Women Lead Pendidikan Seks
December 02, 2021

‘White Feminism’: Berkah Si Kulit Putih, Musibah untuk Minoritas

White feminism hadir hanya untuk menguntungkan kelompok kulit putih. Itu bahkan dinilai melanggengkan kekerasan dan ketidakadilan gender.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues // Feminism A-Z
Bule Hunter Thumbnail, Magdalene
Share:

Girl boss, istilah yang jamak kita dengar untuk menggambarkan perempuan muda berdaya yang mandiri secara finansial dan sukses berkarier. Mereka perempuan pekerja keras, visioner, dan memiliki agensi, sehingga mampu bersaing setara dengan kolega laki-lakinya atau bahkan bisa melebihi mereka.

Istilah girl boss sendiri pertama kali muncul pada 2014 melalui memoir #Girlboss yang ditulis oleh pebisnis perempuan Sophia Amoruso. Saat memakai istilah ini, Amoruso menekankan, kunci agar perempuan dapat meraih kesuksesan ialah dengan bekerja keras untuk sampai pada posisi atas atau biasa kenal dengan nama hustle culture.

Bagi banyak perempuan muda yang baru meniti kariernya, pesan dari Amaruso terlihat sangat inspiratif dan dan membuat mereka terpacu untuk sukses. Tidak hanya itu, banyak perempuan juga melihat pesan tersebut menunjukkan esensi dari women support women yang mampu merangkul semua perempuan maju bersama-sama.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, istilah girl boss dan pesan yang dibawanya mendapatkan banyak kritikan dari para feminis itu sendiri. Dilansir dari The Boar, girlboss telah menjadi sebuah gerakan elitis yang sama sekali tidak inklusif bagi perempuan-perempuan dari kelompok minoritas. Girlboss mengomodifikasi feminisme dengan menjadikannya sebagai “brand” pemberdayaan perempuan, padahal sebenarnya hanya melanggengkan sistem yang timpang yang mengeksploitasi perempuan.

Feminis Casira Copes untuk media The Pink menyatakan, girl boss tidak berusaha mengubah sistem kapitalisme patriarki, tetapi justru bergerak di bawahnya dengan melabeli dirinya sebagai feminisme. Oleh karena itu, girl boss pun lekat sekali dengan feminisme kulit putih atau white feminism. Sebuah gerakan feminism yang hadir hanya kepentingan kelompok tertentu.

Baca Juga: Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-Dasar Feminisme (1)

Sejarah Singkat White Feminism

Dalam buku White Feminism: From the Suffragettes to Influencers and Who They Leave Behind (2021), Koa Beck mengatakan bahwa munculnya white feminism sebenarnya bisa dilacak sedari awal gerakan feminisme gelombang pertama muncul. Melalui A Vindication of the Rights of Woman yang diterbitkan pada 1792, Mary Wollstonecraft mulai memperkenalkan kepada perempuan-perempuan kulit putih kelas menengah tentang situasi ketidakadilan gender yang mereka alami.

Dalam bukunya tersebut, ia mengkritik masyarakat yang kerap memperlakukan perempuan layaknya burung dalam sangkar yang hanya hidup sebagai “hiasan” bagi suaminya saja. Ia pun mengadvokasi kesetaraan hak dan politik antara laki-laki dan perempuan.

Dari sinilah kemudian gerakan hak pilih atau suffrage mulai muncul dengan menekankan pada perjuangan mendapatkan kesetaraan hak pilih dalam politik bagi perempuan. Namun, kendati bergerak atas nama perempuan, para pejuang hak pilih atau suffragettes sebenarnya secara esensi memperjuangkan hak para perempuan kulit putih kelas menengah.

Hal ini terlihat dari bagaimana pada 1920 perempuan kulit putih secara hukum sudah mendapatkan hak pilihnya, sedangkan perempuan kulit hitam masih diabaikan hak-haknya. Mereka dibiarkan berjuang sendirian tanpa diberikan dukungan yang sama. Mereka juga masih tetap harus melawan diskriminasi rasial ketika mendaftar untuk memilih dan pergi ke tempat pemungutan suara.

Baca Juga: Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-Dasar Feminisme (2)

White Feminism Saat Ini

Dalam penelitian Self-Optimization in the Face of Patriarchy: How Mainstream Women’s Media Facilitates White Feminism (2021), Koa Beck menjelaskan, sejak Lean In: Women, Work, and the Will to Lead (2013) yang ditulis Sheryl Sandberg terbit, pesan tentang definisi kesuksesan profesional dengan kemasan feminis disebarkan kepada publik. Feminisme pun mendapatkan julukan barunya, antara lain feminisme gaya hidup, feminisme pemberdayaan atau feminisme korporat atau feminisme lite. Feminisme model ini menekankan kepada model sukses kulit putih atau aspirasi kulit putih. Dengan membangun narasi, kesuksesan karier pribadi adalah langkah feminis, feminisme dalam prosesnya dikodekan sebagai sesuatu yang bersifat individualistis, berorientasi pada kesuksesan individu dalam pandangan kapitalisme, dan penghargaan dalam bidang profesional.

