Pandemi COVID-19 telah memaksa perpindahan banyak aktivitas ke dunia maya, dan The Body Shop Indonesia memanfaatkan situasi ini untuk menyediakan ruang edukasi virtual mengenai isu kekerasan seksual di Indonesia.
Lewat kampanye Semua Peduli Semua Terlindungi Sahkan RUU PKS, dengan tagar #TBSFightForSisterhood, The Body Shop Indonesia menciptakan ruang virtual untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu kekerasan seksual dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Ruang virtual ini dibuat karena melihat respons baik masyarakat terhadap kampanye Shoes Art Installation di gedung Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang berlangsung 26 November hingga 10 Desember 2020, dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,” ujar Ratu Ommaya, Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia.
Shoes Art Installation itu sendiri adalah konsep seni instalasi yang menggunakan sepatu sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi serta dukungan bagi penyintas kekerasan seksual. Ada lebih dari 500 pasang sepatu yang dipamerkan, yang didapat dari pelanggan, karyawan, serta kolega The Body Shop Indonesia.
Selain sepatu, dipamerkan juga beragam jenis baju-baju penyintas pemerkosaan serta pelecehan seksual, untuk menunjukkan bahwa tidak benar pakaian adalah pemicu kekerasan seksual.
Instalasi seni versi offline itu kemudian dibuat versi daringnya dengan nama Virtual Tour Shoes Art Installation, yang dapat diakses melalui laman #TBSFightforSisterhood.
“Tur virtual ini dikemas dengan pandangan 360°. Publik bisa menikmati tur seperti layaknya datang langsung ke instalasi seni, dan mendapat informasi lengkap tentang cerita penyintas dan sekaligus melihat sepatu dari pendukung kampanye Stop Sexual Violence. Publik pun bisa menggunakan fitur Virtual Reality (VR) untuk bisa menjelajah instalasi seni ini,” ujar Ratu.
Ada tiga area dalam alur tur virtual ini, yakni area lorong sepatu, area pakaian, dan area berbagi serta donasi. Area lorong sepatu berisi sepatu penyintas dan cerita kekerasan seksual yang mereka alami, mulai dari catcalling, body shaming, sentuhan, dan lainnya.
Cerita mereka menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa, di mana, dan kapan saja, seperti yang dikisahkan berikut ini:
Guru les ini dikenal baik oleh keluarga kami. Ibu saya mempercayainya karena
dia juga mengajari kakak saya, abang saya, dan teman-teman kami. Les privat
ini penting karena kemampuan matematika saya payah. Suatu sore saat sedang mengerjakan persamaan yang rumit, tiba- tiba guru les ini mencium bibir saya, memasukkan lidahnya ke dalam mulut saya yang bengong karena pura-pura
tidak terjadi apa-apa, meskipun dalam hati jijik setengah mati. Di akhir pelajaran,
dia memohon-mohon supaya saya tidak menceritakan ini pada Ibu. Anak-anaknya
masih kecil. Kalau saya ceritakan ini pada Ayah atau Ibu, dia mungkin dipecat.
Kasihan keluarganya harus menanggung akibat perbuatannya.
- Ruang Keluarga, 15.25.
Area pakaian menampilkan pakaian dan sepatu yang dikenakan penyintas saat mengalami kekerasan seksual yang berat. Pakaian-pakaian ini menunjukkan bahwa apa yang dipakai korban bukanlah penyebab kekerasan seksual sehingga kita harus berhenti menyalahkan korban (victim blaming).
Di area ini terdiri atas beberapa cerita dari penyintas dengan berbagai jenis pakaian berbeda, dan semuanya tidak ada yang menggunakan pakaian terbuka. Berikut salah satu kisahnya:
Saya mulai bekerja di perkebunan ini sejak umur 6 tahun untuk membantu
orang tua mencari nafkah. Beberapa tahun yang lalu, saat saya berumur
16 tahun, saya mengalami penyerangan pertama. Hari itu, mandor saya
mengajak untuk bekerja di salah satu bagian perkebunan yang agak terpencil.
Tugas saya mendorong gerobak tangan yang sarat dengan gerumbel kelapa
sawit oranye yang dia potong dari rumputnya. Tiba- tiba mandor ini mencengkeram
lengan saya, menggerayangi payudara saya, lalu melemparkan saya ke tanah.
Dia memperkosa saya di tanah perkebunan itu, di antara pohon kelapa sawit yang menjulang. Setelah itu, sambal menempelkan kapak ke tenggorokan saya, dia mengancam akan membunuh saya dan keluarga saya. Lalu dia berdiri dan
meludahi saya.
Sembilan bulan kemudian, setelah dia memperkosa saya empat kali lagi, saya
melahirkan bayi laki-laki. Keluarga saya melaporkan kejadian ini pada polisi. Tapi pengaduan itu dibatalkan karena tidak cukup bukti. Saya ingin dia dihukum. Saya
ingin dia ditangkap dan dihukum karena dia tidak peduli pada bayi ini. Karena
dia tidak mau bertanggung jawab.
Tur virtual ini juga mengajak publik untuk ikut serta berbagi cerita dan berdonasi, dengan mengunggah foto sepatu dan menuliskan cerita serta dukungannya. Untuk setiap pasang sepatu, The Body Shop akan mendonasikan Rp20.000 untuk kegiatan psikoedukasi dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Mari jelajahi tur virtual ini dan bantu The Body Shop Indonesia mendorong pengesahan RUU PKS dengan menandatangani petisi ini.
Comments