Pertama kali saya mencoba menggunakan dating apps alias aplikasi kencan adalah pada 2017, saat masih berkuliah semester lima. Setelah melihat-lihat berbagai aplikasi, saya memilih MeetMe secara acak. Kesan pertama sungguh tidak menggoda. Sebagian besar laki-laki yang saya temui di sana doyan melontarkan candaan seksis dan menjurus ke pelecehan seksual verbal.
Karena sibuk dengan tugas akhir, saya vakum dari dunia aplikasi kencan ini, dan mulai memakainya lagi setelah lulus kuliah. Kali ini saya berganti aplikasi dan mencoba OkCupid dan Tinder. Mulanya biasa saja, saya tidak bertemu cowok aneh-aneh—semua tampak beradab dan cukup intelek. Paling banter suka melontarkan dad jokes saja. Tapi semakin lama saya menjelajah kedua aplikasi ini dan berkencan dengan beberapa orang, alarm saya mulai menyala.
Ada yang dari awal sudah doyan merendahkan orang; ada yang dari pertama tangannya sudah grepe-grepe; dan ada juga yang membuat saya harus kabur secara diam-diam karena mulai membuat saya tidak nyaman dan jengah.
Tidak semua pengalaman berakhir tidak enak, sih. Ada juga yang akhirnya sempat jadi pacar, atau menjadi sahabat dekat sampai sekarang. Saya akui, aplikasi kencan ini mengajarkan saya banyak hal, tetapi yang paling utama adalah soal sifat manusia dan keselamatan ketika bertemu teman kencan kita.
Berdasarkan pengalaman selama menjelajah aplikasi kencan ini, saya menggolongkan mereka yang saya temui dan berakhir nestapa ke dalam lima golongan berikut. Cowok-cowok ini tidak semengerikan penjahat kelamin atau predator, tapi perlu diwaspadai juga.
Baca juga: Mereka yang Mencari Seks Gratis di Tinder
-
Brosialis
Salah satu tipe laki-laki idaman saya memang lebih condong memiliki pandangan politik sosialis. Yang mengesankan seperti ini bertebaran di aplikasi kencan, dengan profil bertuliskan, “Tiada yang lebih indah daripada berkencan sambil menghancurkan sistem” atau “Ingin menghancurkan kapitalisme bersamamu.” Tidak lupa mereka mencantumkan Das Kapital dan Michael Bakunin sebagai referensi. Sungguh menjanjikan, bukan?
Obrolan awal biasanya asyik, dengan topik isu poleksosbudhankamnas. Beberapa kali saya bertemu dengan laki-laki seperti ini, dan mereka fasih berbicara soal ketimpangan sosial, otoritarianisme, juga kapitalisme. Namun permasalahan mulai muncul ketika saya mulai membicarakan tentang isu perempuan, yang ternyata off limit buat para brosialis yang saya temui.
Masbro-masbro ini menyamaratakan akar semua permasalahan sebagai soal kelas, dan memandang persoalan perempuan dan patriarki itu tidak ada. Bahkan mereka juga tidak segan-segan melontarkan ujaran seksis dan misoginis. Kalau sudah begini, saya langsung bye.
Seperti yang editor saya bilang, “Ada sial dalam brosialis.”
-
Anak senja
Anak senja adalah pemuda-pemuda artsy alias nyeni. Saya senang ketika matched dengan tipe seperti ini karena saya pun penyuka seni. Ngobrolin segala sesuatu berbau seni itu sangat menyegarkan buat saya, yang setiap hari mesti bergulat dengan isu kekerasan terhadap perempuan atau RUU Cilaka dan Halu.
Tapi ketika si anak senja ini berubah jadi snob dan menganggap seleranya paling superior, di sini saya merasa sedih. Salah satunya bertanya, “Kamu tahu Kusala Sastra, enggak? (dengan nada meremehkan)”, yang kemudian saya balas dengan, “Kamu tahu Omnibus Law enggak?”, dan dia kemudian gelagapan. Kali lain, “Kamu harusnya dengerin .Feast, mereka itu keren banget, menyuarakan isu sosial.” Wow, ini combo anak senja dan brosialis. Sungguh sial.
Baca juga: Jangan Terlalu Pemilih
Lebih parah lagi, anak senja yang berwujud fotografer pencari model. Sambil mengeluarkan rayuan gombal perlahan-lahan, dia kemudian meminta saya menjadi berfoto untuknya. “Aku suka personality kamu. Kamu mau enggak jadi modelku,” katanya sambil menjelaskan konsep foto yang cocok untuk saya.
Tidak lama kemudian, poof! dia kirim model perempuan setengah telanjang dan memaksa saya secara halus untuk berpose seperti itu. Yak, segera unmatch!
-
On the rebound
Suatu ketika saya matched dengan seorang laki-laki di Tinder, yang ketika saya tanya apa yang dia cari di dating app itu dia hanya menjawab, “I don’t know why I’m here.” Saat mulai akrab dan saya mulai tertarik dengan dirinya, dia mengungkapkan bahwa dia baru putus dari pacarnya beberapa bulan sebelumnya.
Yang bikin malas, dia belum bisa move on dari bekas pacarnya dan selalu galau berat. Pada saat akhirnya bertemu, matanya nanar terus, dan ketahuan kalau dia memang mencari perempuan lain yang agak-agak mirip dengan mantannya. Waduh, mohon maaf nih, Mas, kita bukan plester luka. Silakan obati dulu patah hatinya, daripada menjadikan perempuan lain cuma sebagai rebound.
-
Imam tapi doyan jajan
Pernah sekali bertemu dengan spesies laki-laki yang seperti ini dan benar-benar dibikin takjub. Kalau dilihat dari profilnya sih tidak ada yang aneh-aneh, enggak terlalu kiri, enggak terlalu kanan, enggak juga artsy fartsy atau sok intelek. Tapi ketika bertemu, terungkaplah bahwa dia ternyata sudah memiliki istri, dan dia mencari teman kencan karena sudah tidak bisa lagi berhubungan seks dengan istrinya. Sungguh alasan klasik yang setua peradaban ini sendiri.
Baca juga: Dua Hari Menjajal Aplikasi Poligami dan Ini yang Saya Temukan
Saat saya bertanya apakah istrinya juga bermain di aplikasi kencan, dengan santai dia menjawab, “Wah, ya enggak bisa, dong. Aku larang dia main kayak gini karena aku ini imamnya dia. Kalau dia berbuat dosa, ya itu tanggung jawabku.”
Saya sampai menganga enggak percaya. Ketika saya mau pulang pun, dia masih berusaha banget mengajak saya “cuddle” (buat para boomers, ini adalah kode untuk hubungan seks). Di saat seperti ini, saya mengeluarkan jurus pamungkas dengan meminta teman menelepon untuk berpura-pura sebagai kakak saya dan menyuruh saya pulang.
Itu senjata ampuh untuk kabur dengan syantik, sisters!
-
Sapioseksual
Dari sekian banyak tipe laki-laki di dating apps, tipe ini bisa berpadu padan dengan tipe-tipe yang saya sebutkan di atas tadi. Kalau kita cari di Google, sapioseksual itu merupakan seseorang yang tertarik secara seksual pada orang-orang yang pintar, tidak memandang seperti apa tampilan fisiknya. Biasanya status sebagai sapioseksual ini sudah para masbro sematkan dengan bangga di profil aplikasi kencannya.
Tidak hanya sampai di situ saja, mereka juga bakal mencantumkan kata open-minded, dan salah satu bacaannya adalah Homo Deus dari Yuval Noah Harari, buku yang sering masuk ke dalam daftar starter pack anak-anak “progresif”. Mereka sangat pemilih dan cenderung elitis, menyukai perempuan dari universitas terkemuka. Mereka memandang rendah bacaan orang dan sungguh snob.
Saya selalu sinis pada tipe seperti ini, yang menurut saya munafik. Mereka seolah-olah tidak memandang tampilan fisik, tapi yang mereka mau sebetulnya tipe Maudy Ayunda (no disrespect to her): Pintar dan kuliah di universitas terpandang, tapi memang pada dasarnya cantik.
Kepada mereka saya ingin bilang,“Sapio-Sapio pala lu somplak.”
Comments