“Memangnya kamu mau kompensasinya berapa?”
“Seharga nyawa anakmu,” ujar Lee Minsu.
Satu kalimat menohok dari karakter yang diperankan Lee Yang-hee itu menggambarkan campur aduknya kekecewaan dan rasa putus asa orang tua terhadap polisi yang gagal membawa keadilan untuk anaknya Lee Jina, penyintas kasus pemerkosaan. Dalam adegan itu, Lee Minsu dan istrinya Jung Hannah (Lee Chae-kyung) dipanggil ke kantor polisi dan diminta untuk menghentikan protes membuka kembali investigasi kasus pemerkosaan anaknya.
Bagi orang tua Jina, kasus belum selesai karena 18 orang pelaku pemerkosaan, diduga teman sekolah korban, masih melenggang bebas akibat identitasnya belum terungkap. Namun, aparat kepolisian menilai kasus sudah selesai dengan tawaran uang kompensasi untuk orang tua Jina. Belum lagi hadir juga orang tua saksi yang berargumen anak mereka masih memiliki hidup dan masa depan yang harus dijalani. Saksi, juga teman sekelas Jina, menutup mata dan tidak mengungkapkan nama pelaku.
Kalimat “masih ada masa depan” itu jadi pisau bagi Minsu dan Hannah karena Jina bunuh diri sebelum pelaku ditangkap. Impian anaknya untuk bersekolah di Amerika Serikat (AS) dan membuat font georgia bisa digunakan untuk huruf Hangul, aksaranya orang Korea, kandas.
Dengan durasi 30 menit, film pendek asal Korea Selatan Georgia (2020) mengangkat cerita lama soal hukum yang tidak berpihak pada perempuan, korban kekerasan seksual, dan rakyat miskin yang tidak memiliki koneksi maupun kekuasaan. Film garapan sutradara Jayil Pak itu berangkat dari kasus pemerkosaan Miryang di Korea Selatan pada 2004. Selama sebelas bulan, ada 41 siswa SMA laki-laki yang memeras kemudian memperkosa beberapa siswa SMP dan SMA di Kota Miryang.
Kasus tersebut mengundang amarah masyarakat Korsel karena pihak kepolisian dan kerabat pelaku menyalahkan korban dengan argumen merusak masa depan laki-laki penerus bangsa. Aksi tersebut tentunya gambaran nyata gagalnya aparat penegak hukum dalam melindungi korban kekerasan seksual. Ini juga menjadi tamparan keras bahwa fenomena seperti itu terjadi secara global, tidak hanya di Indonesia yang penyelesaian kasus acap kali lewat jalur kekeluargaan.
Dalam film, kegagalan itu juga disentil ketika Minsu sedang mendudukkan istrinya, seorang korban stroke, di becak rakitannya tepat setelah mereka diminta berhenti protes oleh polisi. Di depan gedung kepolisian terpampang tulisan “Polisi akan selalu bersamamu”, baut yang mengaitkan sepeda Minsu dengan semacam troli untuk Hannah mendadak putus, melambangkan gagalnya negara dalam menggandeng orang yang harus dilindungi.
Baca juga: Losmen Bu Broto: Ketika Rumah Tidak Lagi Hangat
Simbolisme Font Georgia
Georgia tidak hanya bercerita tentang sulitnya mencari keadilan untuk penyintas, tetapi orang tua yang kehilangan anak perempuannya. Font georgia pun menjadi simbol rasa kehilangan tersebut. Dalam adegan pembuka film, Minsu dan Hannah duduk di depan laptop milik anaknya untuk membuat spanduk tuntutan penyelesaian investigasi. Saat itu, Hannah bersikukuh untuk menggunakan font georgia yang sangat disukai Jina.
