Pembelajaran daring atau pembelajaran jarak jauh dewasa ini bukan lagi menjadi suatu alternatif, tetapi dengan cepat telah menjadi pilihan utama. Namun memang banyak kendalanya dalam mewujudkan pembelajaran daring yang menyenangkan.
Bayangkan: Sebuah keluarga tinggal di kota besar dengan akses internet yang stabil dan paket data internet cukup terjangkau selama pandemi. Ketika anak melakukan pembelajaran jarak jauh, salah satu orang tua bertanya kepada anaknya tersebut tentang pengalamannya.
Anak tersebut menjawab:
Bosan…! Aku enggak paham yang diajarin. Gurunya ngasih banyak tugas, tapi nggak jelas tugasnya harus ngapain.
Siswa ini telah menjadi sebatas pengamat pasif dalam dunia digital, atau “digital bystander”. Guru dari siswa tersebut kesulitan untuk menarik perhatian muridnya, dan sedikit sekali siswa yang benar-benar terlibat dalam proses pembelajaran.
Di era digital seperti saat ini, mempelajari suatu keterampilan dari suatu buku atau video di internet tidaklah cukup. Banyak guru dan akademisi berpendapat bahwa pengalaman belajar tatap muka tetap lebih memuaskan dibandingkan pembelajaran digital.
Pertumbuhan platform yang menyediakan kelas daring (Massively Open Online Courses, atau MOOC) dalam beberapa tahun terakhir telah menantang pandangan tersebut. Pembelajaran model baru ini telah menjadi daya tarik tersendiri dan mendorong munculnya berbagai program kursus gratis maupun bisnis kelas daring.
Saatnya untuk mengubah cara pandang
Bagaimana kita mengakomodasi dunia digital yang terus berubah ini?
Secara historis, ketika kereta api pertama kali ditemukan, menumpanginya dan melihat dunia melalui jendela kereta yang berjalan kencang adalah pengalaman yang mengerikan.
Ketakutan itu juga muncul ketika seseorang menjadi bagian atau menyaksikan kecelakaan kereta api. Orang membutuhkan waktu untuk dapat memahami realita baru ini dan mengubah pola pikir mereka tentang transportasi.
Hal yang sama juga berlaku untuk perubahan dunia pendidikan yang dipengaruhi oleh teknologi digital. Tidak ada waktu bagi kita untuk jeda sejenak dari perubahan. Seperti yang dikatakan filsuf Amerika Serikat, Donald Schön, yang kita butuhkan adalah menyesuaikan diri dengan perubahan.
Baca juga: Masuki ‘New Normal’, Siapa yang Temani Anak Belajar Virtual?
Bagaimana kita bisa mengambil hati dan pikiran siswa serta guru untuk memastikan bahwa mereka sama-sama memahami dan mengalami pembelajaran online sebagai sesuatu yang bermakna? Apakah ini adalah sekadar persoalan menantang pola pikir tradisional yang disebutkan di atas?
Dengan menjelajahi berbagai cara bagaimana pembelajaran tatap muka berubah menjadi pembelajaran daring, kita bisa mulai mengidentifikasi serangkaian pendekatan—mulai dari yang sederhana yakni menyediakan teknologi pengganti hingga mendefinisikan ulang makna pembelajaran secara radikal.
Dalam model substitusi, penambahan, modifikasi, dan redefinisi ini, kami menemukan banyak pendidik yang cenderung memaknai perubahan ini dengan sekadar mengganti praktik kelas tatap muka dengan teknologi baru. Akibatnya, esensi kemanusiaan dari pengalaman mengajar menjadi hilang ketika prosesnya dijembatani media digital.
Contohnya adalah penyediaan bahan ajar secara elektronik untuk menggantikan buku teks. Hasilnya, suasana belajar tersebut menjadi kikuk dibandingkan dengan pengalaman penggunaan internet untuk kegiatan sehari-hari. Pengalaman siswa di ruang pendidikan digital bisa jadi sangat berbeda dengan pengalaman ketika mereka menggunakan media sosial, belanja, dan bermain game.
Ketidakcocokan ini adalah contoh bagaimana transisi dari kelas fisik ke online sering kali tidak dikelola dengan baik. Ada kesenjangan alami antara apa yang dipercaya oleh guru dengan yang dialami siswa.
Pembelajaran jarak jauh selama pandemi yang inklusif
Akses yang lebih baik terhadap teknologi maupun pelatihan penggunaan sistem digital sama-sama bukanlah solusi untuk menjembatani kesenjangan ini. Ini adalah celah dalam desain teknologi pembelajaran.
Ketika menyadari hal ini, kita menjadi lebih mudah menemukan solusinya—ada kebutuhan mutlak untuk penerapan “desain untuk dunia daring”, seperti yang dikemukakan Cathy Stone, profesor pendidikan dari Australia.
Baca juga: Masa ‘School from Home’ Ajarkan Prestasi Akademis Bukan Segalanya
Namun, desain ini tidak bisa hanya dibebankan kepada guru. Kita perlu menyatukan berbagai perspektif dan keterampilan, termasuk dari para guru, siswa, dan ahli teknologi, untuk bersama-sama mendesain ulang pengalaman pembelajaran jarak jauh selama pandemi secara daring.
Guru tidak bisa lagi dijadikan satu-satunya sumber otoritas. Semua harus berkontribusi: Guru yang menguasai kurikulum, siswa yang memahami pentingnya arti dukungan dan motivasi dalam belajar, serta ahli teknologi yang berbagi cara-cara mendesain komunikasi digital.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi yang namanya ‘pemantau digital’ - semua memiliki peran sebagai perancang. Sebagaimana yang pernah dikatakan peneliti ekonomi politik dari Amerika Serikat, Herbert A. Simon, bahwa siapa pun yang terlibat dalam proses “mengubah situasi yang ada menjadi lebih ideal”, adalah seorang desainer.
Tidak ada satu solusi umum untuk mendesain pembelajaran daring. Setiap kali guru, siswa, dan ahli teknologi berkumpul, mereka membentuk suatu komunitas baru dengan tujuan dan berbagai pertanyaan yang sama. Ini adalah sebuah ruang refleksi yang demokratis dan memungkinkan kita untuk bertindak dengan penuh pertimbangan, serta menghargai pengetahuan dan keterampilan pihak lain.
Melihat kembali sejarah, ada baiknya kita belajar dari pengalaman yang ditawarkan oleh kehadiran kereta api: Kemampuan untuk meninjau ulang secara visual dan juga merancang sebuah dunia tanpa sedikit pun meninggalkan gerbong kereta.
Dengan hadirnya produksi media pembelajaran digital, kini kita juga dipanggil untuk merenungkan dan merancang pembelajaran tanpa beranjak dari depan layar digital.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments