Pada setiap momentum yang berkaitan dengan perempuan, seperti Hari Ibu Nasional dan Hari Perempuan Sedunia, ada banyak ucapan yang memuji kerja-kerja domestik yang dilakukan oleh perempuan. Masalahnya, entah disadari atau tidak, glorifikasi semacam itu justru mengukuhkan budaya patriarkal soal pembagian kerja dalam rumah tangga: Laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah, sementara perempuan sebagai pengurus merangkap pekerja rumah tangga.
Tapi mungkin ada yang bilang, “Oh, itu bentuk pujian terhadap kerja perempuan dalam rumah tangga. Artinya, masyarakat mengakui kontribusi kerja domestik perempuan dalam kehidupan sosial.”
Hingga sekarang ini, kerja rumah tangga yang dilakukan perempuan, mulai dari mengurus rumah tangga (memasak, mencuci, dan lain-lain) hingga kerja-kerja perawatan (merawat anak dan lansia), masih tergolong “kerja tak dibayar” (unpaid works). Pahitnya, bukan hanya tak dibayar, kerja domestik juga terkadang dianggap bukan pekerjaan.
Dari kondisi kerja domestik tak berbayar itulah, kapitalisme mengambil keuntungan. Bagaimana caranya?
-
Tidak Semua Hasil Produksi Kapitalisme Bisa Langsung Dikonsumsi
Ikan segar tak bisa langsung dimakan, tetapi dibersihkan dulu, lalu dimasak. Begitu juga dengan terigu, margarin, telur, dan gula pasir. Ada kerja khusus untuk mengubahnya menjadi kue. Kerja tersebut adalah memasak. Mengubah bahan-bahan mentah menjadi makanan yang tersaji di meja makan adalah bagian dari kerja domestik. Di rumah tangga, kerja ini dilakukan oleh perempuan dan tidak dibayar alias gratis.
Baca juga: Ibu Rumah Tangga: Pekerjaan yang Selalu WFH
2. Energi Tenaga Kerja Dipulihkan
Kerja domestik perempuan berkontribusi pada apa yang disebut oleh Karl Marx sebagai “reproduksi tenaga kerja”. Berkat kerja-kerja domestik seperti memasak, mencuci, dan kerja-kerja perawatan, energi tenaga kerja senantiasa terpulihkan, sehingga bisa hadir di pabrik setiap hari.
Coba bayangkan seandainya tak ada dukungan kerja-kerja domestik. Untuk memulihkan energinya, buruh harus membeli makanan dan minuman. Bila badannya terserang letih dan pegal, dia harus membayar jasa tukang pijat. Tentu saja, buruh harus mengeluarkan uang lebih banyak. Hal itu akan mendesaknya untuk menuntut upah dan tunjangan yang lebih tinggi.
-
Kerja Domestik Perempuan Terkait dengan Jam Kerja Kapitalisme
Semakin banyak kerja domestik yang dilakukan perempuan, semakin banyak waktu luang bagi laki-laki. Bagi kapitalisme, itu kesempatan untuk mengintensifkan waktu kerja.
Nah, coba bayangkan kalau tak ada kerja domestik perempuan. Semua kerja-kerja domestik harus dikerjakan oleh laki-laki yang notabene merangkap sebagai buruh juga.
Oke, mungkin ada yang bilang, itu bisa diatasi dengan menggunakan jasa pekerja rumah tangga (PRT). Tapi ingat, tak ada PRT yang bisa dibayar gratis. Itu berarti buruh harus punya gaji yang tinggi, sehingga bisa menyisihkan sebagian gajinya untuk membayar PRT-nya.
-
Kerja Domestik Berkontribusi pada Uang di Kantong Para Pekerja
Semakin banyak kerja domestik yang dilakukan perempuan, semakin sedikit juga biaya yang harusnya dikeluarkan untuk urusan kerumahtanggaan. Di lain sisi, karena ada anggapan bahwa perempuan sepatutnya ditempatkan sebagai pengurus rumah tangga, upah PRT pun relatif lebih rendah.
Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan
“Semakin kapital menekan upah dan mengintensifkan jam kerja, semakin besar beban yang ditimpakan ke rumah tangga,” tulis Michael Lebowits, seorang ekonom marxist dalam artikel The Path to Human Deveploment: Capitalism or Socialism.
Secara global, perempuan menghabiskan tiga per empat atau 76,2 persen dari total jam mereka setiap harinya untuk melakukan pekerjaan perawatan tidak dibayar. Di Indonesia, berdasarkan survei Jurnal Perempuan pada 2018, rata-tata ibu rumah tangga (IRT) di Indonesia menghabiskan 13,5 per jam sehari untuk kerja-kerja domestiknya.
Sementara gerakan buruh memperjuangkan jam kerja 8 jam sehari sejak awal abad ke-19, lalu mulai terwujud di permulaan abad ke-20, pekerjaan-pekerja domestik dan perawatan rata-rata masih dilakukan di atas 12 jam sehari. Tak salah, banyak yang menyebut pekerjaan domestik sebagai bentuk perbudakan di abad modern.
Kita tak bisa membiarkan kerja-kerja domestik tetap dianggap sebagai kerja yang bukan “kerja”. Demikian halnya dengan anggapan sosial yang menempatkan perempuan sebagai pekerja domestik.
Untuk itu, negara perlu mengakui pekerjaan domestik dan kerja perawatan sebagai kerja produktif yang bernilai ekonomi dan bermanfaat bagi masyarakat. Ide memberi insentif atau gaji bagi kerja domestik dan kerja perawatan (wage for housework) patut dipertimbangkan.
Dalam jangka panjang, harapannya kerja domestik tak lagi dianggap unpaid work dan tak lagi dianggap tugas perempuan. Ini bisa dikerjakan oleh siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan.
Catatan: Artikel ini telah diperbarui dengan penyuntingan di sebagian konten.
Pandangan, pikiran, dan opini yang diekspresikan dalam artikel ini sepenuhnya menjadi milik dan tanggung jawab penulis.
Comments