Sembilan puluh tiga persen penyintas pemerkosaan tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat hukum dan 6 persen yang melaporkan pada akhirnya menyaksikan pelaku bebas dari jerat hukum, menurut sebuah survei daring yang diadakan oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org Indonesia.
Survei ini menemukan bahwa bahkan hanya 1 persen dari penyintas yang memilih menempuh jalur hukum mendapat penyelesaian atas kasusnya.
Dari 25.214 orang yang berpartisipasi dalam survei yang berlangsung dalam satu bulan itu, 37,9 persen mengakui bahwa mereka mengalami beberapa bentuk kekerasan seksual, mulai dari kekerasan verbal, kekerasan fisik non-seksual hingga pemerkosaan.
“Data ini memang mentah, tetapi sangat kuat,” kata Wulan Danoekoesoemo, direktur eksekutif Lentera, sebuah kelompok pendampingan penyintas kekerasan seksual.
Survei ini diadakan sebagai bagian dari kampanye #MulaiBicara atau #TalkAboutIt untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual dan menemukan solusi permasalahan. Keseluruhan responden terbagi hampir sama rata antara perempuan dan laki-laki – dengan 50,8 persen perempuan dan 49 persen laki-laki – dengan tambahan 10 orang transgender.
Secara total 1.636 orang mengatakan bahwa mereka pernah diperkosa, termasuk 62,8 persen perempuan, 37,1 persen laki-laki dan 0,1 persen transgender. Dua dari tiga penyintas pemerkosaan dalam survei mengalaminya sebelum usia mereka 18 tahun. Dan hanya 28 persen yang mengaku memberitahu seseorang tentang kekerasan yang terjadi.
Hasil survei sesuai dengan data dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menemukan bahwa setiap dua jam, tiga perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual. Dalam Catatan Tahunan Komnas tahun lalu, dicatat bahwa insiden kekerasan seksual tertinggi adalah di ranah komunitas, dan kemudian di ranah personal. Catatan tersebut dibuat berdasarkan kasus-kasus yang dilaporkan ke komisi dan organisasi kemitraan serta Pengadilan Agama.
Wulan mengatakan bahwa hasil survei daring ini memberikan data pelengkap yang dapat mengukuhkan tingginya urgensi masalah kekerasan seksual di Indonesia.
“Kita tahu bahwa data yang didapat oleh Komnas Perempuan hanyalah puncak gunung es, karena hanya berdasarkan kasus-kasus yang dilaporkan. Sementara itu, terdapat banyak kasus yang tidak dilaporkan. Kita memerlukan data statistik untuk mendukung hipotesis ini.”
Dua per tiga responden pernah mengalami pelecehan seksual verbal, sedangkan 25 persen pernah menjadi korban kekerasan seksual non-persetubuhan, dan 20 persen lainnya pernah dipaksa menonton pornografi atau melihat kelamin. Survei juga menemukan bahwa 41 persen responden mengenal seseorang penyintas kekerasan seksual.
Sebagian besar partisipan, yaitu 36 persen, berasal dari kelompok usia 18-24 tahun, diikuti dengan kelompok usia 25-34 tahun di 31 persen.
Direktur komunitas Change.org, Desmarita Murni, mengatakan fakta 70 persen partisipan berusia di bawah 35 tahun menunjukkan tingkat kepedulian yang relatif tinggi pada usia muda tentang maraknya kekerasan seksual di Indonesia.
“Hal ini menunjukkan adanya kepedulian, serta dukungan dan tekanan kuat pada pemerintah untuk melakukan sesuatu untuk mengakhiri kekerasan seksual. Jika pemerintah dan pihak berwajib tidak merespon hal ini, kepercayaan publik pada pemerintah akan menurun.”
Alasan-alasan untuk tidak melaporkan kejahatan seksual sangat beragam, namun 63 persen responden menyebutkan “malu” sebagai alasan utama mereka. Alasan-alasan lain termasuk takut disalahkan atau tidak dipercaya, tidak memiliki bukti yang cukup, tidak didukung oleh keluarga dan teman, serta diintimidasi oleh pelaku.
Sebagian kecil responden mengatakan mereka tidak mampu membayar bantuan hukum, takut diminta menikahi pelaku, berusia terlalu muda ketika dilecehkan, takut kehilangan pekerjaan mereka, atau tidak menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah kekerasan seksual.
Alasan lain mengapa korban tidak melaporkan kekerasan yang terjadi adalah sebagai berikut:
- Pelaku adalah pasangan mereka sendiri
- Takut akan dendam/pembalasan (pelaku adalah guru atau dosen atau senior)
- Ingin menghindari keributan
- Ingin melindungi keluarga mereka dari rasa malu
- Ingin melupakan kejadian
- Merasa bahwa itu adalah kesalahan mereka sendiri
- Kasus diselesaikan secara kekeluargaan, karena pelaku adalah sepupu, paman, saudara laki-laki atau orangtua
- Merasa malu telah diperkosa oleh sesama jenis (laki-laki)
- Takut dituduh memfitnah pelaku
Media sosial dapat membantu menggemakan isu, mengubah persepsi melalui penjabaran informasi dengan tepat, memberikan dukungan pada penyintas, dan menghubungkan serta membangkitkan komunitas untuk melakukan hal-hal penting seperti mengumpulkan data, menyuarakan kepedulian dan mendorong peraturan dan perubahan sosial, kata Benjamin Xue, Chief Engagement Officer CAMPAIGN, yang berkolaborasi dengan Lentera dan Magdalene dalam kampanye #MulaiBicara.
“Menjadi tanggung jawab bersama untuk mengakhiri kekerasan seksual terhadap perempuan, dengan 93 persen kasus tidak dilaporkan dan hampir setengah dari kita tau seseorang yang mengalaminya. Kebungkaman menghapus tindak kriminal yang terjadi. Semuanya tergantung pada kita untuk memastikan kriminalitas ini tidak berlanjut,” lanjutnya.
Untuk mendukung kampanye #MulaiBicara atau #TalkAboutIt, kunjungi campaign.com/MulaiBicara.
Baca artikel Devi tentang mengakhiri budaya pemerkosaan dan ikuti @dasmaran di Twitter.
Comments