“Waduh, seperti cerita stensilan.”
“Aku jadi terangsang waktu membaca kisahnya.”
“Tulisan yang memalukan, ini mah cerita seks!”
Memilih untuk membaca laman komentar memang sama saja menceburkan diri ke neraka. Lalu bagaimana rasanya jadi “Agni”, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menjadi korban pemerkosaan saat sedang kuliah kerja nyata (KKN), yang telah berani untuk mengungkapkan ceritanya, mengulang lagi kejadian traumatis dalam otaknya, mondar-mandir ke sana kemari untuk mencari keadilan, namun mendapat tanggapan seperti itu?
Belum lagi komentar-komentar lain yang banyak menyalahkan korban, seperti “Kayaknya ceweknya juga mau, kenapa dia tidak meronta?” Logika sederhananya, kalau suka sama suka, kenapa dia perlu melaporkan segala hal “memalukan” yang terjadi padanya ke kampus? Kenapa datang ke Rifka Annisa untuk konseling? Bukannya masyarakat Indonesia begitu penuh penghakiman terhadap perempuan korban?
Ketika melihat kasus-kasus pelecehan, perkosaan, ataupun segala sesuatu yang berkaitan dengan kekerasan seksual, masyarakat Indonesia, alias kita, cenderung menekankan pada frasa seksual ketimbang frasa kekerasan. Seksual itu asusila, asusila itu porno, porno berarti memberikan rangsangan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Melihat kekerasan seksual sebagai pornografi bukanlah hal baru. Bahkan undang-undang kita juga berkata demikian. Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebutkan pornografi sebagai sesuatu yang melanggar kesusilaan berupa gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual. Sedangkan Pasal 4 Ayat 1 UU yang sama menjabarkan bahwa salah satu bentuk pornografi adalah kekerasan seksual. Itulah mengapa banyak warganet yang menilai bahwa tulisan yang memuat cerita tentang pemerkosaan Agni dipandang sebagai cerita stensilan. Dengan demikian, pesan untuk semua yang merasa terangsang membaca cerita Agni, sama saja kalian mengatakan bahwa perempuan adalah objek seks, barang, atau komoditas yang menikmati rasa sakit, penghinaan, pemerkosaan, dan pemukulan.
Baik UU, maupun komentar-komentar seksual terhadap cerita Agni merepresentasikan kegagalan besar negara ini dalam memahami kekerasan seksual. Ketika masyarakat melihat kekerasan seksual sebagai pornografi, maka sadar tidak sadar, kita sedang mengaitkannya dengan persoalan moralitas. Sedangkan persoalan moralitas yang hanya berkutat pada permasalahan dosa, tentu saja tidak dapat memberikan perlindungan terhadap korban. Sehingga tidak heran ketika pejabat UGM, Adam Pamudji Rahardjo, mendapatkan laporan mengenai indikasi pemerkosaan, bukannya mengusut kasus tersebut, ia langsung memercayai bahwa pelaku “khilaf”dan menyimpulkan bahwa kejadian tersebut didasari rasa suka sama suka. Itu mengapa dia berpendapat bahwa keduanya, baik Agni maupun HS harus mendapatkan ganjaran atas perbuatan “asusila” mereka.
Komentar lain yang menyayat hati juga datang dari salah satu pejabat Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPKM) UGM yang menilai bahwa Agni juga ikut berperan dalam terjadinya kejadian. Dia bilang, “Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin) pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan.” Pernyataan tersebut menganalogikan A sebagai ikan asin yang tentu saja menarik perhatian si kucing. Hal inilah yang dinamakan standar ganda seksual.
Pendapatnya cenderung permisif terhadap laki-laki pelaku, dan menyalahkan perempuan korban.
Standar ganda seksual adalah sebuah pemahaman bahwa dari sononya, laki-laki memiliki peran seksual aktif, sedangkan perempuan memiliki peran seksual pasif. Hal ini berdampak pada stereotip kepada perempuan, yakni ketika laki-laki melakukan kegiatan seksual akan dinilai sebagai sesuatu yang positif, sedangkan perempuan akan selalu dinilai negatif. Ketika hubungan seks terjadi antara suka sama suka, perempuan akan dicap nakal, atau pada kasus Agni, komentar yang keluar adalah, “Aduh, coba saja dia tidak menginap, pasti enggak bakalan terjadi”, “Sudah tahu di situ hanya ada satu kamar, kok bisa-bisanya tetap menginap”, “Sebagai perempuan ya seharusnya jaga diri, dong”. Pusaran pemasalahan tetap berada di perempuan. Perempuan selalu dituntut untuk menjadi murni dan tak tersentuh, sehingga ketika mengalami kekerasan seksual, yang menjadi perhatian utama adalah kelalaiannya dalam menjaga diri, dan bukannya membahas kejahatan pelaku.
Saya jadi teringat sebuah analogi yang dipakai oleh dosen favorit saya untuk menggambarkan korban dan pelaku kejahatan. “Ketika di sebuah desa yang damai ada harimau lapar berkeliaran untuk membunuh, manakah langkah yang lebih tepat untuk mencegah warga desa supaya luput dari terkaman harimau? Menyuruh seluruh warga desa untuk mengunci diri di rumah, atau menangkap harimaunya?”
Kira-kira apa jawaban yang tepat? Kalau saya sih, selalu berharap bahwa suatu saat, mereka yang berkomentar dengan nada menyalahkan korban bisa berubah pandangan, sehingga komentar yang keluar menjadi, “Waduh, jahat sekali pelaku, bisa-bisanya dia tidak tahu kalau memaksa itu tidak baik. Semua yang terjadi itu harus berdasarkan consent. Keterlaluan.”
Tetap semangat A, kami semua mendukungmu. #ShameUGM
Clianta de Santo adalah mantan mahasiswa UGM, dan relawan konselor hukum Rifka Annisa Women Crisis Center.
Comments