Momen saat saya menyadari bahwa begitu berharganya sebuah nama bagi seorang perempuan adalah ketika saya masih menjadi mahasiswi semester satu Kajian Gender Universitas Indonesia. Dalam sebuah diskusi mengenai pengalaman perempuan yang sudah menikah, ada topik yang sebelumnya tidak pernah saya anggap spesial: Makna sebuah nama.
Dosen dan teman saya yang sudah menikah mengatakan bahwa ketika mereka telah menikah, nama panggilan yang kerap disematkan kepada diri adalah panggilan dengan nama suami mereka. Di berbagai pertemuan resmi atau tidak resmi, tidak jarang perempuan akan dipanggil dengan nama suami mereka. Lalu ketika mereka sudah memiliki anak, di berbagai pertemuan orang tua murid di sekolah ataupun pertemuan santai, mereka akan dipanggil dengan nama anak mereka.
Teman-teman saya menyatakan dipanggil dengan nama suami membuatnya merasa dilihat sebagai seseorang yang bukan dirinya sendiri. Eksistensinya sebagai manusia dinegasikan dan malah dilekatkan dengan orang lain. Identitas perempuan yang unik sebagai seorang manusia seakan lenyap begitu saja.
Baca juga: Kampanye KemenPPPA Soal Ketahanan Keluarga Hapus Beragam Identitas Perempuan
Apa yang dialami oleh teman-teman saya sebenarnya merupakan sebuah realitas yang pernah dibahas oleh Simon de Beauvoir, feminis eksistensialis dari Perancis melalui bab “The Married Woman” dalam buku legendarisnya, The Second Sex. Beauvoir mengatakan bahwa relasi laki-laki dan perempuan dalam sebuah perkawinan digambarkan sebagai subjek dan liyan. Dalam hal ini, laki-laki adalah subjek, sang absolut, dan perempuan adalah liyan.
Setelah menikah dengan suaminya, perempuan kehilangan identitasnya sendiri. Suami mereka mengambil alih identitas mereka dan mengantarkan mereka pada kehidupan yang laki-laki pimpin. Beauvoir lebih lanjut mengatakan di dalam pernikahan, perempuan mendapatkan sebagian dunia seperti properti dan jaminan hukum, tetapi perempuan menjadi “pengikut’ suaminya.
Baca juga: Drama Korea ‘When the Camellia Blooms’ Tampilkan Ragam Identitas Perempuan
Laki-laki secara kultural adalah kepala komunitas, mereka mengambil alih nama istri mereka, membuat istri mereka ikut dalam agama yang mereka anut. Perempuan mengintegrasikan diri mereka sendiri ke dalam kelas dan dunia suami mereka sehingga mereka pun menjadi “other half” laki-laki.
Pengambilalihan identitas dalam ikatan pernikahan sebenarnya bisa menjadi sangat problematik. Menurut Beauvoir, hal ini dikarenakan suami mewakili suara masyarakat berkat kontribusi mereka kepada masyarakat melalui pekerjaannya di ruang publik. Karena itu, betapa pun terhormatnya perempuan, mereka tetaplah dalam posisi subordinat yang arti kehidupannya tidak ada di tangan mereka sendiri. Hal ini pun pada akhirnya berujung pada suara perempuan yang kerap dibungkam, digantikan dengan suara suami mereka sendiri.
Dengan memanggil nama perempuan, kita mengakui dan menghargai eksistensi mereka sebagai manusia yang utuh. Kita telah membuat mereka bangga terhadap identitas unik yang mereka miliki.
Di banyak kasus misalnya, perempuan yang telah menikah tidak lagi memiliki kuasa untuk berbicara atas dirinya sendiri, tapi suami mereka berbicara atas mereka. Mereka tidak memiliki sebuah kebebasan bersuara, bahkan kebebasan untuk memilih seperti diri mereka dahulu ketika mereka masih lajang. Semua hal yang mereka lakukan, pendapat yang ingin mereka lontarkan, sikap yang mereka ambil, harus dilakukan dalam persetujuan suami mereka.
Tidak mengherankan bila kemudian di berbagai pertemuan dalam masyarakat seperti pertemuan balai desa, perempuan jarang diikutsertakan. Jika para perempuan ini diikutsertakan pun, mereka tidak diberikan ruang untuk mengungkapkan pendapatnya atau mempunyai hak untuk mengambil keputusan. Ini disebabkan adanya anggapan bahwa kehadiran mereka tidak perlu, mereka bukanlah pengambil keputusan absolut seperti laki-laki, mereka bukanlah suara masyarakat sehingga cukuplah para suami mereka saja yang bersuara. Masyarakat berpikir, suara suami pastilah suara istri mereka juga.
Baca juga: Menikah: Menghidupkan atau Mematikan Diri Perempuan?
Banyak dari kita, termasuk saya dahulu, belum menyadari implikasi dari tindakan memanggil perempuan dengan nama suaminya ini. Bahwasanya hal tersebut akan mematikan eksistensi perempuan sebagai individu. Mereka pun hanya dianggap layak atau sukses jika mengampu identitas suaminya saja.
Pada akhirnya, nama bukanlah sekadar kata tanpa arti bagi perempuan. Nama perempuan adalah simbol eksistensi seorang manusia. Dengan memanggil nama perempuan, kita mengakui dan menghargai eksistensi mereka sebagai manusia yang utuh. Dengan memanggil nama perempuan, kita telah membuat mereka bangga terhadap identitas unik yang mereka miliki. Dan dengan memanggil nama perempuan, kita kembali menyalakan api kehidupan di setiap jiwa perempuan yang telah lama padam.
Sebutlah nama mereka. Biarkanlah mereka hidup sebagai diri mereka sendiri dengan identitas yang telah mereka miliki.
Comments