Pertengahan Juli lalu, Karen’s Diner nge-tease netizen Indonesia lewat akun Twitternya. Mereka bilang, kalau ada 1.000 akun yang me-retweet cuitannya, Karen’s Diner akan buka di Indonesia. Sampai artikel ini ditulis, twit tersebut sudah di-retweet sebanyak 15 ribu kali.
Lewat postingan Instagram, Karen’s Diner menepati “janjinya”. Mereka mengumumkan akan membuka cabang di Jakarta pada Desember mendatang, dan berkolaborasi dengan Bengkel Burger.
Netizen Indonesia pun menyambut Karen’s Diner dengan antusias. Pasalnya, restoran itu mengusung konsep “great burgers and rude service”. Dengan kata lain, Karen’s Diner menawarkan pengalaman makan tak menyenangkan. Misalnya staf menghina dan berteriak pada pelanggan, melempar menu dan pesanan di meja, atau mengambil kentang goreng yang disajikan.
Sebelum buka di Indonesia, Karen’s Diner punya sejumlah cabang di berbagai negara. Seperti Australia–tempat chain restaurant ini berasal, New Zealand, Inggris, dan Amerika Serikat.
Dalam tulisannya di Newsweek, Aden Levin, pemilik Karen’s Diner mengaku punya alasan tersendiri untuk mendirikan restoran tersebut. Bersama rekan bisnisnya, James Farrell, Levin ingin menciptakan suasana makan yang berbeda. Mereka mengadaptasi kepribadian “Karen”, perempuan kulit putih yang rasis, bias kelas, dan menggunakan privilese sesukanya.
Karena itu, kelakuan stafnya bertolak belakang dengan standar pelayanan yang umumnya ditemukan. Sebagaimana perilaku Karen yang kita lihat di media sosial, staf Karen’s Diner juga jauh dari sopan santun.
Gimik itu menawarkan pengalaman berbeda, dan menjadi daya tarik bagi sejumlah orang untuk jadi “bahan ejekan” Karens–sebutan staf di Karen’s Diner. Bahkan, pelanggan pun boleh melontarkan kata-kata kasar pada Karens. Walaupun demikian, Karen’s Diner tetap memiliki aturan dasar yang harus dipatuhi. Siapa pun dilarang melakukan body shaming, melemparkan komentar seksual, bersikap rasis, seksis, ableist, dan homofobik.
Sebenarnya, Karen’s Diner bukan satu-satunya restoran yang memainkan gimik untuk menarik pelanggan. Di Jepang, itu populer dengan maid cafe, di mana para stafnya mengenakan kostum dan bertindak sebagai pelayan. Mereka juga memperlakukan pelanggan sebagai tuan dan nyonya layaknya di rumah tinggal, bukan tamu kafe.
Sementara di New York, Amerika Serikat, pernah ada restoran Jepang bernama Ninja, yang berdiri selama 15 tahun. Selain berpakaian, para staf juga berperilaku seperti ninja. Mereka tiba-tiba muncul dan mengejutkan pengunjung. Pun, menampilkan atraksi, dengan meminta pengunjung memecahkan lembaran tipis di atas wadah, yang merupakan crouton untuk pelengkap salad.
Dengan gimmick yang ditawarkan ketiga restoran, pelanggan pun memiliki ekspektasi sebelum berkunjung. Jika pelanggan Ninja penasaran dengan atraksinya, maid cafe ingin diperlakukan layaknya tuan, pelanggan Karen’s Diner mungkin sudah menyiapkan mental untuk menerima cacian.
Membayangkan makan sambil mendengarkan umpatan staf dan pelanggan lain, tampaknya kenyamanan bukan hal yang akan didapatkan dari Karen’s Diner. Namun, bagaimana dengan keamanan?
Baca Juga: Komplain Layanan Restoran di Media Sosial Boleh Saja, Tapi…
Makan Enggak Nyaman, Keamanan Dikesampingkan
Meskipun sejumlah aturan dasar sudah ditetapkan–dilarang body shaming, melemparkan komentar seksual, rasis, seksis, ableist, dan homofobik–kenyataannya enggak membuat Karen’s Diner sepenuhnya bebas dari perbuatan tersebut.
Misalnya September lalu, ketika staf Karen’s Diner di Brisbane, Australia mengejek garis rambut pelanggan yang menipis. Dalam video TikTok yang diunggah @bechardgrave, pelanggan tersebut mengungkapkan kemarahannya pada staf lainnya. Ia mengingatkan peraturan yang tertulis di pintu masuk.
“Lihat enggak peraturan yang kamu tulis? Dilarang body shaming!” kata si pelanggan.
Selain body shaming, Hardgrave, pemilik akun TikTok itu, juga menceritakan pengalaman buruknya di Karen’s Diner. Seorang staf melemparkan cangkir ke mejanya, kemudian mengomentari rambut teman Hardgrave yang katanya perlu disisir. Hardgrave juga menyaksikan sekelompok perempuan paruh baya, diusir dari Karen’s Diner lewat mikrofon, tanpa alasan jelas. Bahkan, alarm pun dibunyikan.
Jika melemparkan cangkir termasuk dalam job description staf Karen’s Diner, hal itu enggak berlaku untuk komentar-komentar ofensif yang menyerang pelanggan secara personal. Pelayanan yang diberikan seharusnya sesuai dengan peraturan yang tertulis. Dilarang body shaming. Sama halnya dengan mengomentari rambut, yang termasuk dalam penampilan.
Pasalnya, ketika mengomentari tubuh dan penampilan, kita melanggengkan budaya yang menilai daya tarik dan keberhargaan orang lain berdasarkan fisik. Padahal, ada banyak faktor yang mendukung penampilan seseorang. Dampaknya pun dapat memengaruhi kondisi mental.
Tak berbeda dengan mengusir pelanggan karena usia. Terlepas dari konteksnya–mungkin staf Karen’s Diner mengejek demikian karena bagian dari pekerjaannya, mereka telah mendiskriminasi berdasarkan usia, atau ageism.
Mirisnya, pelanggan tersebut akan merasa dirinya enggak diterima di Karen’s Diner, hanya karena faktor usia. Sebab, di kalangan lansia, ageism berdampak pada kesejahteraan mereka. Termasuk menurunnya kesehatan fisik, mental, dan kualitas hidup, serta merasa terisolasi dari lingkungan sosial.
Namun, kejadian merugikan itu tidak hanya terjadi pada pelanggan. Sejumlah staf Karen’s Diner pun punya pengalaman tidak menyenangkan. Pelakunya adalah pengunjung.
Kaliya Arumugam, mantan pekerja di restoran tersebut, menceritakan kisahnya pada ABC Australia. Ia memutuskan bekerja di Karen’s Diner untuk menambah pengalamannya di industri hospitality, dan kemampuan beraktingnya. Sayangnya, Arumugam menerima pelecehan seksual, serangan fisik, ujaran rasis, dan body shaming, baik ketika bekerja, maupun secara personal lewat media sosial.
“Waktu itu sekelompok pria muda menyerang saya secara fisik. Lalu mereka meninggalkan tempat, dan menunggu saya di luar restoran sekitar satu jam,” cerita Arumugam.
Arumugam telah melaporkan kekhawatirannya pada manajemen, tapi tidak dianggap serius. Ia justru diminta enggak ngurusin pelanggan, karena enggak ingin menerima review buruk di internet. Menurut Arumugam, manajemen Karen’s Diner memprioritaskan citra dan keviralan mereka media sosial.
“Jam kerja staf yang menyampaikan kekhawatirannya justru dikurangi, lalu dipecat,” tambah Arumugam.
Selain Arumugam, Molly Harris–pekerja di Karen’s Diner–mengalami hal serupa. Ketika ia melapor pada manajer setelah mengalami pelecehan seksual, sang manajer tidak bertindak apa pun. Pengunjung lainnya malah memberikan tip sejumlah 20 dolar Australia–setara Rp200 ribu–sebagai permintaan maaf.
Bagi Harris, kejadian seperti itu merupakan hal biasa. Ketika tidak ada tindakan dari manajemen Karen’s Diner, artinya keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerjanya belum diprioritaskan. Manajemen justru menormalisasi perlakuan tidak pantas dan berisiko, dengan anggapan telah menjadi bagian dari pekerjaan para staf. Bahkan, telah menjadi bagian dari model bisnis yang perlu dipertahankan.
Menanggapi hal ini, manajemen Karen’s Diner mengatakan pada ABC Australia, mereka tidak menoleransi pengunjung yang melanggar peraturan. Katanya, Karen’s Diner akan meminta pelaku pergi, apabila sulit diatur. Namun, manajemen mengaku tidak menerima laporan apa pun atas peristiwa yang terjadi.
Terlepas dari tanggung jawab manajemen, pengalaman makan yang ditawarkan Karen’s Diner mengesampingkan emotional labor pekerjanya. Sebab, gimmick yang dilakukan membahayakan kondisi mental mereka.
Baca Juga: Benarkah Twitter Bikin Kita Lebih Mudah Marah?
