Lembaga riset Cakra Wikara Indonesia (CWI), yang fokus pada kajian politik dan kebijakan publik dengan perspektif gender, mengatakan perlu ada langkah terobosan karena masih ada ketimpangan distribusi jabatan tinggi antara pegawai negeri sipil (PNS) perempuan dan laki-laki di 34 kementerian.
Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) 2011-2012 dan 2014-2016 yang diolah oleh CWI menunjukkan bahwa pada saat perekrutan, proporsi laki-laki dan perempuan di 34 kementerian tersebut relatif berimbang. Namun seiring perjalanan karier, jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon jauh lebih sedikit dibandingkan PNS laki-laki.
Proporsi PNS perempuan di 34 kementerian menunjukkan angka yang relatif stabil pada kisaran 39 persen. Namun PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon (1-5) hanya mencapai 22,38 persen pada periode 2011-2012 dan hanya meningkat menjadi 23,48 persen pada periode 2015-2016.
Pemerintah, menurut CWI, sebetulnya telah berupaya untuk mengatasi ketimpangan tersebut lewat sistem meritokrasi yang diregulasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 mengenai Aparatur Sipil Negara (UU ASN). UU ini menerapkan sistem meritokrasi dalam perekrutan, pola karier, dan relasi kerja dalam birokrasi, untuk mengikis distorsi seperti senioritas, diskriminasi, favoritisme, dan stereotip negatif. Sistem tersebut diharapkan dapat membuka peluang yang sama bagi ASN laki-laki dan perempuan di birokrasi.
Namun menurut CWI, sistem ini mengabaikan persoalan nyata yang “tersembunyi” di ruang privat PNS perempuan. Wakil Ketua CWI Dirga Ardiansa mengatakan, salah satu hambatan yang dialami perempuan adalah, sejak berumah tangga perempuan merasa harus selalu memprioritaskan anaknya.“Sejak berumah tangga, perempuan merasa harus membuat keputusan dalam ranah privatnya. Salah satunya adalah untuk memprioritaskan anaknya. Sehingga perempuan tidak bisa secara leluasa menentukan apa yang dibutuhkannya dalam segi jenjang karier,” ujar Dirga pada acara diskusi di Jakarta (22/2).
Selain itu, temuan CWI juga menunjukkan bahwa jam kerja PNS dengan jabatan tinggi sering kali tidak fleksibel dan sistem kepegawaian masih tidak ramah gender, seperti tidak adanya ruang menyusui. Kurangnya fasilitas seperti ini menyebabkan perempuan harus memilih antara memprioritaskan jenjang kariernya atau keluarganya, kata Dirga.
“Ada hambatan
struktural yang terjadi juga. Kementerian sering kali masih menugaskan
seseorang yang menerima jabatan tinggi ke daerah lain sebagai jalur promosi.
Ini menjadi pertimbangan yang sangat berbeda antara PNS laki-laki dan
perempuan,” lanjutnya.
Trisacti Wahyuni, Inspektur Bidang Administrasi Umum dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), menyatakan bahwa kultur patriarki yang menganggap perempuan lebih rendah dari laki-laki telah menghambat PNS perempuan.
“Kita masih
dianggap subordinat. Sementara itu terdapat hambatan peran domestik di mana
anak masih dipercaya menjadi tanggung jawab ibunya saja,” ujarnya.
“Ada juga hambatan stereotip gender di mana masyarakat tidak percaya dengan pemimpin perempuan karena dianggap moody atau terlalu perfeksionis.”
Eunike Prapti
Lestari Krissetyanti, Kepala Subbagian (Kasubbag) Kinerja dan Konseling Biro
Kepegawaian dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), mengatakan usia menjadi salah
satu faktor yang menentukan posisi eselon, sementara pola karier PNS masih
mengikuti siklus hidup laki-laki.
“Padahal perempuan mempunyai life cycle yang berbeda, di mana usia reproduktif mereka datang di jenjang karier Eselon IV ke Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Tidak ada istilah ‘berhenti sementara untuk mengurus keluarga’ bagi PNS perempuan,” ujarnya.
“Ibaratnya
perempuan dan laki-laki itu lomba lari, perempuan membawa tas ransel dengan
beban yang lebih berat dua kali lipat dibanding laki-laki. Kalau tidak ada
intervensi dari pemerintah, maka selamanya kondisi perempuan itu akan timpang
dibanding laki-laki,” kata Eunike.
Trisacti mengatakan bahwa perempuan membutuhkan perhatian khusus karena ada kondisi-kondisi alamiah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.
“Bukan kami ingin
diistimewakan, namun kami harus diberikan support
lebih agar tercipta sistem afirmasi yang mengutamakan ekualitas, seperti
fasilitas daycare dan ruang laktasi
untuk para ibu. Di BAPPENAS (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional) bahkan masih belum ada itu,” ujarnya.
CWI merekomendasikan diberlakukannya sistem afirmatif yang dipercaya mampu mempertimbangkan penilaian objektivitas lain yang tidak terdeteksi oleh sistem meritokrasi.
“Tidak seperti
sistem merit yang mengabaikan ketimpangan jumlah laki-laki dan perempuan di
dalam birokrasi, sistem afirmatif mengaku adanya hambatan secara ranah privat
yang dihadapi oleh PNS perempuan dan mencari solusi untuk mengurangi atau
bahkan menghapus hambatan tersebut,” ujar Dirga.
Afirmasi, menurut CWI, diperlukan untuk mewujudkan birokrasi yang representatif dan mampu menghadirkan beragam kepentingan, pandangan, kebutuhan, keinginan, dan nilai yang mencerminkan populasi masyarakat secara luas.
Sistem ini sama
sekali bukan berarti pengabaian terhadap prestasi kerja dan penilaian
objektivitas lainnya, namun sebagai bentuk pengakuan atas terjadinya hambatan
sistematis di ranah privat. Meningkatkan jumlah PNS perempuan dalam birokrasi
berarti mendorong peningkatan layanan dan kinerja birokrasi menjadi lebih responsif,
ujar CWI.
Baca juga
tentang desakan Komnas Perempuan terhadap DPR untuk mengadakan dialog sehat
soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU
PKS).
Illustrasi oleh Karina Tungari
Comments