Pencabutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari pembahasan prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2020 sekali lagi menunjukkan ketidakberpihakan wakil rakyat terhadap masyarakat. Terlebih, alasan yang dilontarkan sangat tidak menunjukkan empati terhadap mereka yang pernah menjadi korban.
“Kami menarik RUU PKS karena pembahasannya agak sulit,” ujar Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, seperti dikutip media.
Pernyataan pemerintah ini melukai 431.471 perempuan korban kekerasan seksual, sebagaimana catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sepanjang 2019. Catatan Tahunan Komnas Perempuan melaporkan jumlah kekerasan terhadap perempuan yang meliputi pemerkosaan, pencabulan, inses, eksploitasi seksual, pelecehan seksual, pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape), tindakan kriminal siber (cyber crime), pemaksaan aborsi, perbudakan seksual dan percobaan pemerkosaan meningkat hampir 800 persen dalam 12 tahun terakhir.
Di saat yang bersamaan, kekerasan terhadap anak perempuan sepanjang tahun 2019 meningkat sebesar 65 persen. Komnas Perempuan menggarisbawahi bentuk kekerasan seksual inses dan kekerasan seksual sebagai kekerasan yang paling sering terjadi pada anak perempuan. Artinya, 1 dari 16 anak perempuan di Indonesia terlahir dalam keluarga yang, cepat atau lambat, akan melakukan tindakan kekerasan kepada dirinya.
Baca juga: RUU PKS Ditunda, Ini Tantangan Penghapusan Kekerasan Seksual
Jika mungkin data tidak cukup untuk menggambarkan situasi darurat yang dialami kelompok perempuan, para wakil rakyat seharusnya bisa membaca laporan media terkait tindak kekerasan terhadap perempuan. Pada 28 Juni 2020, Kompas.com memberitakan kasus seorang remaja perempuan berusia 13 tahun yang diperkosa oleh sepupunya hingga hamil. Pada 28 Mei 2020, Tribunnews.com menulis berita tentang perempuan usia 18 tahun yang diperkosa oleh 5 pria dan video kasus biadab tersebut disebarkan via WhatsApp. Pada Januari 2020, seorang perempuan dipaksa menggugurkan kandungannya oleh pasangannya seperti yang dilaporkan oleh Grid.id. Sepanjang bulan Juni 2020, penulis mencatat lebih dari 120 liputan berita yang melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Sikap pemerintah yang mendorong masyarakat terus hitung-hitungan terkait jumlah korban dan dampak kekerasan terhadap perempuan, demi menjustifikasi kebutuhan perlindungan hukum bagi mereka sesungguhnya menjadi bukti lain bahwa pemerintah tidak memiliki sedikit pun empati.
Dampak kekerasan terhadap perempuan bukan hanya soal hitung-hitungan statistik karena seharusnya permasalahan ini dilihat dari kacamata keadilan, humanisme, dan hak asasi manusia. Tidak seorang pun layak mendapatkan siksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan, menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlaku secara universal.
Sikap pemerintah yang mendorong masyarakat terus hitung-hitungan terkait jumlah korban dan dampak kekerasan terhadap perempuan, demi menjustifikasi kebutuhan perlindungan hukum bagi mereka, sesungguhnya menjadi bukti lain bahwa pemerintah tidak memiliki sedikit pun empati.
Dampak Kekerasan terhadap Perempuan
Perempuan korban kekerasan menanggung beban fisik dan mental baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat konsekuensi dari tindakan kekerasan terhadap perempuan meliputi luka fisik berupa pendarahan dan patah tulang; luka fisik yang berpotensi menyebabkan kecacatan permanen; keterbatasan kondisi kesehatan reproduksi seperti penyakit menular seksual, keguguran, robekan pada organ reproduksi seperti vagina, disfungsi seksual, kehamilan tidak diinginkan, dan femisida. Di samping luka fisik, perempuan korban kekerasan juga rentan terhadap dampak jangka panjang seperti kondisi kejiwaan yang rentan, trauma berkepanjangan, gangguan pola makan, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang hingga bunuh diri.
Dampak kekerasan tidak hanya muncul pada tingkat individual. Anak yang terbiasa menyaksikan tindak kekerasan di dalam lingkungan keluarga berpotensi tumbuh sebagai orang yang menormalisasi, bahkan menjadi pelaku tindakan kekerasan. Hal ini berpotensi memicu munculnya lebih banyak tindakan kekerasan dalam ruang lingkup masyarakat yang lebih luas.
Pemerintah sepertinya harus disadarkan bahwa dampak kekerasan seksual bisa menjalar ke mana-mana. Menurut penelitian yang dilakukan terhadap korban kekerasan dampingan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Tengah, perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mengalami keterpurukan ekonomi. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi miskin.
Baca juga: Problem Pembahasan Kekerasan Seksual dalam Fikih Islam
Hal yang sama juga terjadi di Ghana, yang sebetulnya memiliki kondisi kesetaraan gender yang lebih baik karena memiliki panduan Kebijakan Nasional untuk melindungi hak-hak perempuan. Total kerugian akibat dampak kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2010-2024, dengan asumsi rata-rata kasus yang pernah terjadi sebelumnya, diprediksi mencapai US$70 miliar. Kondisi ini disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran korban untuk mengobati luka fisik dan psikologis yang ditimbulkan, serta dampak tidak langsung yang membuat produktivitas mereka menurun. Belum lagi dampak turunan yang ditimbulkan ketika perempuan korban kekerasan yang mengalami keterpurukan ekonomi tadi memiliki tanggungan anak. Situasi ini akan memunculkan rantai kemiskinan baru yang sulit diputus. Bayangkan, berapa total kerugian yang ditimbulkan di Indonesia yang kondisi kesetaraan gender dan payung hukumnya jauh di bawah Ghana.
RUU PKS merupakan salah satu obor yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan bermasyarakat, khususnya perempuan dan kelompok rentan lainnya seperti anak-anak, kelompok difabel, dan kelompok gender minoritas. Dengan disahkannya RUU PKS, perempuan di Indonesia dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik, memiliki aktualisasi diri yang optimal, serta dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang selalu dibanggakan pemerintah Indonesia saat ini.
Tanpa harus disajikan hitung-hitungan riil dampaknya, sebetulnya kami sebagai perwakilan masyarakat sipil berharap wakil rakyat bisa lebih menunjukkan kepedulian dan memperjuangkan kebutuhan masyarakat seperti yang seharusnya mereka lakukan. Tetapi, kalau sudah disajikan data dampaknya bagi negara secara makro seperti sekarang dan mereka tetap tidak tergerak, kita sepatutnya wajib bertanya. Kepentingan siapa yang sebetulnya mereka utamakan selama ini? Negara, masyarakat, atau kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri?
Comments