Dalam sebuah percakapan santai beberapa purnama silam, seorang kawan bertanya mengapa sebagian dari kita terlihat lebih khatam mengutip dan merujuk karya-karya Jane Austen, Virginia Woolf, dan Simone de Beauvoir daripada karya-karya dari pengarang lokal. Jujur, saya tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan tersebut.
Meski bernada gugatan ketimpangan khas negara Selatan, pertanyaan tersebut sahih dan memaksa kita menimbang kedudukan perempuan Indonesia, dan melihat bagaimana kita diajarkan dalam sistem pendidikan Indonesia selama ini.
Secara bersamaan, kita menyaksikan beragamnya adaptasi novel karya Jane Austen menjadi sejumlah film populer, seperti juga maraknya berbagai miniseri drama seperti Mrs. America dan The Chair yang mengangkat isu-isu kontemporer. Sementara, kenyataan di Indonesia bertolak belakang.
Kita hanya punya film Surat Cinta untuk Kartini (2016) dan Kartini (2017), yang mungkin menjadikan R.A.Kartini sebagai satu-satunya tokoh penulis perempuan yang kisah hidupnya diadaptasi menjadi film populer. Terasa ada jurang lebar dalam mencari dan menyusun rujukan kita sendiri.
Buku Yang Terlupakan dan Dilupakan: Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia terbitan Marjin Kiri (2021) menjadi jembatan yang menyeberangi jurang lebar tersebut. Sebagai hasil dari serangkaian pertemuan dalam kolektif Ruang Perempuan dan Tulisan (RPDT) pada 2018, buku tersebut membentangkan sebuah cetak biru yang dirancang guna memperkenalkan (kembali) para tokoh penulis kita yang “terlupakan dan dilupakan” akibat gerusan patriarki, pengabaian birokratis, dan kekerasan struktural dalam sejarah negara kita.
Baca juga: Kartini, Nasionalis yang Terlupakan
Sepuluh penulis mengusung proyek tersebut lewat pembacaan mereka atas kisah hidup dan karya para tokoh penulis kita. Mereka berturut-turut adalah: Giovanni Dessy Austriningrum tentang S. Rukiah Kertapati (1927-1996), Isyana Artharini tentang Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), Rain Chudori tentang Omi Intan Naomi (1970-2006), Dwi Ratih Ramadhany tentang Ratna Indraswari Ibrahim (1949-2011), Ni Made Purnamasari tentang Sugiarti Siswadi (meninggal 1983), Aura Asmaradana tentang Saadah Alim (1898-1968), Nur Janti tentang Maria Ulfah (1911-1988), Ayu Puspita Sari Ningsih tentang Hamidah/Fatimah Hasan Delais (meninggal 1953), Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie tentang Dahlia/Tan Lam Nio (1909-1932), dan Dhianita Kusuma Pertiwi tentang Charlotte Salawati (1909-1985).
Sebagaimana pengantar yang dirangkum oleh Dewi Kharisma Michellia, Dewi Noviami, dan Indraswari Agnes di bagian awal buku disebutkan, secara bersama-sama mereka “berbagi wawasan tentang para penulis yang diteliti, membicarakan konteks sejarah dan latar belakang para perempuan penulis ini yang memberikan nyawa bagi karya mereka” (hlm. vii). Ini adalah sebuah pendekatan yang jitu dalam menyelami sebuah atau beberapa tulisan berbarengan.
Hasilnya, pembaca diajak menyelami pengalaman kesepuluh penulis, menyusuri berbagai karya tiap penulis tersebut, membacanya dan menghubungkan dengan kisah hidup para tokoh penulis. Mereka menyoroti sejumlah analisis yang telah ada sebelumnya (baik dari dalam maupun luar negeri), dan mencari titik-titik temu dengan apa yang mereka baca.
Baca juga: Menjadi Perempuan Penulis Muda di Jakarta
Mereka juga melakukan wawancara dengan keluarga tokoh penulis atau kerabat yang masih hidup guna menggali berbagai segi kehidupan sang tokoh penulis. Dengan tekun, mereka mencatat hal-hal yang kelihatannya tampak remeh, seperti Suwarsih Djojopuspito yang “suka membuat kerajinan tangan seperti boneka hewan yang terbuat dari wol” (hlm. 23), Omi Intan Naomi yang “sering bekerja sendirian selama berhari-hari tanpa keluar kamar” (hlm. 92), Charlotte Salawati yang selalu terlihat mengenakan pakaian yang sama yaitu “atasan longgar bermodel kebaya dengan sepasang saku besar di bagian bawah” (hlm. 268), dan lain sebagainya. Itu semua membantu pembaca memahami keseharian, pribadi, dan pilihan hidup sang tokoh.
Sepuluh tokoh penulis boleh dipandang mewakili suara, ekspresi, dan keprihatinan perempuan Indonesia sejak awal abad ke-20 hingga sekarang ini. Keberagaman latar belakang, pemikiran dan pengalaman perempuan menjadi titik tolak utama. Dengan begitu, kita bisa melihat bahwa perempuan Indonesia punya kekuatan dan kekayaan referensi yang mumpuni.
Dari sini, timbul kebutuhan untuk menerbitkan kembali karya-karya para tokoh penulis kita, sehingga memungkinkan pembacaan yang lebih meluas dan makin berakar agar karya-karya mereka tidak menjadi beku di lemari-lemari perpustakaan yang berdebu. Dengan menerbitkan buku ini, pengalaman dan karya mereka kembali hidup di tengah kita dan memenuhi alam imajinasi populer kita. Ibarat belik yang tak lekang waktu, karya-karya mereka menjadi sumber utama kita dalam merajut intertekstualitas di dalam karya-karya kita sendiri.
Dengan begitu, kita bisa menyadari, misalnya, bahwa kisah pergaulan Sulastri dan Sudarmo sebagai pasangan proletar intelektual pada 1930-an di dalam novel karya Suwarsih Djojopuspito tidak kalah menarik daripada kisah romantika kelas borjuis ala Mr. Darcy dan Elizabeth Bennet. Malah boleh jadi, lebih menggemaskan dan dapat menjadi rujukan nyata dalam melihat fenomena banyaknya perempuan prekariat muda kita sekarang ini.
Yang Terlupakan dan Dilupakan adalah tonggak yang membuka pemahaman kita akan sumbangsih dan pentingnya karya-karya para tokoh penulis perempuan kita. Sebuah buku yang berasal dari kerja bersama para perempuan, tentang perempuan, dan wajib dibaca oleh kita semua.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments