Belakangan viral insiden rasis yang menampilkan kreator TikTok dari Indonesia, mengenakan apa yang disebut ‘blackface’ – saat orang non-kulit hitam menggelapkan kulit untuk sengaja menirukan orang kulit hitam.
Sebagai latar belakang, Disney belum lama ini memutuskan memilih perempuan kulit hitam sebagai pemeran utama dalam pembuatan ulang (remake) film animasi The Little Mermaid. Beberapa orang, secara rasis, menganggap menggunakan aktor non-kulit putih dalam peran ini adalah kesalahan besar.
Mengikuti wacana rasis ini, sang TikToker Indonesia mengenakan blackface untuk mengejek anak-anak kulit hitam di seluruh dunia yang bisa jadi antusias melihat aktor yang merepresentasikan mereka di layar kaca.
Blackface sebenarnya lebih umum terjadi di dunia Barat. Meski demikian, rasisme terhadap kulit hitam adalah fenomena global. Banyak orang berkulit hitam di seluruh dunia menghadapi beragam bentuk diskriminasi.
Praktik blackface, misalnya, masih banyak kita temui di berbagai konteks non-Barat seperti di Cina, India, hingga Filipina.
Meski banyak orang akan mengklaim blackface hanya bentuk lelucon semata, video TikToker ini mengandung rasisme terhadap orang kulit hitam. Bahkan, kenyataan ia pernah kuliah di Amerika Serikat (AS) – negara yang kampus-kampusnya sering menjumpai rasisme dan banyak mengekspos mahasiswa terhadap perdebatan tentang blackface – bisa berarti videonya bukan bentuk kepolosan semata.
Namun, apa yang salah dari praktik blackface?
Baca juga: Heboh Trailer 'The Little Mermaid': Masih Banyak Komen Rasis
Tentang Blackface
Sejarah blackface bisa jadi sama tuanya dengan praktik perbudakan transatlantik. Namun, blackface semakin gencar menjadi bentuk hiburan rasis orang kulit putih di AS pada 1820-an, dengan kemunculan pertunjukkan teater ‘minstrel’.
Dalam pertunjukkan minstrel ini, para pemeran kulit putih berpura-pura jadi orang kulit hitam dan memparodikan musik dan tarian komunitas kulit hitam secara rasis demi menghibur audiens.
Kemudian pada 1850-an, kelompok-kelompok minstrel kulit hitam ikut bermunculan. Para pemainnya juga berpenampilan menggunakan blackface sebagai upaya untuk merebut kembali budaya mereka dan agar bisa turut memperoleh laba darinya sebagaimana yang dilakukan oleh para kelompok kulit putih.
Pertunjukan minstrel menggunakan blackface terus berlanjut hingga pertengahan abad ke-20, kemudian kehilangan popularitas di tengah Gerakan Hak Sipil di AS. Namun, praktik blackface tidak pernah pudar di AS, Kanada, maupun di berbagai belahan dunia lain.
Bahkan, pertunjukan privat maupun profesional menggunakan blackface terus terjadi. Wujudnya yang paling umum saat ini biasanya di lingkungan kampus, seringkali pada waktu perayaan Halloween atau acara hiburan mahasiswa lainnya.
Baca juga: Putri Duyung Disney Berkulit Hitam, Kenapa Tidak?
Stereotip Berujung Kekerasan
Masalah yang sangat jelas dari blackface adalah bagaimana praktik ini merepresentasikan kekerasan – terutama bagaimana blackface melecehkan orang kulit hitam secara terbuka.
Dalam pertunjukan minstrel yang memakai blackface, misalnya, para pemeran membakar sebuah cork (biasanya dipakai sebagai penutup botol anggur) atau menggunakan poles sepatu untuk melukis wajah mereka hingga berwarna hitam. Tapi, mereka menyisakan beberapa bagian di sekitar mulut, atau melukisnya dengan warna merah atau putih hingga bibir mereka terlihat sangat besar.
Gaya rias wajah ini adalah upaya sengaja untuk menggambarkan orang kulit hitam sebagai sosok-sosok yang aneh. Setelah mengenakan blackface, para pemeran kemudian menggunakan logat yang lebay, memelintirkan kosakata tertentu, serta berjoget dan berbusana secara aneh untuk semakin mengolok-olok orang kulit hitam.
Pertunjukan minstrel ini bergantung pada, dan juga memproduksi, penggambaran kehidupan orang kulit putih dengan penuh stereotip. Berapa insiden blackface di Kanada, tempat saya mengajar, memuat stereotip-stereotip yang menghina.
Misalnya, di Wilfrid Laurier University pada 2007, beberapa orang mengenakan blackface beserta rambut gimbal palsu dan wadah KFC sebagai topi, kemudian membawa tabung berukuran satu meter seakan untuk merepresentasikan rokok ganja raksasa.
Di sekolah bisnis HEC Montreal pada tahun 2009, pengguna blackface membawa boneka monyet dan bersorak “Ayo menghisap ganja!”
Cukup jelas, baik pada masa lampau maupun saat ini, blackface memuat representasi kekerasan dengan menyodorkan beragam stereotip orang kulit hitam yang rasis.
Baca juga: ‘Blackfishing’: Saat Orang Kulit Putih Tampil Layaknya Kulit Hitam
Melanggengkan Semangat Zaman Perbudakan
Meski muatan kekerasan dalam blackface sangatlah buruk, ini bukanlah satu-satunya alasan – dan bukan pula alasan terbesar – mengapa blackface sangat rasis terhadap orang kulit hitam.
