Women Lead Pendidikan Seks
July 12, 2017

Ajari Aku Mencintai Diriku Sendiri (Lagi)

Apakah aku seorang feminis yang buruk jika merasa tidak berharga untuk dicintai?

by Hening Wikan
Issues // Politics and Society
Share:

Aku sudah berkenalan dengan laki-laki itu sejak masa orientasi mahasiswa hari pertama. Kami mengobrol cukup akrab dan bahkan seingatku, aku pernah beberapa kali pergi dengannya. Dia seorang yang tak pernah banyak bicara; buku dan teater lah dunia yang menjadi kecintaannya. Kami juga sama-sama mengagumi karya Eka Kurniawan. Lalu entah sejak kapan, rasanya aku tidak bisa lagi menganggapnya sebagai teman.

Awalnya kupikir ini hanya sekedar rasa kagum. Maka aku memberanikan diri untuk mengirimkan seikat bunga tanpa nama pengirim. Dia tahu, tentu saja, karena aku menggunakan kutipan di salah satu novel Eka sebagai keterangan. Untuk membuktikan kecurigaannya, ia mengajakku bicara tentang beberapa hal. Kujawab sekenanya saja karena takut ketahuan. Tapi pada akhirnya aku mengaku juga, meski berkali-kali kugarisbawahi bahwa hal itu ekspresi kekaguman belaka.

Di suatu kali yang lain aku melihatnya membawakan puisi di taman dalam fakultas, sebuah puisi buatannya sendiri yang menggerakkan emosi. Dia menaiki bangku, turun, menaikinya lagi hingga kacamata miliknya jatuh dan patah. Tapi aku bahkan tak sempat berpikir bahwa hal itu konyol saking “gila”-nya penjiwaan yang ia tampilkan dalam pembacaan puisi itu. Baru setelah turun panggung aku melihat tangannya gemetaran sambil menatap sedih ke seonggok kacamata yang patah. Tahu perasaanku? Ingin rasanya aku membelikan 20 kacamata untuk laki-laki ini, bisikku dalam hati.

Pada titik inilah aku menyadari sesuatu. Bahwa terlepas dari aku yang skeptis pada komitmen, cinta, dan bagaimana hubungan romantis terkadang menjadi dasar “kepemilikan” lelaki terhadap perempuan, pada akhirnya aku ingin percaya pada itu semua melalui laki-laki ini. Selama ini aku selalu merasa cukup dengan diriku sendiri dan teman-teman baikku. Aktivitasku di berbagai komunitas advokasi dan organisasi membuatku tak jarang pulang pagi untuk berdiskusi. Beberapa lelaki yang pernah mendekat selalu mempermasalahkan itu, namun aku takkan mau dikendalikan hanya dengan alasan bahwa aku perempuan. Maka aku melawan dan memilih meninggalkan mereka semua.

Aku pun selalu merasa cukup dengan diriku sendiri. Tak pernah merengek tentang tinggi badan ataupun berat badan. Mengenakan apa saja yang kumau. Karena aku menyadari bahwa standar kecantikan adalah sesuatu yang palsu dan populer hanya karena berulang kali ditayangkan di media populer. Tak seorang pun yang kutahu memberikan konsensus pada standar itu, karenanya aku tak percaya. Aku tak percaya bahwa ukuran tubuh, pakaian, hingga potongan rambut pun harus memenuhi kriteria tertentu supaya terlihat “indah”.

Tapi laki-laki ini hanya tertarik pada gadis yang tinggi semampai dan langsing. Beberapa hari setelah mengetahui itu, aku menemukan diriku sedang berlari kecil untuk program penurunan berat badan. Setelah memasuki minggu kedua, rasanya idealismeku sendiri terkhianati. Maka aku memutuskan untuk berhenti melakukannya. Sayangnya, kian hari ia menjadi semakin tak acuh.

Aku selalu mencintai diri sendiri. Aku mencintai diriku yang perokok, memiliki gangguan kecemasan, ceroboh, pelupa, bermuka bulat. Semua hal dalam diriku yang banyak dipermasalahkan oleh orang lain tak pernah kupermasalahkan. Namun sikap penolakan dan tak acuhnya laki-laki yang kuanggap berarti membuatku baru menyadari bahwa bahwa dampaknya bisa sedestruktif ini. Tiba-tiba aku merasa tak cukup dan tak layak untuk dicintai. Am I a bad feminist if I find myself not worthy of love? I want to love myself, once more.

Hening Wikan merupakan seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Mencapai kesadaran tertinggi tiap dini hari. Dapat ditemukan dengan mudah bersama anggota Dema FISIPOL, angkringan, atau @heningwikan.