Hal ini dibuktikan dari segudang profil dan liputan para CEO perempuan yang menjamur di berbagai media perempuan. Kesuksesan mereka mencapai posisi strategis dan akses mereka terhadap pengambilan keputusan disejajarkan dan didefinisikan sebagai feminis. White feminism pun hadir dalam satu dimensi, yaitu dengan memusatkan diri pada pengalaman perempuan, cis hetero, kelas menengah atas, mempunyai privilese sebagai perempuan. Maka tidak mengherankan profil dan liputan para CEO perempuan ini selalu berfokus pada strategi individu untuk berhasil dalam sistem yang didominasi laki-laki. Tips-tips dan motivasi seperti “kepercayaan diri”, “keyakinan”, “kerja keras”, dan “berani mengambil risiko” adalah strategi yang berulang kali digaungkan untuk menjadi satu-satunya cara untuk perempuan mencapai kesuksesan.

Tidak hanya itu, karena menekankan pada model sukses kulit putih, white feminism hadir dalam menanamkan mimpi atau cita-cita gaya hidup yang diidamkan perempuan muda. Misalnya dari bagaimana masih banyak perempuan muda ingin pergi ke perguruan tinggi yang sangat elit, menjalankan perusahaan sendiri, menjalin pernikahan atau hubungan jangka panjang dengan pasangan lain, memiliki anak, dan menjadi kelas menengah tanpa bisa mengidentifikasi tantangan apa yang akan perempuan temui selama perjalannya.

Selain termanifestasikan dalam gaya hidup, white feminism pun hadir dalam sebuah bentuk anti kritik para feminis kulit putih atas panggilan solidaritas kelompok minoritas. Rachel Elizabeth Cargle, seorang penulis dan aktivis anti rasisme kulit hitam pada 2018 melalui Harper Bazaar menuliskan pengalamannya dalam melakukan panggilan solidaritas dengan sesama teman-teman feminis. 22 Juli 2018, seorang remaja kulit hitam Nia Wilson dibunuh oleh laki-laki kulit putih John Lee Cowell. Pembunuhan ini sontak membuat publik geger karena dilakukan secara spontan tanpa intensi apa pun. Cargle yang melihat kejadian ini pun memanggil teman-teman feminisnya untuk bersolidaritas tidak terkecuali dengan feminis kulit putih.

Namun, sayangnya panggilan solidaritas ini mendapat kecaman balik dari para feminis kulit putih.  Feminis kulit putih menganggap panggilan solidaritas yang dilakukan Cargle sebagai serangan terhadap mereka seakan-akan mereka tidak berkontribusi apapun dalam mengurangi kekerasan terhadap ras kulit hitam. Mereka marah dengan posting Instagram yang mereka rasa menantang pencapaian feminis mereka sendiri. Mereka melakukan pembelaan diri dan menuntut agar mereka diakui atas semua hal yang telah mereka lakukan untuk orang kulit hitam di masa lalu.

Pada akhirnya, white feminism tidak mengganggu struktur atau sistem, tetapi bermain di dalamnya. Feminisme ini mencerminkan lanskap neoliberal yang jelas dalam wacana feminis popular. Feminisme ini hadir dengan struktur yang tetap dipertahankan dengan perempuan kelompok minoritas yang harus berjuang sendirian melawan ketidakadilan.

Baca Juga: ‘Suffragettes’: Mereka yang Berdarah-darah Cuma demi Hak Pilih

Cara Mengidentifikasi White Feminism

Lalu bagaimana kita dapat mengidentifikasi white feminism di sekitar kita atau bibit-bibit white feminism yang mungkin terdapat dalam diri kita? Berikut beberapa cara yang Cargle tawarkan:

  1. Mengecualikan diri dari percakapan ras dengan mengatakan hal-hal seperti “Saya berteman dengan orang kulit hitam jadi saya tidak mungkin rasis”, “atau “Saya sudah beberapa kali berbicara tentang hal ini”. 
  2. Mencoba merasionalisasi diskriminasi gender dalam perusahaan dengan mengatakan "Perempuan A memang dasarnya tidak terlalu berusaha keras"
  3. Ketika perempuan kulit berwarna atau perempuan dari kelompok minoritas lain angkat suara tentang rasa sakit, frustrasi, dan kemarahan mereka dengan ketidakadilan yang mereka terima akibat sebuah sistem, kita justru berusaha membelokkannya dengan isu lain yang dianggap kita lebih penting
  4. Ketika dihadapkan dengan fakta bahwa tindakan atau ucapan kita telah menyinggung kelompok yang terpinggirkan, kita akan mulai menuntut persatuan dan perdamaian. Kita akhirnya melukis orang-orang yang mereka lukai sebagai agresif, kejam, atau memecah belah.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.