Aku cantik dan aku tahu itu. Hidungku mungil dan mataku indah, rambutku ikal, tubuhku ramping dan oh, aku juga pandai menari.
Aku terbiasa menjadi pusat perhatian sejak kecil. Non, kakak perempuanku—aku tidak suka menganggapnya majikan—tidak pernah absen membawaku ke salon untuk perawatan, juga vaksin rutin agar aku tidak penyakitan. Tak terhitung berapa banyak anjing jantan yang tertarik denganku, tapi aku jelas akan sangat selektif memilih pasangan. Aku memang anjing, tapi martabatku setara dengan manusia. Lihat, kakiku saja lebih banyak. Bedanya, kami bangsa guguk ini setia, tidak punya gen pengkhianat dalam darah seperti manusia, ups!
Ah, tapi setelah bertahun-tahun hidup sebagai anjing rumahan yang manja, aku mulai bosan. Aku ingin tantangan. Aku ingin menjadi manusia, seperti Non. Bagiku, tidak ada manusia sebaik Non, karena memang hidupku hanya dengan dia, dan ibunya. Bagaimana ya caranya agar aku bisa menjadi manusia? Setidaknya badanku harus molor hingga setinggi 155 sentimeter, bisa berdiri tegak dan berhenti menjulurkan lidah karena tidak ada manusia berjalan sambil menjulurkan lidah dan mengendus kan? Aku mulai berpikir cara untuk berubah.
Aha! Aku ingat satu hal. Biasanya kalau Non ingin sesuatu, dia akan menangkupkan tangan dan memejamkan mata, kemudian bibirnya berkomat-kamit dengan lirih. Non bilang dia sedang berdoa, meminta pada Tuhan agar keinginannya dikabulkan. Baik, aku akan coba cara itu!
Aku bersemangat, berputar-putar di tempat. “Guuk! Aku akan berusaha!”
Karena tanganku tak bisa menangkup, aku hanya memejamkan mata, berkomat-kamit meminta pada Tuhan agar aku diizinkan menjadi manusia. Saat aku membuka mata, Non sudah ada di depanku,. Aku melonjak kaget. “Guk!” Non tersenyum dan bilang akan mengajakku lari pagi. Agak malas sih sebenarnya karena aku takut diganggu anjing kurap yang sering nongkrong di rumah tetangga Non. Tapi ya sudah, aku tetap berangkat. Toh ada Non yang akan membantuku mengusir anjing itu.
Keluar pagar, aku menggeliat sebentar. Wah, cerah sekali hari ini. Aku mulai menggeliat sambil berputar-putar mengelilingi Non. Beberapa orang yang melewatiku memandang kagum, ada juga yang berseru, “Ih, anjingnya lucu bangeeettttt! Gumuss!” Aku tidak tahu apa arti gumus. Aku melenggang dengan bangga, ah sempurna betul aku ini ya!
Baca juga: Rusuk untuk Keabadian
Tapi, aahhh! Aku kaget sekali, anjing kurap jahat itu kini sudah beberapa langkah di depanku! A-apa ini? K-kok dia mukanya menyeringai? Aku takut, nafasku tersengal, lidahku menjulur-julur panik. Belum sempat aku berpikir, dia sudah berlari ke arahku, tidaaaakkkkkk aku harus lariiiiiii!
Aku lari secepat yang aku bisa. Aku panik sekaligus takut si kurap akan menyakitiku. Kudengar sayup-sayup suara teriakan Non yang panik menyuruhku berhenti.
“Maaf Non, a-aku tidak bisa berhenti sekarang!! Si kurap ini jelas bermaksud jahat padaku.”
Aku lari tak tentu arah, semakin jauh dari Non dan si kurap masih mengikutiku. Hingga ada satu kesempatan, badanku menyelinap ke tumpukan kardus di sebelah tempat pembuangan sampah. Anjing tak tahu sopan santun itu tak melihatku bersembunyi dan terus berlari. Huf huf, aku lelah sekali. Kakiku juga agak sakit karena berlari jauh.
Setelah sengal napasku mereda, aku mengerjap untuk tahu di mana aku berada. Aku menganga, di mana ini? Aduh gawat, aku tidak tahu ini di mana. Banyak sekali manusia di sini. Ke mana arah pulang ya?
“Guk guk!” Aku hendak bertanya pada lelaki gempal yang sedang sibuk memotong-motong daging sambil mulutnya mengisap benda kecil berasap dengan api di ujungnya. Seram sekali, apa dia tidak takut bibirnya terbakar?
“Wooo, cantikk sekali! Mau kemana kau anjing seksi? Kesasar ya? Aduh, manis sekali, sini sama Om!” ujarnya sambil tiba-tiba menepuk-nepuk bokongku.
“Guk guk!!!” aku menyalak marah, ini manusia seenaknya melecehkan aku.
“Hei, bisa sopan tidak kamu! Seenaknya menyentuh badanku! Hanya Non yang boleh menyentuhku!! Guk!” Aku yang marah menggigit kaki lelaki gempal itu sekuat tenaga dan lari setelahnya. Rasakan kamu manusia tak tahu adat!
Aku berjalan lagi sampai menemukan sebuah tempat ramai dengan aroma aneh di hidungku. Aku berhenti, mendekat, dan mengendus aroma asing ini. Tapi tiba-tiba, byur! Tumpahan air menyiram tubuhku. Aku kaget dan terlonjak. Aku mengibas-ngibaskan air dan melihat sesosok wanita dengan mata melotot di depanku.
“Hewan najis! Pergi jauh-jauh kamu!! Bikin warungku enggak laku saja!”
Baca juga: Prasangka: Sebuah Cerita Pendek
Aku melotot tak percaya. “Guk guk!! Enak saja mengataiku sembarangan! Aku juga tidak minat masuk tempatmu yang kotor!” Bisa-bisanya dia berlaku kasar padaku. Asal tahu saja, makanan yang ia pajang di meja itu bukan seleraku. Huh, aku sebal setengah mati. Lain waktu aku akan kasih tulisan “Awas manusia galak!” di pintu tempat ini agar anjing lain tidak disiram sepertiku.
Rasanya aku sudah berjalan lama sekali. Perutku lapar, langkahku makin pelan. Aku melihat manusia di mana-mana. Berjalan tergesa, tidak ada senyum dan sesekali saling memaki. Tapi, hey, apa telingaku salah dengar? Mereka mengatai sesama manusia sebagai “anjing”? Semakin jauh aku berjalan, semakin sering aku mendengar manusia memaki dengan kata “anjing”. Jadi maksudnya, manusia yang menyebalkan dianggap anjing? Tidak bisa kuterima! Ini melecehkan kami dan sangat tidak berperikeanjingan!
Aku masih kesal saat tiba-tiba tersandung sampah kaleng yang dibuang sembarangan oleh seorang pemuda. “Guk!” Dia kemudian mendekatiku, bau nafasnya tidak enak, seperti bau pembersih kamar mandi. Aku mundur beberapa langkah tapi laki-laki itu mengangkat tubuhku dan tiba-tiba membantingku ke lantai. Aduh, sakit! Dia menertawaiku yang kesakitan. Aku melihatnya mendekat lagi, sekarang aku ketakutan. “A-apa yang harus aku lakukan?” Aku mundur lagi namun dia berhasil menangkapku, kali ini aku tidak punya pilihan lain, aku gigit hidung laki-laki itu sekuat tenaga sampai ia melepaskanku. Hup! Aku langsung lari dan mendengar ia melolong kesakitan. Umpatan “anjing rabies sialan!” masih aku dengar.
Aku berlari sejauh mungkin. Aku ingin pulang, badanku sakit dan perutku lapar. Aku rindu pada Non. Aku menangis pelan, lama-lama semakin keras. Aku sudah tak kuat berjalan jadi aku berhenti begitu saja. Aku melihat sekeliling, banyak gundukan tanah dan pohon kamboja. Samar-samar kudengar percakapan dari bawah tanah, lalu pandanganku gelap.
Aku mendengar suara tangisan di sampingku, suara Non. Aku membuka mata perlahan. Non memelukku erat-erat, air matanya mengucur deras. Badanku lemah sekali, seorang pria tua penuh senyum mengelus badanku dan menyuntikkan sesuatu. Aku kenal ia, dokter Hans yang baik. Aku mengantuk lagi, tapi kali ini sambil menggenggam tangan Non erat-erat. Aku tidak ingin pergi lagi.
Sebelum tidur aku berdoa, “Tuhan, aku tidak mau jadi manusia.”
Comments