Women Lead Pendidikan Seks
May 04, 2020

Untung Rugi Perempuan di Tengah Pandemi COVID-19

Perempuan lebih sehat secara biologis, namun status sosial dan peran gender membuat mereka lebih rentan dalam pandemi.

by Julia Suryakusuma
Issues
COVID19_CoronaVirus_Corona_Perempuan_KarinaTungari
Share:

Data dari 20 negara memperlihatkan, korban virus corona (COVID-19) itu kebanyakan laki-laki. Di Italia dan Denmark, angkanya bahkan lebih mencolok dengan 70 persen kematian adalah laki-laki. Di Inggris, malah dua kali lipat dari korban perempuan dan pada usia yang lebih muda pula.

Apakah virus corona berideologi feminis? Entahlah. Tapi statistik ini ada hubungannya dengan kebiasaan buruk yang ada pada laki-laki, seperti merokok, faktor-faktor kesehatan mendasar (hipertensi, kolesterol, diabetes, penyakit ginjal, dll.), kurang memperhatikan kesehatan pada umumnya, dan lebih jarang mencuci tangan dengan sabun. Dengan kata lain, lebih jorok!

Ternyata, ada untungnya jadi perempuan di tengah pandemi COVID-19 ini. Imunitas perempuan jauh lebih kuat daripada laki-laki—tidak hanya terhadap virus corona, tapi juga secara umum. Perempuan juga biasanya lebih memperhatikan kesehatan; jumlah perokok perempuan jauh lebih sedikit  dibanding laki-laki. Di Indonesia misalnya, yang menduduki peringkat ke tujuh di dunia negara yang paling banyak perokok, 76,20 persen laki-laki merokok, sedang perempuan hanya 3,60 persen. 

Lebih banyak janda daripada duda di dunia karena angka harapan hidup perempuan lebih panjang dibanding laki-laki—ya karena lebih sehat itu. Dan kalau sakit, semua orang tahu kalau laki-laki cenderung lebih kolokan dan rewel. Jadi kenyataannya, sebenarnya “women are the stronger sex”!

Dalam mengatasi pandemi COVID-19, negara-negara dengan kepala negara perempuan lebih berhasil dibandingkan negara-negara yang dikepalai laki-laki. 

Selandia Baru dipimpin Perdana Menteri Jacinda Ardern, Norwegia memiliki Erna Solberg, Islandia dengan Katrín Jakobsdóttir, Belgia punya Sophie Wilmès, dan Taiwan ada Presiden Tsai Ing-wen. Dan siapa yang tidak mengenal Angela Merkel yang luar biasa itu, Kanselir Jerman sejak 2005 yang diberi julukan “Mutti” (Ibu) karena kepeduliannya dan kemampuannya bersikap tenang dan menempatkan dirinya di atas hiruk-pikuk perdebatan dan pertikaian politik.  

Saat ini mungkin yang paling ngetop di antara ke enam pemimpin perempuan di atas adalah Jacinda Ardern, 39, salah seorang kepala pemerintahan termuda di dunia. Akibat kesigapan dan keberhasilannya menangani krisis COVID-19 di negaranya, ia memiliki tingkat persetujuan (approval rating) yang nyaris memecahkan rekor, yakni 65 persen.

Baca juga: Kesamaan Gaya Memimpin 2 Wali Kota Perempuan di Tengah Pandemi

Jajak pendapat juga menunjukkan 78 persen warga Selandia Baru merasa negara mereka menuju ke arah yang benar. Ini angka tertinggi sejak 1991. Bahkan sebuah artikel di majalah Atlantic (19 April) menyatakan, mungkin ia perdana menteri paling efektif sedunia, karena empatinya yang dianggap kunci keberhasilannya menghadapi virus corona. Wow!

Perempuan lebih rentan

Jangan terlanjur senang dulu karena di sisi lain, perempuanlah yang paling menderita dan terpuruk akibat COVID-19. Bahkan ada pengamat yang mensinyalir bahwa pandemi ini dapat memundurkan persamaan gender hingga satu dekade. Bagaimana bisa?

Meski secara biologis perempuan lebih unggul, status sosial,  peran gender, termasuk tentunya pembagian kerja secara seksual di dalam masyarakat cenderung merugikan perempuan.

Pada periode pandemi ini, mayoritas pekerja kesehatan, terutama perawat, adalah perempuan. Di Indonesia, rasio pekerja medis (termasuk perawat) terhadap penduduk secara keseluruhan adalah 1:100.000. Pada tahun 2019, jumlah perawat di Indonesia adalah 345.508, dengan hampir separuhnya ada di Pulau Jawa dan sisanya tersebar di wilayah lain.

Pada saat-saat normal pun perawat rentan terhadap kekerasan di tempat kerja. Namun pada masa pandemi, dengan tingkat ketakutan, frustrasi, dan stres yang amat tinggi, perempuan kerap menjadi tempat pelampiasan. Di tempat kerja mereka diperlakukan kasar, dihina, diludahi, diancam bahkan ada kalanya diperkosa. Saat menuju ke tempat kerja pun, mereka dirisak, dilecehkan secara seksual, dan berbagai perlakuan yang lebih parah, termasuk dibunuh.

Lega, dong ya, kalau pulang ke rumah? Belum tentu, apalagi jika sang suami dirumahkan karena PSBB (pembatasan sosial skala besar). Ia merasa seperti “dikebiri”, sedangkan istrinya, seorang perawat, harus keluar untuk bekerja. Maka apa yang terjadi? Kekerasan domestik, yang di tengah pandemi ini memang meningkat bagi perempuan pada umumnya, di Indonesia maupun secara global.

Baca juga: Rentan di Berbagai Sisi: Nasib Perempuan di Tengah Pandemi

Dengan peran gender tradisional yang berlaku, perempuan diharapkan tetap  melakukan kerja domestik, meski lelah setelah bekerja di luar. Dan memang perempuan melakukan tiga kali pekerjaan mengasuh dan merawat tanpa dibayar, dibandingkan laki-laki. Merawat anggota keluarga yang terinfeksi COVID-19 dengan sendirinya menambah beban ini.

Anak-anak juga  harus bersekolah di rumah. Tapi bagi perawat, belum tentu mereka bisa pulang untuk mengajar anak-anak mereka, akibat melimpahnya kasus COVID-19. Bahkan kadang mereka harus tinggal berminggu-minggu di rumah sakit atau klinik tempat mereka bekerja. 

Bayangkan tingkat stres dan ketakutan yang amat tinggi akibat risiko terinfeksi dan bahkan meninggal yang memang terjadi, apalagi tidak selalu tersedia alat pelindung diri (APD) yang memadai. Tidak ada pakaian hazmat, ya sudah, jas hujan plastik pun jadilah.  Aduh!

Di harian The Guardian (April 27), Clare Wright, profesor sejarah di Universitas La Trobe, Melbourne, menulis, “Pandemi bukanlah perang, namun pekerja medis kita adalah pahlawan.” Tapi bukannya diperlakukan sebagai pahlawan, ketika mereka kembali ke komunitas mereka, malah terkena stigma dan diperlakukan sebagai paria yang bahkan ditolak di tempat asal mereka. 

Tak hanya pekerja medis

Selain di dunia medis, perempuan juga mengalami kemunduran di sektor-sektor lainnya. Di bidang kesehatan reproduksi (kespro) misalnya. Suplai dan pelayanan kehamilan dan kontrasepsi memburuk karena tidak diprioritaskan. 

Di bidang pendidikan, anak perempuan mengalami kemunduran dengan 188 negara mengimplementasikan penutupan sekolah. Menurut Center for Global Development, hal ini berdampak pada 89 persen populasi siswa secara global. Solusi pengajaran online? Meski penetrasi internet di Indonesia 64 persen, tidak semua siswa mempunyai akses internet, terutama di pedesaan.

Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: Terpisah dari Keluarga, Jadi Teman Curhat Pasien

Bagaimana dengan penyandang disabilitas? Bisa dibayangkan, lebih terpuruk lagi. 

Selain diskriminasi, pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja, COVID-19 bisa berdampak kepada pembedaan upah yang lebih membesar lagi. Secara global, perempuan menerima 76.5 persen dari upah laki-laki, dan pembedaan ini bisa bertambah akibat pandemi. 

Kita semua tahu, ini dunia laki-laki—perempuan lebih miskin, lebih rendah status sosialnya, dan kurang percaya diri, karena gendernya.  Namun Caroline Criado Perez, seorang akademisi dan aktivis feminis Inggris membuktikan betapa absolutnya jaringan misogini di dalam bukunya Invisible Women: Exposing Data Bias in a World Designed for Men (Chiatto & Windus, 2019). 

Di awal bukunya ia menyitir Simone de Beauvoir  (1908-1986), feminis tersohor Perancis. “Representasi dunia, seperti dunia itu sendiri, adalah karya manusia; mereka menggambarkannya dari sudut pandang mereka [laki-laki] sendiri, yang mereka rancukan dengan kebenaran absolut”. 

Criado Perez kemudian menulis 300 halaman membuktikan kata-kata de Beauvoir, dalam bab-bab mengenai lingkungan hidup, tempat kerja, desain, kesehatan, dan politik.

Itulah mengapa, meski negara-negara dengan pemimpin perempuan lebih berhasil menangani pandemi COVID-19, kenyataan ini masih jauh dari cukup untuk menyelamatkan perempuan dari keterpurukan. Yang dibutuhkan adalah perspektif gender atau feminis di semua bidang secara nasional dan internasional. Hal ini sebenarnya akan menguntungkan semua, bukan hanya perempuan.

Namun tidak berarti, dunia tidak bisa belajar dari keenam pemimpin perempuan ini. Mau bukti apa lagi? Pemimpin perempuan bisa lebih efektif! Ayo, pemimpin pria, turunkan ego kalian, dan jangan malah memanfaatkan pandemi ini untuk semakin gila kuasa dan otoriter!

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Julia Suryakusuma adalah penulis buku State Ibuism/Ibuisme Negara (Komunitas Bambu, 2011).