Gimik Marah-marah yang Perlu Dikhawatirkan
Perlakuan enggak sopan memang bikin netizen penasaran dengan Karen’s Diner. Enggak sedikit juga yang merasa cocok jadi Karens, dan bisa “meluapkan emosinya” pada pelanggan. Kalau dipandang dari satu sudut pandang, mungkin pekerjaan itu terdengar menyenangkan, lantaran bebas menuturkan kata-kata yang dihindari di restoran lain.
Sayangnya, kemarahan itu tetap berbahaya bagi kesejahteraan staf. Dalam The Managed Heart: Commercialization of Human Feeling (1983), Arlie Russell Hochschild menjelaskan, hal ini disebabkan oleh adanya konflik emosional yang dihadapi Karens maupun pelanggan.
Pasalnya, ketika makan ataupun bekerja di Karen’s Diner, pekerja perlu melakukan dua hal di saat bersamaan: Menutupi emosi yang sebenarnya dan menampilkan emosi palsu di hadapan publik. Karena itu, meskipun kemarahan yang ditumpahkan adalah akting dan bagian dari profesionalisme, ada bagian dalam diri seseorang yang menganalisis, apakah sebaiknya perasaan itu dirasakan atau tidak.
Contohnya, ketika pengunjung bersikap kasar pada Karens. Ada kalanya mereka merasa perlu mengekspresikan emosi, misalnya karena merasa tersinggung. Namun, Karens perlu menekan dan tidak mengungkapkan emosinya. Sikap itu dilakukan demi menjaga reputasi Karen’s Diner. Bagaimana pun, mereka memprioritaskan kesenangan pelanggan dengan pengalaman makan yang berbeda.
Ketika berada di restoran, baik staf maupun pengunjung mungkin terlihat baik-baik saja. Di luar itu, enggak ada yang tahu bagaimana situasi di Karen’s Diner berdampak pada psikologis mereka.
Hochschild menyebut kondisi ini sebagai emotional labor. Lama-kelamaan, Karens akan stres akibat merasa tertekan menghadapi masalah regulasi emosi, hingga mengganggu keseharian dan relasinya dengan orang lain.
Belum lagi kaburnya batasan antara olokan dan pelecehan, dan manajemen Karen’s Diner yang tampaknya belum mengutamakan kesejahteraan pekerjanya. Padahal, apabila konsep Karen’s Diner ingin dipertahankan, diperlukan aturan keselamatan kerja–fisik dan emosional–yang jelas. Situasi yang awalnya menyenangkan, akan memburuk dan berisiko.
Sementara bagi pelanggan, gimik tersebut juga menempatkan mereka pada posisi yang semakin berbahaya. Terlebih selama pandemi dan melihat kondisi politik belakangan ini, peneliti Aaron McEwan mengamati angka burnout dan frustrasi yang meningkat. Meskipun sistem di Karen’s Diner pelanggan harus mem-booking sebelumnya, yang berarti punya ekspektasi terhadap situasinya.
“Makanya, saya rasa bukan langkah baik untuk mengekspos masyarakat pada lingkungan yang kejam dan penuh hinaan,” ujar McEwan dilansir dari News.com.au.
Baca Juga: Kekeyi dan Tajamnya Lidah Warganet di Media Sosial
Di samping itu, terdapat perbedaan kondisi masyarakat di Australia, New Zealand, Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia–dalam memahami kesejahteraan. Realitas ini ditampilkan dalam laporan Global Youth Wellbeing Index (2017). Negara-negara yang lebih dulu membuka Karen's Diner tersebut menempati peringkat lima teratas, menunjukkan kepuasan hidup warga negaranya.
Kepuasan itu mencerminkan faktor biologis–mencakup mempertahankan mood yang optimis dan bahagia, serta keadaan situasional. Situasional ditentukan berdasarkan relasi dengan orang lain, kecukupan finansial, dan tujuan hidup. Faktor itu yang kemudian menandai kesuksesan Karen’s Diner di keempat negara tersebut, yakni kesejahteraan masyarakatnya.
Beda dengan Indonesia yang masyarakatnya belum mencapai kesejahteraan. Laporan Global Youth Wellbeing Index menunjukkan, Indonesia masih membutuhkan akses teknologi dan peluang kerja. Bahkan, dalam indeks peluang ekonomi, kesetaraan gender, serta teknologi informasi dan komunikasi, Indonesia menduduki peringkat tiga terbawah.
Kemungkinannya, situasi tersebut berpengaruh pada keberhasilan Karen’s Diner di Jakarta: Bagaimana pelayanan Karens terhadap pelanggan, respons pelanggan ketika diperlakukan enggak sopan, serta ejekan yang dilemparkan Karens dan pelanggan terhadap satu sama lain–yang seharusnya mematuhi aturan dasar.
Kalau menurut kamu, Indonesia udah siap punya Karen’s Diner belum?
Comments