Profesor Saidiyah Hartman dari Columbia University di AS pernah menuliskan bahwa saat ini kita berada di “kehidupan akhir zaman perbudakan” (“afterlife of slavery”). Dengan kata lain, kehidupan orang kulit hitam saat ini masih terus berkelindan dalam relasi sosial yang merupakan perpanjangan dari dinamika rasisme pada zaman perbudakan.
Relasi-relasi ini berupaya untuk menempatkan kehidupan orang kulit hitam di luar ranah kemanusiaan (sebagaimana yang disampaikan filsuf Sylvia Winter), sebagai nyawa yang tak perlu diberikan harkat martabat, dan hanya sebagai properti. Dinamika ini mendorong kekerasan terhadap orang kulit hitam, baik di Amerika Utara maupun di seluruh dunia, sebagaimana argumen penulis Robin Maynard yang sangat baik dalam bukunya Policing Black Lives (2017).
Pada akhirnya, isu yang lebih sentral terkait blackface adalah bagaimana praktik ini kembali melanggengkan dinamika ini.
Pertama, perlunya memakai rias wajah yang berlebihan sebagai bagian dari penggambaran orang kulit hitam menunjukkan upaya untuk membangun wacana perbedaan antara orang kulit hitam dan kulit putih.
Ini bersumber dari logika rasisme biologis. Cara pandang ini mengatakan, corak fisik dari orang Afrika adalah bukti bahwa orang kulit hitam inferior secara “hirarki evolusi” jika dibandingkan dengan orang kulit putih, dan oleh karena itu layak diperbudak.
Para pengguna blackface saat ini mengklaim tidak percaya orang kulit hitam inferior. Namun, mereka terus memakai rias wajah yang gelap dalam penggambaran-penggambaran ini – apalagi riasan tersebut sengaja dibuat tidak realistis. Ini adalah bukti bahwa mereka masih bersikeras menonjolkan betapa bedanya warna kulit mereka. Melalui cara ini, blackface menjadi praktik yang sangat merendahkan.
Kedua, blackface kembali melanggengkan dinamika perbudakan, terutama bagaimana ia bolak-balik mengenakan dan menghapus warna hitam ini. Ini menempatkan tubuh orang kulit hitam sebagai properti yang dengan mudahnya dirampas dan dibuang begitu saja.
Inilah yang dimaksud aktivis antiperbudakan Amerika Afrika, Frederick Douglass, ketika ia mengatakan bahwa pemeran minstrel yang memakai blackface adalah “sampah masyarakat kulit putih, yang telah mencuri corak kulit kami yang secara alami tak mereka punyai, untuk kemudian menghasilkan uang, dan melayani selera korup para rekan kulit putih mereka.”
Ide-ide Douglass juga mengajak kita memperhatikan relasi ekstraktif kapitalis yang meliputi praktik blackface.
Dengan menirukan orang kulit hitam beserta busana, musik, dan tarian mereka (meski diselewengkan), pemeran kulit putih bisa menghasilkan uang dengan melakukan hal-hal yang orang kulit hitam sendiri tidak bisa manfaatkan untuk menyambung hidup. Bahkan ketika bermunculan kelompok minstrel kulit hitam, mereka pun tidak dibayar dengan upah yang sama dengan minstrel kulit putih.
Dewasa ini, kesenjangan ekonomi ini juga terlihat setiap kali para studio produksi memilih untuk menggunakan pemeran kulit putih berwajah blackface untuk memainkan orang kulit hitam, ketimbang menyewa aktor kulit hitam.
Ketiga, blackface bergantung pada relasi yang sangat mengkhawatirkan terkait hiburan, dominasi, dan pengolok-olokan orang kulit hitam yang khas pada zaman perbudakan.
Dalam bukunya Scenes of Subjection, Saidiyah Hartman mendemonstrasikan bagaimana kesenangan kulit putih pada zaman perbudakan adalah hasil pemaksaan terhadap orang kulit hitam untuk menghibur orang kulit putih, tanpa mempedulikan perasaan mereka sedikitpun.
Dinamika historis ini menyebabkan munculnya pertunjukan minstrel, dengan segudang rasismenya, sebagai salah satu bentuk budaya populer pertama yang dianggap “khas Amerika”. Relasi antara kesenangan kulit putih dengan tubuh kulit hitam ini kembali dipraktikkan dalam blackface saat ini, yang hampir selalu terjadi dalam konteks hiburan.
Riset saya sendiri telah menemukan, praktik blackface kontemporer di Kanada, negara saya, semakin menjadi hiburan sosial bagi para pemakai blackface maupun audiens mereka, tepat karena blackface mendorong batasan-batasan dari diskursus rasial yang diterima masyarakat. Efek ini lah yang membuat blackface terus menjadi praktik di masyarakat, meski ditentang oleh komunitas kulit hitam.
Di Kanada, misalnya, catatan menunjukkan komunitas kulit hitam di Toronto berkali-kali memohon pada pemerintah daerah untuk menghentikan hiburan minstrel di kota tersebut. Namun, sebagaimana ungkapan dari peneliti teater University of Toronto Mississauga, Stephen Johnson, berbagai permohonan ini berujung tak mendapat respons meski pertunjukan minstrel ini melanggengkan ancaman kekerasan terhadap orang kulit hitam.
Kenyataan bahwa blackface terus dilakukan dengan penuh impunitas di tengah protes dari orang kulit hitam, baik di masa lampau maupun saat ini, semakin menunjukkan bahwa bentuk hiburan ini secara rasis mengabaikan pendapat komunitas kulit hitam terkait isu-isu rasial yang sangat memengaruhi mereka.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments