Di sebuah kamar serba ungu, kamera menyorot remaja perempuan mengenakan BH dan celana dalam berwarna sama. Perempuan yang dipanggil Yuni (Arawinda Kirana) itu kemudian bergegas mengenakan kemeja sekolah dan rok lipit abu-abu lengkap dengan jilbab berwarna putih.
Kamera tidak ingin menonjolkan sensualitas saat Yuni sedang berpakaian, tapi sekadar rutinitas yang dilakukan semua orang setiap pagi. Sayangnya, bagi orang dewasa di sekitarnya, tubuh Yuni dianggap sudah matang dan menjadi objek seksualisasi. Remaja berusia 16 tahun itu pun dinilai sudah siap menikah layaknya remaja belasan tahun lain di sekitarnya.
Lewat sudut pandang Yuni, Kamila Andini, sutradara Yuni menggarap film coming of age tentang pernikahan usia anak. Alih-alih meromantisasi pendewasaan seperti sutradara AS John Hughes yang karyanya prominen dengan tema itu, Kamila menunjukkan masalah struktural pernikahan dini serta pengaruhnya pada kehidupan perempuan dengan halus dan ringan.
Dengan latar meningkatnya konservatisme agama hingga kampanye pejabat untuk mewajibkan tes keperawanan, Yuni dihadapkan dengan dua pilihan: Kebebasannya atau mengikuti kebiasaan setempat untuk menikah di usia anak. Hal itu menjadi dilema bagi Yuni yang tinggal berdua bersama neneknya di Serang, Banten, sedang ayah dan ibunya bekerja di Jakarta.
Layaknya seorang heroine atau protagonis perempuan utama, Yuni berbeda dengan teman-temannya. Dia belum tertarik untuk pacaran meskipun ‘kagum’ pada gurunya Pak Damar (Dimas Aditya), pemberani dengan rasa ingin tahu yang tinggi, serta belum berstatus menikah. Beberapa temannya sudah ada yang menikah dan tidak melanjutkan pendidikan karena telah berkeluarga.
Baca juga: 5 Cara ‘The Chair’ Angkat Isu Perempuan
Isu tentang menikah muda kali pertama ditekankan ketika Bu Lies (Marissa Anita) mengatakan Yuni berpotensi mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Meski demikian, status belum menikah menjadi salah satu syaratnya.
Dari segi akademik, Yuni tidak punya masalah. Namun, malapetaka membayangi ketika lamaran dari beberapa lelaki datang padanya. Walaupun Yuni belum tahu ingin belajar apa di universitas, sudah jelas menikah bukan pilihan yang diinginkannya. Lamaran itu yang menjadi pembuka isu lainnya yang dibahas satu per satu secara tipis-tipis.
Dari segi penarasian isu pernikahan anak, Kamila menyampaikannya secara bertahap, perlahan, dan terintegrasi dengan cerita masing-masing karakternya. Tika (Anne Yasmine), misalnya, salah satu sahabat Yuni yang menikah dan melahirkan di usia remaja tidak tinggal seatap dengan suaminya. Alasannya karena suaminya juga masih remaja dan tidak siap berumah tangga. Tika juga menjadi semacam ‘pintu’ yang menunjukkan pernikahan anak bukan sesuatu yang indah untuk Yuni.
Selain itu, konteks ekonomi dan sosiokultural yang mendorong anak untuk menikah tidak sekadar tempelan atau alat untuk memperdalam konflik cerita. Tetapi, bagian dari kehidupan Yuni dan orang-orang di sekitarnya yang digambarkan secara mulus dan membumi. Misalnya, pihak sekolah yang tidak heran siswanya putus sekolah untuk menikah atau pilihan kerja di pabrik yang semakin marak di Serang.
Baca juga: Belajar Soal Ketangguhan Perempuan dari ‘Selena: The Series’
Akting dari Arawinda bersama pemainnya lainnya yang ciamik semakin meyakinkan dengan menggunakan bahasa Jawa Banten, banyak dipengaruhi bahasa Sunda, yang membuat setiap adegan tampak natural. Gaya sinematografinya juga memberikan kesan film indie artistik, alih-alih film panjang komersial murahan yang diproduksi sekenanya sekedar untuk profit.
