Pada (29/10), publik dikabarkan dengan tragedi perayaan Halloween di Itaewon, Korea Selatan. Peristiwa itu menyebabkan 156 orang meninggal dunia dan 152 orang terluka. Perdana Menteri Korea Selatan, Han Duck-soo mengaku, kurangnya sistem crowd control adalah penyebab kecelakaan ini terjadi.
Melansir The Washington Post, ada 137 polisi lokal yang mengawasi area Itaewon selama perayaan Halloween. Mereka bertanggung jawab atas kejahatan kecil, narkoba, serta pelecehan seksual dan fisik. Sementara itu, diperkirakan 100 ribu orang menghadiri acara tersebut. Artinya, setiap seorang polisi mengawasi 730 orang.
Tak disangka, momen itu jadi malam paling ramai selama akhir pekan Halloween di Itaewon. Pasalnya, perayaan Halloween ini yang pertama kali dirayakan tanpa pembatasan sosial selama pandemi. Bahkan, pengguna subway di stasiun Itaewon pada hari itu mencapai 130 ribu orang.
Kerumunan massa sebanyak itu kemudian berubah jadi situasi membahayakan, karena tidak ada pengendalian massa yang memadai. Akibatnya, banyak korban jiwa yang berjatuhan.
Menurut G. Keith Still–akademisi ilmu kerumunan di University of Suffolk, Inggris, penyebab kematian bukanlah terinjak oleh kerumunan. Mereka kesulitan bernapas dan kehilangan kesadaran, atau pingsan dan terjatuh.
“Asfiksia jadi penyebab utama kematian dalam kerumunan,” ujar Still kepada The Washington Post. “Orang akan kekurangan udara, sehingga paru-parunya enggak bisa mengembang.”
Selain itu, ketika seseorang terjatuh di kerumunan, ia akan menyebabkan efek domino. Orang-orang di sekitarnya ikut terjatuh, saling menimpa satu sama lain, dan berakhir mati lemas.
Semestinya peristiwa itu tak perlu terjadi, apabila crowd control-nya diatur dengan baik–kendati perayaan dilakukan di ruang publik seperti di Itaewon. Pertanyaannya, ketika terjadi kecelakaan serupa, siapa yang bertanggung jawab atas crowd control? Bagaimana crowd control yang ideal?
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan: Antara Gas Air Mata dan Silat Lidah Aparat
Crowd Control Tanggung Jawab Siapa?
Ketika acara itu diselenggarakan, sejumlah pengunjung Itaewon berusaha menghubungi personil layanan darurat. Mengutip The Washington Post, laporan pertama dilakukan pukul 18.30 waktu setempat. Sang penelepon mengatakan, ada terlalu banyak pengunjung di area itu, sehingga diperlukan intervensi.
Sayangnya, personil layanan darurat datang empat jam setelah laporan tersebut. Mereka sulit mengakses area Itaewon yang terlalu padat, dan membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di lokasi peristiwa.
Jika melihat angka pengunjung yang diperkirakan hadir pada perayaan Halloween malam itu, seharusnya pemerintah Korea Selatan maupun kepolisian dapat mengantisipasi. Sebab, pihak berwajib yang bertanggung jawab memantau pergerakan massa. Dengan demikian, mereka dapat menjamin keselamatan pengunjung.
Umumnya diperlukan protokol keselamatan untuk acara resmi seperti festival. Sayangnya, itu tidak berlaku pada event yang digelar di ruang publik. Kerumunan yang hadir dianggap tidak formal, dan tidak ada kejelasan lembaga yang bertanggung jawab. Sementara menjelang acara, kantor distrik Yongsan hanya mengatur pertemuan massal di tempat umum, tapi bukan crowd control.
Julia Cho, seniman tato asal Australia yang jadi bagian kerumunan malam itu, sepakat dengan tidak adanya pengendalian massa. Kepada The Daily Mail ia mengatakan, tidak ada pihak berwenang berjaga di Itaewon.
“Enggak ada yang standby di sana, orang-orang dibiarkan enggak berdaya. Padahal, mereka tahu banyak orang berjalan tanpa tujuan. Mereka tercekik dan terguling satu sama lain,” kata Cho.
Dari peristiwa di Itaewon, kita melihat absennya pihak berwenang dalam mengendalikan massa. Meskipun perayaan dilakukan di jalanan–bukan sebuah tempat secara spesifik–tetap diperlukan tanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan masyarakat di ruang publik.
Perkara crowd control sebenarnya tidak hanya terjadi di Korea Selatan. Kelalaian itu juga terjadi di Indonesia pekan lalu. Tepatnya festival musik Berdendang Bergoyang, di Istora Senayan, Jakarta.
Kepolisian menghentikan acara lantaran dinilai membahayakan penonton yang saat itu over-capacity, mencapai 21 ribu orang. Akibatnya, penonton berdesakan dan sebagian dari mereka pingsan. Selain itu, tidak ada pengecekan tas, identitas, atau body checking. Pun yang melakukan crowd control adalah panitia atau relawan, bukan petugas keamanan.
Karena itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno mengimbau event organizers (EO) untuk belajar dari peristiwa di Itaewon dan festival musik Berdendang Bergoyang.
Ia menugaskan Deputi Pelaksana Kegiatan dan Produk Pariwisata Kementerian Pariwisata, untuk mengevaluasi dan mengarahkan EO untuk mematuhi protokol yang ada. Misalnya memastikan ketersediaan jalur evakuasi, sistem peringatan dini, mematuhi daya dukung, dan cardiopulmonary resuscitation (CPR).
Beberapa cara tersebut adalah tanggung jawab pihak berwenang. Namun, apa yang perlu dilakukan ketika menjadi bagian dari kerumunan?
Baca Juga: Heboh Tragedi Arema, Kenapa Polisi Suka Bertindak Represif?
Apa yang Bisa Dilakukan?
Tindakan preventif adalah langkah yang bisa diandalkan, ketika tidak ada keterlibatan dari pihak berwenang. Setidaknya, mampu memprioritaskan keselamatan diri sendiri. Dalam tulisannya di The Washington Post, editor Tara Parker-Pope menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, mengetahui tempat yang aman. Setiap tempat memiliki kondisi berbeda. Namun, jika dilihat secara umum, bagian pinggir atau belakang kerumunan lebih aman dibandingkan area lainnya. Sebab, akan lebih mudah untuk keluar dari keramaian.
Yang berada di tengah cenderung menerima tekanan dari depan dan belakang. Sementara di konser, posisi dekat panggung atau barikade juga perlu dihindari. Pasalnya, berisiko terinjak saat penonton melonjak.
Kedua, memerhatikan postur tubuh. Ketika kerumunan berhenti bergerak, Parker-Pope menyarankan untuk tetap berdiri, menjaga lengan agar tidak terjepit–misalnya melipat tangan atau mengangkat kedua tangan, melindungi dada, dan menghemat oksigen. Namun, ketika kerumunan kembali bergerak, pastikan untuk mengikuti arusnya.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan: Catatan Penting tentang Manajemen Keselamatan Kerja
Ketiga, menggunakan sepatu yang nyaman. Ini dibutuhkan karena saat berada di kerumunan, kaki menjadi fondasi untuk bertahan di keramaian. Sebab, di situasi yang ricuh, orang-orang cenderung saling mendahului dan menginjak kaki satu sama lain.
Lebih dari itu, diperlukan kemampuan melakukan CPR untuk membantu orang-orang di sekitar. Seperti di Itaewon, personil layanan darurat membutuhkan bantuan dari kerumunan. Selain membantu pekerjaan mereka, kemampuan ini akan lebih cepat menyelamatkan orang lain.
Comments