Setelah lama berhubungan dengan pacar, tidak jarang seseorang merasa sayang melepaskan. Ini karena sudah terlalu banyak pengorbanan yang dilalui berdua cuma untuk bertahan sejauh ini. Bahkan ketika pasangannya cukup toksik, masih saja ia menutup mata dan mengabaikan.
Hal ini bisa jadi bom waktu ketika seseorang sudah menikah nantinya. Alih-alih meninggalkan dan berharap pasangan bakal berubah lebih baik, seseorang justru bisa semakin kewalahan sendiri ketika ekspektasinya tak terpenuhi. Alhasil, dampak buruk tidak hanya dirasakan pasangan suami-istri saja, tetapi bisa juga dialami oleh anak-anak mereka kelak.
Karena itu, sebelum memutuskan lanjut ke jenjang pernikahan, seseorang perlu mengenali betul relasinya: Apakah sudah tergolong pacaran sehat atau justru pacaran toksik?
Dalam Instagram Live Bisik Kamis (28/1), Magdalene berbincang dengan psikolog klinis anak dan keluarga sekaligus Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia cabang Jakarta, Anna Surti Ariani tentang tanda-tanda pacaran sehat dan toksik.. Selain itu, kami juga membahas cara menyikapi problem yang mungkin muncul dalam rumah tangga, serta hal-hal yang perlu dilakukan agar pernikahan jadi setara. Pasalnya, relasi yang setara juga berkontribusi terhadap kehidupan pernikahan yang bahagia.
Berikut ini petikan wawancara kami dengan Anna.
Magdalene: Pertama, bisa dijelaskan dulu Mbak, pacaran sehat itu yang seperti apa, sih?
Pada dasarnya, pacaran gunanya supaya kita makin kenal dengan pasangan, kenal bentuk relasi kita (antara saya sama dia kalau berkomunikasi atau berantem itu seperti apa), juga untuk mengenal diri kita sendiri. Misalnya, saya pernah punya tiga pacar. Ada perbedaan tentang apa yang saya lakukan dan rasakan sama si pacar A, pacar B, atau C. Itu yang juga perlu kita kenali.
Relasi sehat itu juga waktu kita bisa cukup terbuka dengan orang lain, tetapi kita tetap saling menghargai. Ibaratnya kita masing-masing ada dalam sebuah ruangan, orang lain di luar, tapi pintunya terbuka.
Terus, relasi sehat juga ketika kita bisa saling mengembangkan diri.
Di luar itu, pacaran sehat juga bukan sebuah relasi yang penuh pertengkaran dan punya banyak masalah, melainkan relasi yang membuat kita merasa nyaman, happy. Bukan berarti relasi itu harus tanpa masalah atau berantem sama sekali. Bisa ada masalah, tapi kita bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Ketika kita bisa menyelesaikan itu, kita bisa lebih mengenal diri sendiri dan pasangan, sehingga membuat pondasi yang bagus untuk hidup bersama.
Sebaliknya, tanda-tanda pacaran toksik itu seperti apa? Saat Mbak bilang dalam pacaran tentu ada berantemnya, batasan berantem yang masih sehat itu seperti apa?
Kalau frekuensi, enggak bisa dibilang satu kali seminggu atau tiga kali sehari. Itu tentang rasa yang tidak subjektif saja, tapi terkonfirmasi oleh orang lain.
Dalam pacaran toksik, salah satu tandanya ada situasi berat sebelah. Dia melulu yang ngatur, yang satu enggak bisa berpendapat. Kemudian, posesif. Sebetulnya posesif bukan tanda cinta. Itu tanda relasi tidak sehat.
Lalu, dalam pacaran toxic, kalau seseorang berubah sedikit, pasangannya bereaksi, “Kok lu jadi begitu, sih? Kok jadi aneh, sih? Itu kan enggak bener.” Kalau sesekali kayak gitu wajar, tapi kalau kebanyakan, itu yang jadi masalah.
Kebanyakan syarat juga jadi tanda pacaran toxic. “Gue mau deh, jadi pacar lo kalau lo begini begini” misalnya. Memang kita menyeleksi pasangan hidup, tetapi waktu kebanyakan syarat, cinta kita bukan apa adanya, melainkan ada apanya. Apalagi kalau misalnya pacar kita yang menuntut kepatuhan, harus ini itu, punya toleransi sangat kecil untuk kita. Misalnya, terlambat sedikit marahnya meledak-ledak. Ketika terlalu banyak ledakan, sangat mungkin itu adalah relasi yang toksik.
Baca juga: ‘Toxic Relationsh*t’: Kenapa si Gadis Baik Bisa Terjebak di Relasi Toksik?
Ada orang-orang yang berpikir untuk bertahan dalam sebuah relasi dengan harapan pasangannya nanti akan berubah setelah menikah. Bagaimana tanggapan Mbak soal ini?
Saya pun sangat berharap dalam sebuah perkawinan, kalau ada perubahan itu yang baik. Kenyataannya, tidak selalu begitu. Ibaratnya, aku sakit sekarang, nanti kalau aku udah istirahat, aku akan sehat. Padahal, belum tentu penyakit kita hilang cukup dengan istirahat saja. Bisa saja penyakit kita butuh obat, penanganan ahli, atau rehabilitasi tertentu. Perkawinan pun begitu.
Misalnya, pasangan sering banget marah. Apakah setelah pernikahan dilakukan dia jadi enggak gampang marah? Harapannya begitu. Namun, jangan lupa, orang lain itu terpengaruh oleh sejarahnya. Kalau sejarahnya ini sama sekali belum ada perubahan, bisa jadi itu sangat sulit. Bisa jadi perubahannya semakin “memantapkan”. Artinya, tadinya pemarah, lalu nantinya jadi pelaku kekerasan. Atau dikit-dikit baper, nanti perubahannya jadi lebih gampang depresi.
Kalau baper ini tidak pernah tertangani dengan benar, dia bisa jadi depresi. Bila perempuan depresi, ketika dia hamil, itu efeknya ke janin. Kemudian setelah dia melahirkan, bayinya bisa berisiko tidak mendapat penanganan dan pengasuhan yang betul karena ibunya depresi. Efeknya dalam diri anak akan lebih panjang lagi.
Soal perubahan sikap pasangan, misalnya dalam konteks pacar berbohong dan bilang dirinya mau berubah, bagaimana sebaiknya kita menyikapi hal itu dengan bijak?
Lihat dulu bohongnya seperti apa. Kalau tentang perselingkuhan, atau ternyata dia berpacaran dengan kita sementara ternyata dia belum bercerai, itu kan hal besar. Kita akan perlu bikin kesepakatan yang disebut tidak bohong lagi seperti apa. Biasanya sulit, tapi kita perlu bikin kejelasan, yang saya harapkan dari kamu dengan lebih jujur itu apa. Dikonkretin aja. Ketika kita mengonkretkan suatu harapan, itu akan lebih mudah dicapai oleh pasangan kita.
Soal perselingkuhan sendiri sebenarnya masalah yang kompleks. Dari definisi perselingkuhan, kadang kita sama pasangan enggak sama. Misalnya, pasangan udah WhatsApp-an sama cewek lain dianggap perselingkuhan, sementara pasangan menganggap perselingkuhan itu kalau sudah tidur bareng. Makanya ini perlu dibicarakan juga.
Dalam hal perselingkuhan, yang membuat dilema akan melanjutkan hubungan atau putus biasanya karena kita memiliki trauma-trauma masa lalu. Aku berulang kali menangani kasus seorang istri itu menuduh suaminya berselingkuh. Kemudian, saat aku cek, perselingkuhan itu entah tidak betul-betul terjadi atau sangat ringan. Misalnya, suami nganter perempuan ke rumahnya karena saat itu hujan deras dan cuma dia yang bawa kendaraan. Dia lantas kasihan sama perempuan itu karena dia ibu beranak satu, anaknya udah nungguin. Itu kan sebetulnya bukan perselingkuhan.
Baca juga: Sulitnya Mencintai Orang yang 'Toxic'
Kenapa seseorang jadi takut atau marah besar menghadapi masalah semacam itu? Karena bisa saja dia punya trauma. Misalnya, dulu ayahnya berselingkuh berulang kali. Atau dia punya trust issue pada orang tuanya. Ketika kita punya trust issue pada awal tumbuh kembang, itu sering terbawa ke perkawinan sehingga kita sulit percaya sama pasangan. Dikit-dikit kita anggap selingkuh. Berarti yang perlu diperbaiki trust issue-nya.
Penyelesaian trust issue tentunya enggak mudah dan sebentar. Bagaimana, sih cara kita sebaiknya mendampingi pasangan yang punya trust issue untuk menangani masalahnya?
Kalau mereka berdua bisa menyelesaikan sendiri, selesaikan. Kalau terus berlanjut, mereka harus terbuka terhadap orang lain. Entah kepada teman, saudara, ipar, orang tua, pemuka agama, atau lewat konsultasi dengan konsultan perkawinan atau psikolog klinis. Jadi, jangan karena kita enggak bisa menyelesaikan sendiri, kita langsung putus atau cerai. Kita butuh pertimbangan orang lain supaya lebih rasional.
Perlu diingat juga bahwa pendekatan psikologis bukan sekali dua kali kelar. Butuh waktu cukup panjang dan kesabaran untuk menyelesaikan masalah ini.
Salah satu faktor yang menciptakan pernikahan bahagia adalah adanya relasi yang setara. Bagaimana cara kita bisa mewujudkan hal ini?
Itu jauh lebih ideal kalau dipersiapkan pada masa pacaran karena di situ kita bisa banyak berlatih untuk setara. Caranya, dengan melakukan banyak diskusi, termasuk soal mengerjakan tugas domestik, seperti apa nantinya mengurus anak. Kalau misalnya pandangan kita dan pasangan beda banget, diperbincangkan dan dicari dulu solusinya sebelum menikah.
Dengan melakukan banyak diskusi ini kita bisa tahu, saya setara sama dia karena percakapan kami bisa tektokan, ketika bertengkar kami bisa saling memberi masukan, mengingatkan, punya rencana yang bisa dijalankan bersama. Saat itu sudah terjadi pada saat pacaran, itu mungkin berlanjut pada saat menikah.
Dalam diskusi dengan pasangan sebelum menikah, ketika kita menemukan perbedaan, apakah kita harus sampai di posisi kompromi atau jalan tengah, atau kita bisa sepakat untuk tidak sepakat?
Tergantung kasusnya. Bisa saja kita sepakat untuk tidak sepakat, tapi untuk hal kecil. Hal-hal besar harus sampai pada kesepakatan bersama. Misalnya, mau tinggal di mana, kita mau atau tidak mau punya anak, dan kalau mau, ingin punya anak berapa. Lalu soal keuangan juga perlu disepakati berdua. Kalau ada tanggungan, misalnya orang tua atau adik-adik yang masih sekolah, itu juga merupakan hal besar yang perlu dibicarakan.
Comments