Bagi yang akrab dengan budaya fandom pasti tahu comeback season, atau saat di mana grup idola kesayangan merilis album atau lagu baru setelah beberapa bulan menyiapkannya, adalah masa sibuk bagi penggemar K-pop mana pun. Periode ini juga merupakan ladang hangat bagi para troll di internet untuk memberi komentar sampah di video yang masih segar dan baru rilis di YouTube. Contohnya Juni lalu saat dirilisnya “Stay Gold” oleh BTS dan “How You Like That” oleh Blackpink.
Hal yang sama kembali berulang ketika BTS merilis “Dynamite”, kemudian Blackpink serta Selena Gomez dengan “Ice Cream”. Bersamaan rilis pada Agustus dengan jarak hanya seminggu, kolom komentar kedua video musik tersebut dipenuhi troll selama 24 jam pertama. Sukar menemukan komentar yang benar-benar dituliskan oleh penggemar. Meninggalkan komentar sampah sengaja dilakukan untuk membekukan jumlah views yang kenyataannya tidak akan memberi efek apa pun pada video tersebut.
Sejak Billboard mengumumkan bahwa jumlah penayangan YouTube akan dihitung layaknya Spotify dan aplikasi musik lain 2019 lalu, peran hitungan views bertambah krusial. Sebelumnya, memang menjadi kultur fandom untuk memecahkan rekor jumlah penonton di YouTube. Namun dengan dinyatakannya YouTube ikut andil dalam perhitungan Billboard 200, para penggemar mengalami tantangan yang lebih sulit untuk saling mengorganisir satu sama lain mencapai target penayangan. Terlebih lagi untuk seorang multifans, yang memiliki grup idola kesukaan lebih dari satu, yang secara beruntun dijejali lagu baru yang jarak rilisnya hanya beberapa hari. Senang tetapi pusing, lagu mana dulu yang harus menjadi prioritas.
Maka sesuatu yang tidak asing ketika seorang penggemar bertemu penggemar lain di dunia maya yang mempertanyakan kepentingan satu sama lain sehingga menyatakan tidak ikut streaming. Ada penggemar yang menanggapinya sebagai angin lalu, memutuskan bahwa fokus mencapai target lebih penting. Namun, ada pula yang langsung memberikan ejekan dan ancaman bagi mereka yang memilih untuk tidak streaming. Dilontarkanlah komentar kasar, merendahkan, serta anggapan bahwa mereka bukanlah penggemar sesungguhnya, tapi fake fans.
Baca juga: Ketahui 10 Istilah Ini Biar Paham Budaya ‘Fandom’
Padahal masing-masing penggemar memiliki caranya sendiri dalam mendukung idola. Jika ada individu yang memilih untuk tidak ikut streaming, sebaiknya tidak usah diacuhkan apalagi direndahkan. Siapa tahu mereka mendukung dengan cara lain. Sejatinya, tidak ada parameter yang mampu mengukur validitas seseorang menjadi penggemar setia.
Selain soal streaming, ada tiga hal lain yang dilakukan para penggemar tapi dimurkai penggemar lain yang menyebut mereka fake fans, padahal itu sama sekali tidak benar. Apa saja itu?
-
Menolak terlibat dalam fanwar
Fanwar atau perang antar fandom identik dengan kesempatan untuk merundung suatu fandom atau individu tertentu. Biasanya dilakukan oleh oknum yang bersembunyi di balik akun anonim karena mereka tidak akan menerima akibatnya dalam kehidupan nyata. Memang tidak bisa dimungkiri tak ada fandom yang benar-benar bersih dari penggemar toksik. Meskipun begitu, tidak ada alasan untuk memulai fanwar dan saling menyalahkan antar sesama penggemar K-Pop. Terlebih lagi menjadikannya kesempatan untuk saling bully, memberikan komentar yang merendahkan fisik dan tingkat intelegensia seseorang, hingga meninggalkan pesan kasar ke idol “musuh”.
Trolls dan haters sering kali membuat sakit kepala, kesal, dan memang sulit untuk menahan rasa ingin balik melawan. Namun, memilih untuk tidak terlibat dalam fanwar bukan berarti kita tidak peduli dan menjadi penggemar jadi-jadian. Terkadang ada hal yang harus dihindari untuk menjaga kesehatan emosional dan mental.
Yang bisa dilakukan adalah mengirimkan pesan mendukung kepada sesama teman fandom. Bertanya tentang keadaannya saat itu, apakah dia baik-baik saja dan mengingatkan tentang betapa berharganya teman sesama fans. Bisa juga mengirimkan pesan cinta ke idola kesayangan agar pesan kebencian terkubur di antara pesan baik. Lagi pula idola kesayangan akan kecewa jika tahu penggemarnya adalah seorang perundung.
