berdampingan dengan penyakit Lupus Eritematosus Sistemik. Penyakit ini sempat ramai diperbincangkan karena menjangkiti artis Selena Gomez. Tapi meski kondisiku menanggung penyakit, aku merasa utuh sebagai seorang pribadi. Terserah orang mengasihani aku karena sakit ini. Yang jelas, penyakitku tidak seharusnya menjadi alasan bagiku mengesampingkan hati nurani dengan menerima laki-laki yang tidak aku cintai.

Aku pura-pura tidak mendengar saat mulut manisnya menyemburkan bisa: “Untuk ukuran perempuan dengan beban penyakit yang berat, gengsimu tinggi. Cinta bisa ditumbuhkan. Cinta bisa ada karena terbiasa, kalau kamu mau bersikap lebih rasional.”

Ini bukan perkara gengsi, tapi soal harga diri dan kenyamanan hati. Tanpa bermaksud meremehkan beliau yang sudah hidup berkeluarga, bagiku cinta itu tidak boleh absen dari hubungan dua insan manusia yang berkomitmen menikah. Rasa cinta adalah salah satu komponen yang menguatkan harga diri seseorang dalam relasi dengan sesamanya.

Bayangkan andaikata aku menikah dengan Anjar tanpa cinta, akan seperti apa hari-hariku nanti? Kalau terjadi keretakan dalam rumah tanggaku nanti, sudah dapat dipastikan, orang-orang akan menudingku sebagai biang keroknya. Perintah kerabatku agar aku menumbuhkan cinta, membiasakan cinta, juga kutolak mentah-mentah. Penolakanku lagi-lagi akan memposisikan aku sebagai pengundang kericuhan. Maka sebelum neraka itu terjadi padaku, aku memilih putus.

Jika situasi hidupku ada di tahun 1950an, maka semua tuduhan kerabatku itu benar: aku keterlaluan. Namun untuk situasi zaman now, zaman sudah modern, dan perempuan berhak memilih.

Yun Atmawicaya adalah seorang perempuan yang berbagi hidup dengan Lupus Eritematosus Sistemik di bawah naungan terik matahari Venetië van Java.