Yuni menjadi semacam film coming of age terbaik lokal yang menampilkan isu nyata bagi remaja perempuan di seluruh Indonesia. Tidak hanya tentang pernikahan anak, tapi juga seksualitas, cinta, keluarga, dan persahabatan.
‘Female Gaze’ Sorot Isu Gender
Walaupun Yuni tidak secara lantang menyebutkan dirinya sebagai film feminis, isu yang ditampilkannya adalah hal-hal yang diperjuangkan dalam feminisme. Tidak hanya pernikahan anak, tetapi kekerasan dalam rumah tangga, ekspresi gender serta orientasi seksual, hingga poligami. Isu tersebut juga ditampilkan lewat female gaze, istilah dalam perfilman yang menampilkan sesuatu dari sudut pandang perempuan.
Misalnya Suci, diperankan Asmara Abigail, pemilik bisnis salon yang enigmatik menjadi ‘mentor’ bagi Yuni untuk melawan kebiasaan masyarakat mengekang perempuan, seperti tidak boleh pulang malam. Saat relasi mereka semakin dekat, Suci menceritakan tentang pernikahan muda dari sudut pandangnya, bagaimana rahim seorang remaja belum siap untuk mengandung, serta kerentanan perempuan menjadi korban kekerasan.
Baca juga: Kata Siapa Perempuan Selalu Benar: Kacamata ‘Male Gaze’ dalam Film ‘Selesai’
Suci menyampaikan hal itu secara gamblang dalam satu percakapan dengan Yuni. Namun, ada juga isu ketimpangan gender akibat nilai-nilai patriarki yang terintegrasi yang disampaikan secara halus. Contohnya ketika sekumpulan ibu-ibu menyatakan perempuan tidak boleh pilih-pilih jodoh sampai pernyataan suara adalah aurat perempuan dan tanggapan setinggi apapun perempuan belajar pasti akan kembali ke sumur, kasur, dan dapur.
Aspek yang membuat film peraih Platform Prize dalam The Toronto International Film Festival (TIFF) itu semakin apik ialah isu ketimpangan gender tidak disampaikan secara menggurui. Namun sebagai hal yang terjadi sehari-hari, seperti Yuni dengan pengalamannya sendiri dan caranya menyerap atau memahami permasalahan itu dari interaksinya bersama perempuan lain dalam film. Pola pengisahan tersebut menunjukkan Kamila sebagai pendongeng yang cerdik.
Sudut pandang yang ditonjolkan dalam film itu, transisi Yuni menuju pendewasaan juga dimaknai dengan dua cara. Saat ia bersama Suci, Yuni memeluk kebebasannya sebagai perempuan yang bisa melakukan apa saja. Sama halnya ketika bersama kawan-kawannya, Yuni bisa berperilaku layaknya remaja yang lepas dari tuntutan untuk menikah muda.
Sayangnya, bagi orang dewasa Yuni sudah harus menikah, apalagi status keperawanannya menjadi semacam nilai mahal yang bisa diperjualbelikan. Hidupnya pun bukan menjadi miliknya sendiri.
Yuni juga tidak terjebak dalam pilihan heteronormatif, meskipun Yuni dan teman sekolahnya Yoga (Kevin Ardilova) memiliki semacam cinta monyet bertepuk sebelah tangan yang membuat greget. Selain itu, ada juga simbolisme kesukaan Yuni akan warna ungu, di Indonesia identik dengan janda, dengan penolakannya pada lamaran pernikahan yang dianggap akan membuatnya semakin jauh dari jodoh.
Walaupun Yuni menjadi titik utama film, tapi ceritanya mengenai semua perempuan dalam film tersebut. Yuni dan sahabat-sahabatnya yang ‘dipaksa’ menjadi pengantin cilik, tapi masih malu-malu bicara tentang seks dan orgasme. Suci dan Asih (Mian Tiara) yang melawan nilai heteronormatif bahkan Bu Lies sebagai perempuan yang ingin terus berkarier walaupun ada tantangan dari orang sekitarnya.
Yuni adalah film tentang kehidupan perempuan dari perempuan, dan untuk perempuan.
Comments