Penggemar bukanlah robot yang punya satu tugas memuja idolanya secara absolut. Mereka bebas berpendapat mengenai grup musik kesukaan, asal dilakukan tanpa merendahkan pihak lain.
-
Call out idola yang bermasalah
Idola juga manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan seperti penggemarnya. Tidak ada yang tahu pasti kapan idola akan tersandung isu yang skalanya beragam. Lalu jika idola terlibat isu lalu penggemar menunjukkan letak kesalahannya bukan berarti membenci, karena itu bentuk kepedulian untuk membuatnya sadar dan mengakui kesalahan.
Kesalahan yang sering kali dilakukan para idola adalah mengapropriasi budaya orang kulit hitam, seperti mengenakan gaya rambut dreadlocks, box braids, dan cornrows. Sering kali ditemukan orang-orang non-kulit hitam, termasuk idola K-pop, yang mengenakan gaya rambut tersebut, bahkan sampai menggelapkan kulit mereka alias black face. Padahal itu sangat tabu dan rasialis terhadap masyarakat yang diopresi.
Baru-baru ini AJ+ mengeluarkan video berjudul “Why K-Pop Fans Are Disrupting Politics” yang menyoroti bagaimana ketika penggemar melakukan call out atas apropriasi budaya, rasa penyesalan dari idola maupun agensinya tidak pernah lebih dari permohonan maaf resmi secara tertulis. K-Pop yang banyak terinspirasi dari budaya Afrika-Amerika sebetulnya tidak boleh mengabaikan hal itu karena berkaitan erat dengan rasisme sistemis. Ini pun menjadi catatan bagi idola untuk belajar tentang budaya mengingat penggemarnya ada di seluruh dunia dan memiliki latar belakang beragam. Selain itu, menjadi kritik untuk agensi yang tidak melakukan lebih banyak upaya dalam memahami keberagaman itu.
Selain apropriasi budaya, para idol ini pun suka tergelincir jadi seksis. Sempat ada peristiwa, C.A.P., salah satu anggota grup Teen Top, mengatakan dia ingin jadi bapak suatu saat nanti. Kalau punya anak laki-laki, ujarnya, ia akan dikasih segalanya, sedangkan anak perempuan, jadi tugas perempuan untuk tinggal di rumah. Kalau perlu akan dikurung.
Baca juga: BTS dan ARMY: Bongkar Hegemoni Industri Musik Hingga Stereotip ‘Fangirl’ Obsesif
Setelah dikritik warganet, akhirnya Teen Top membuat pernyataan resmi bahwa itu hanyalah “candaan” yang diungkapkan dengan keliru. C.A.P. meminta maaf dan mencoba jadi orang lebih baik nantinya.
Sudah menjadi tugas sesama penggemar untuk memberitahu dan mengedukasi sang idola jika mereka mengapropriasi budaya atau seksis, atau berperilaku tidak baik apa pun itu. Esensi dari call out adalah agar idola memperluas wawasan dan pengetahuan serta meminta maaf akan kesalahannya, bukan kesempatan untuk menghujat dan memberi makian.
-
Tidak menyukai lagu maupun performa tertentu
Ada kalanya lagu yang dirilis grup musik kesukaan tidak ramah di telinga penggemar. Para penggemar tidak mesti menyukai seluruh katalog musik sang idola, kalau tidak bisa dibilang mustahil. Sama halnya jika seorang penggemar memberikan kritik atas performa grup di atas panggung. Kritik dari penggemar akan disampaikan jika sebuah penampilan tidak mencapai ekspektasi dan terasa hambar, seakan-akan sudah dilakukan berulang kali dan tidak menunjukkan talenta idola yang sesungguhnya. Kritik pun harus dilakukan dengan catatan sebagai kritik membangun, bukan hanya sekedar penyampaian rasa tidak suka.
Penggemar bukanlah robot yang punya satu tugas memuja idolanya secara absolut. Mereka bebas berpendapat mengenai grup musik kesukaan, asal dilakukan tanpa merendahkan pihak lain. Setiap orang yang menjadi penggemar memiliki bahasa cintanya masing-masing. Label fake fans tidak bisa dilayangkan jika seseorang memilih untuk tidak melibatkan diri dalam fanwar, streaming party, atau tidak menyukai suatu lagu dari grup favorit. Penggemar berhak atas tindakan yang mereka pilih dan menjadi penggemar dengan caranya masing-masing karena tidak ada panduan tertulis tentang cara menjadi fans sejati (dan tidak perlu ada).
Comments