Setelah dikeluarkan dari daftar RUU Prolegnas Prioritas 2020, RUU PKS sedang mengalami ketidakpastian hingga Oktober mendatang.
Indonesia sebetulnya terikat komitmen untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Tidak ada standar yang jelas dalam menilai RUU yang perlu dicabut dari daftar prioritas di DPR.
Belum adanya payung hukum khusus untuk menjerat pelaku membuat kasus pelecehan seksual marak, termasuk dalam situasi ‘work from home’.
Mengapa kita perlu mendorong untuk pengesahan RUU PKS? Kenapa RUU PKS seharusnya masuk dalam daftar pembahasan prioritas DPR? Apakah jika disahkan, UU Penghapusan Kekerasan Seksual akan tumpang tindih dengan aturan lainnya? Pencabutan RUU PKS dari pembahasan prioritas DPR 2020 sekali lagi menunjukkan ketidakberpihakan wakil rakyat terhadap masyarakat. Terlebih, alasan yang dilontarkan sangat tidak menunjukkan empati terhadap korban.
Dampak kekerasan terhadap perempuan bukan hanya soal statistik tapi juga keadilan, humanisme, dan hak asasi manusia.
Isu gender dan seksualitas secara progresif belum mendapat tempat khusus dalam wacana keislaman tradisional, apalagi menjadi satu gerakan konkret.
Aparat penegak hukum masih lemah dalam hal perspektif dan kepekaan gender dalam proses penegakan hukum.