Namun, ketika Minsu menggunakan font tersebut huruf Hangul berubah menjadi kotak-kotak yang tidak bisa terbaca. Kekosongan itu menjadi simbol kesedihan orang tua yang tidak bisa diterjemahkan. Tidak hanya itu, juga simbol orang tua yang dihantui rasa bersalah karena tidak bisa membantu anaknya sampai setiap malam mendengarkan Jina menangis memanggil ibunya. Font Georgia pun menjadi benang merah terakhir yang menyatukan Jina dan orang tuanya
Simbolisme, seperti font georgia menjadi wadah berkisah yang tepat untuk film pendek karena tidak cukupnya waktu untuk menjelaskan keseluruhan cerita layaknya feature film yang panjang. Jayil Pak dalam hal ini ditantang untuk merangkum semua aspek cerita, seperti siapa Jina, orang tuanya, dan respons terkait kasusnya dengan singkat, padat, dan tidak menggurui, namun tetap artistik.
Baca juga: ‘June dan Kopi’, Cerita Hangat tentang Sahabat Setia Manusia
Walaupun tidak pernah menjelaskan secara gamblang tentang kepribadian Jina, poster dengan font kotak-kotak yang membanjiri kamarnya, tulisan Georgia besar-besaran di dinding, serta celengan babi untuk ke AS menggambarkan siapa dirinya. Dia seorang remaja SMA ambisius dan kreatif dengan mimpi yang besar.
Simbolisme juga tidak hanya dalam bentuk font, tetapi poster berlatar merah yang menggambarkan orang menutup mata dan sekumpulan orang yang menunjuk serta menyudutkan satu orang perempuan bergaun putih. Kedua poster yang ada di dalam kamar Jina hingga ruang kelasnya menggambarkan teman sekelas yang memilih untuk diam.
Pilihan menjadi bystander yang mengecewakan itu menunjukkan teman sekelasnya yang berada di sisi pelaku karena tidak membantu Jina sebagai korban. Selain itu, ada juga poster dalam kamar Jina yang memiliki 18 kotak kosong yang melambangkan ada 18 pelaku.
Sejatinya, simbolisme tentang kasus kekerasan yang tidak selesai dan keinginan Jina ‘menerjemahkan’ font georgia untuk Hangul tersebar di setiap sudut film. Karenanya, tidak cukup sekali menonton untuk memahami film secara utuh. Dalam satu sesi diskusi yang dilakukan Jayil Pak di Space Twitter, ia mengatakan pilihan warna dalam setiap adegan Georgia juga berdasarkan dengan warna bendera Korea Selatan, putih, hitam, merah, dan biru. Orang tua Jina pun konsisten memakai warna merah dan biru untuk melambangkan hal itu.
Baca juga: Keluarga Cemara Film Tentang Kesetaraan Suami Istri
Bisa dibilang film tersebut memiliki adegan penutup yang sangat menyayat hati ketika Minsu dan Hannah memasang spanduk di depan kantor polisi. Spanduk tuntutan itu hanya diisi dengan kotak-kotak kosong, tetapi memiliki makna yang sangat kuat atas kekosongan hukum untuk keadilan bagi penyintas. Apalagi angka 18 yang terpampang jelas di antara kotak tersebut menunjukkan pelaku yang masih bebas.
Adegan itu sedikit mengingatkan pada film Three Billboards Outside Ebbing Missouri (2017) juga menuntut kegagalan polisi dalam menyelesaikan kasus pemerkosaan. Namun, adegan yang paling menyakitkan ialah teman-teman Jina yang siap untuk move on dan melupakannya dengan mengosongkan lokernya. Belum lagi ada simbolisme menghapus warna kuning, simbol untuk Jina, dari tangan temannya Kim Nara, juga seorang bystander.
Hal itu menjadi realitas menyakitkan karena saat kerabat korban masih berjuang untuk keadilan, masyarakat selalu siap berpindah pada hal lain ketika kasusnya dinilai sudah tidak relevan. Seiring dengan kenyataan itu, Georgia juga menunjukkan hukum tidak akan berubah selama masih tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Orang tua Jina bisa saja tidak mendapatkan keadilan untuk anak perempuannya, walaupun telah berjuang dengan keras.
Comments