Women Lead Pendidikan Seks
February 17, 2022

Tujuh Bayangan Cermin Perempuan

Cermin selalu menjadi dunia terbalik. Kenyataannya adalah mimpi. Mimpinya berupa kenyataan. Mayanya nyata. Dan senyata-nyatanya maya.

by Ferena Debineva
Culture // Prose & Poem
Share:

Ketika tirai disingkap, seribu lakon dikisahkan, diiringi tetabuhan, juga riuh tepuk tangan. Kali ini lakonnya tentang seorang putri antah berantah. Bosan dengan dongeng putri-putrian? Baiklah, mari kita ganti. Ini lakon pelayan atau nenek-nenek jahat. Ah, tetangga seberang saja sudah mengangkatnya ke layar super lebar. Aku mau yang sederhana saja. Ini lakon cermin dalam ruang.

Cermin selalu menjadi dunia terbalik. Kenyataannya adalah mimpi. Mimpinya berupa kenyataan. Mayanya nyata. Dan senyata-nyatanya maya. Dalam cermin, tak boleh ada kanan-kiri. Tidak ada yang lebih benar, begitu pula lebih salah. Di depan cermin, kenyataan dan harapan dipertukarkan. Di depan cermin, bukan dalam cermin.

Suatu hari, seorang perempuan melukiskan potongan-potongan kecil kisah hidupnya pada permukaan cermin. Seorang perempuan yang namanya tak usah disebutkan. Dia bukan tokoh utama lakon ini. Dia tak bernama, dilupakan, seperti perempuan kebanyakan.

Perjalanan perempuan ini dimulai dan diakhiri dengan hitungan angka, sama seperti kebanyakan perempuan lainnya. Hanya angka, tanpa nama, tanpa suara.

Baca juga: Parasit di Inang Muda

Nol.

Bayi perempuan mungil dengan bekas lipstik berwarna-warni di pipinya yang bulat. Bayi itu merengek kesal. Sementara, ibunya tengah sibuk dihantam dengan pertanyaan tetangga dan kerabat yang hadir. Mereka semua memuntahkan kata-kata mengenai kapan bayi mungil ini memiliki adik baru untuk menemaninya bermain. Sang ibu berusaha mengukir senyum di bibir pucat dan wajahnya yang kelelahan. Ia menelan kembali air matanya.

Satu.

Seorang anak perempuan datang, mengacak-acak meja rias ibunya, mengambil beberapa lipstik berwarna, menggenggamnya erat, menari-nari kecil sambil berjingkat melukiskan matahari merah nyala dalam cermin. Ibunya tergopoh-gopoh berlari dan mengangkatnya, melihat lipstik barunya terbelah menjadi dua. Ibu mencubit gemas pipi mungilnya, kemudian mengecup dan menggendong ia kembali ke kamar.

Dua.

Seorang anak perempuan datang malu-malu, melukis banyak tanda cinta dengan lipstik merah muda menyengat yang dibelinya diam-diam di abang-abang depan sekolah. Ia menyapukan lipstik merah muda pekat ke bibir dan hatinya yang juga masih muda. Teman-teman sepermainan menertawakan tingkah lakunya dan mengejeknya. Mereka beramai-ramai mencoreng wajah anak itu, kemudian melemparkan lipstiknya kesana dan kemari. Anak itu berlarian berusaha mengambil kembali yang menjadi miliknya. Sambil terantuk meja, sambil mengiba, sambil menggigit bibir, dan menahan tangisnya yang kemudian meledak. Mendengar tangisnya, teman-temannya sontak lari dan bersembunyi, saling menunjuk dan menyalahkan satu sama lain. Ia pulang dalam keadaan bersimbah air mata, berlari ke pelukan ibu dengan wajah penuh coretan.

Tiga.

Seorang remaja datang dan menggurat luka. Menggoreskan tanda tanya besar di permukaan cermin yang pudar. Ia tidak mampu melihat dirinya, merasakan tersesat dan bebas berlarian, tapi begitu sempit dan terikat dalam cermin bersisi empat. Mencari tempat lari dan sembunyi tapi nihil. Ia menggurat lipstik itu di lengan kirinya serupa garis-garis darah. Kemudian mencoba mengulas lipstik tersebut ke bibir mungilnya. Ia ingin menjadi cantik demi laki-laki di kelas sebelah yang dia taksir. Sayangnya, laki-laki itu menghinanya dengan mengatakan bahwa dia lebih mirip seperti badut jalanan dibandingkan seorang putri. Dilemparkannya lipstik merah muda pucat itu ke tempat sampah. Lipstik itu milik teman sebangkunya yang dia ambil diam-diam: lipstik milik nona segala rupa.

Empat.

Perempuan muda memulas lipstik oranye segar di bibirnya setiap pagi, sebelum mengguratkan cermin dengan segala rupa mata uang. Dolar yang bersinar, diguratnya besar-besar. Lipstik itu miliknya sekarang, satu dari berpuluh hadiah yang ia terima dari atasannya. Ia menatap cermin dengan bergidik, rasa jijik melingkupi tubuhnya. Ia membayar semuanya dengan harus berpura-pura menahan godaan atasannya yang setiap hari mencoba merayunya, agar tidak lagi kehilangan pekerjaan. Setiap pagi dia menyapu bibir nya dan menelan kata, menampilkan senyum dan anggukan setuju. Saat pulang kerja ia berusaha memuntahkan semua isi kepalanya, isi perutnya, lalu menghapus jejak marah yang ia pendam seharian penuh.

Lima.

Perempuan berusia cukup matang datang, mencoret-coret kesal di permukaan cermin dengan lipstik coklatnya. Membuat banyak tanda seru, sebanyak tanyanya dan beban-beban yang sekarang harus dipikulnya. Kerutan mulai menghampiri dahinya, ujung matanya, garis senyumnya. Kantung matanya tidak lagi bisa ia sembunyikan. Tirus pipinya tergambar jelas di depan cermin memburam, seperti bayang-bayang masa depan yang mengikutinya.

Enam.

Seorang ibu datang, berkisah di atas cermin dengan lipstik coklat tua miliknya, yang entah sejak kapan ia miliki, ia juga sudah tidak ingat. Kemudian ia mengulas lagi lipstik merah muda milik simpanan suaminya. Lipstik merah muda itu ia temukan di kantong sebelah kanan jas suaminya. Dia menangis sesenggukan sembari mengusap cermin dengan tangannya yang mulai mengeriput. Jemarinya yang lain menyusuri lebam-lebam di wajahnya yang mulai membiru. Kemudian ia mengerang memegangi dadanya yang sakit, menelan dengan berat bayangan suaminya yang tidak lagi ia ingin ingat bentuknya.

Tujuh.

Nenek tua menatap lurus ke dalam cermin. Menangkap bayang-bayang masa lalunya. Dia tidak lagi perlu menggurat tanya atau menggubris seru. Hanya ada sebuah titik yang perlu ia tuliskan. Sebuah perjalanan akhir di dalam cermin. Menatap tubuhnya yang renta dan bungkuk. Segala cerita telah dikisahkan. Dengan diam tanpa suara kehidupan.

Sebuah cermin besar di depannya masih kokoh berdiri dan mulai tertawa. Menantang zaman menggurat cerita yang lain. Begitu banyak rupanya pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan cermin untuknya. Dengan terbata-bata ia mencoba menjawab, tapi tidak ada satu katapun yang terlontar dari bibirnya.

Nenek tua itu mengeluarkan sesuatu dari kantong dasternya yang lusuh. Bukan sebuah lipstik, lagi. Ia sudah tidak perlu... Ia mengeluarkan sebuah batu yang disimpannya dalam kantong yang sudah koyak.

Dan “Prangg....!!!”

Nenek tua itu menimpuk cermin. Cerminnya pecah hingga berkeping. Segala cerita haruslah berakhir seperti itu. Diri harus menarik diri karena maut sebentar lagi menjemput. Ceritanya telah mencapai titik. Dan titik artinya berhenti. Titik artinya mati.

Baca juga: Mai di Bulan Juli

***

Cerita ini ditutup dengan keheranan menggantung di wajah. Aku terpana seketika. Sepersekian detik cermin menampilkan bayang-bayang hidupku sekelebat. Pecahannya menggurat tubuhku.

Cermin menuliskan kisah mereka sendiri. Keinginan-keinginan dan ketakutan mereka. Cermin menutup perjumpaan mereka dengan dunia nyata dan maya sekaligus. Merefleksikan maya jadi nyata, nyata jadi maya.

Tetabuhan telah redam. Alam harus menabuhkan suaranya sendiri. Tidak ada tangisanku yang terdengar malam ini.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Ferena Debineva adalah founder dan chairperson SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tulisannya kebanyakan adalah curhatan yang terlalu serius.