Women Lead Pendidikan Seks
December 20, 2019

Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma

Perempuan sering tak punya cukup kuasa dan dukungan sosial untuk menuntut seks yang lebih aman atau menolak berhubungan seks.

by Iim Halimatusa'diyah
Lifestyle // Health and Beauty
Share:

Ibu rumah tangga dan anak-anak di bawah usia 15 tahun di Indonesia kini merupakan dua kelompok yang rentan terinfeksi HIV/AIDS. Mereka hidup di bawah bayang-bayang stigma, mengalami diskriminasi, dan kerap sulit mengakses perawatan kesehatan yang layak bagi diri mereka sendiri.

Hasil riset saya yang baru saja diterbitkan di jurnal International Sociology menunjukkan bahwa dari 33 perempuan di tiga kota (Jakarta, Yogyakarta, dan Bali) yang saya wawancarai, 27 di antaranya, atau 81 persen, terinfeksi HIV dari suami atau pasangan tunggal. Suami atau pasangan mereka, sebanyak 63 persen meninggal lebih dulu karena penyakit menular tersebut.

Sebagian besar perempuan ini baru mengetahui status positif HIV setelah suami meninggal atau ketika suami sudah sakit parah. Sementara itu, 37 persen lainnya adalah perempuan yang suami atau pasangannya masih hidup, tapi mereka sudah tidak lagi berhubungan dengan suami atau pasangannya tersebut baik karena telah bercerai/berpisah atau pergi dengan perempuan lain.

Sampel itu hanya bagian kecil dari jumlah total perempuan dengan HIV/AIDS di negeri ini. Dalam 30 tahun terakhir hingga Desember 2017, data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa lebih dari 14 ribu ibu rumah tangga terinfeksi HIV/AIDS, dari total lebih dari 102 ribu penderita HIV/AIDS.

Di level global, separuh lebih (52 persen) dari hampir 38 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS di seluruh dunia adalah perempuan. Sedangkan anak-anak di bawah 15 tahun dengan HIV/AIDS mencapai 1,8 juta.

Hidup menanggung stigma

Sejak awal kemunculannya pada 1980-an, HIV/AIDS tidak hanya dipandang sebagai masalah medis tapi juga dilihat sebagai penyakit stigma karena penyakit ini sering dikaitkan dengan permasalahan moral. Karena itu, orang yang hidup dengan HIV/AIDS rentan mengalami luka moral yang memaksa mereka untuk hidup menanggung stigma negatif seumur hidup. Stigma merupakan atribut yang mendiskreditkan seseorang.

Meski HIV/AIDS awal mulanya banyak ditemukan di kalangan kelompok berisiko—kelompok homoseksual, pekerja seks, dan pengguna narkotika--kini orang-orang yang bukan termasuk kelompok berisiko, seperti ibu rumah tangga dan anak-anak, juga bisa terinfeksi HIV. Mereka mengalami stigma yang lebih buruk.

Seperti kategori stigma versi antropolog kesehatan dari Western Sydney University Liamputtoong, riset saya juga menemukan bentuk-bentuk stigma yang dialami oleh perempuan dengan HIV/AIDS di Indonesia.

Baca juga: Saya Ibu dengan HIV, Mampu Lawan Stigma Masyarakat

Pertama, memberikan stigma pada diri sendiri (self-stigma) dengan cara menyalahkan diri sendiri. Hal ini umumnya terjadi pada tahap awal ketika perempuan dengan HIV/AIDS baru mengetahui status positif mereka.

Kedua, stigma yang dirasakan (perceived stigma), yakni stigma yang terkait dengan ketakutan perempuan dengan HIV/AIDS bahwa mereka akan dikenai stigma jika mereka membuka status positif mereka.

Ketiga, stigma yang terjadi (enacted stigma), yakni perempuan dengan HIV/AIDS mengalami diskriminasi karena status HIV/AIDS mereka. Diskriminasi bisa datang dari keluarga sendiri, teman, dan masyarakat sekitar. Diskriminasi juga bisa datang dari tenaga kesehatan maupun negara terkait hak dan akses pelayanan kesehatan bagi mereka yang berstatus positif.

Bertahan hidup dengan stigma

Hasil wawancara saya dengan 33 perempuan berstatus positif HIV/AIDS menunjukkan bahwa dalam menjalani hidup sebagai orang yang terstigma, mereka melakukan berbagai strategi untuk terus bisa melanjutkan hidup.

Strategi yang paling umum adalah menyembunyikan status mereka. Seorang responden, DW, memilih untuk tidak membuka statusnya sebagai bentuk antisipasi akan kemungkinan stigma yang dia akan hadapi jika membuka statusnya.

Taktik lainnya adalah mengabaikan status positif HIV dan mengabaikan pandangan masyarakat. Strategi ini biasanya diikuti dengan tindakan membuka status mereka ke publik dan strategi perlawanan untuk membela hak-hak perempuan yang positif HIV/AIDS.

Cara lainnya adalah bergabung dengan kelompok dukungan yang bermanfaat secara sosial untuk mengembalikan kepercayaan diri, menambah pengetahuan, dan juga menambah pendapatan ekonomi. Setiap orang tidak hanya menggunakan satu strategi saja tapi sering kali beberapa taktik pada saat yang bersamaan.

Terkait dengan aspek ekonomi, kepergian suami baik karena meninggal atau bercerai telah memperburuk kondisi ekonomi perempuan dengan HIV/AIDS yang sebelumnya sangat tergantung pada suami. Namun, mereka tetap bisa melanjutkan hidup walau masih dengan kondisi yang terbatas.

Secara umum strategi ekonomi perempuan dalam studi saya ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Mereka yang hanya bekerja di LSM yang berfokus pada isu HIV/AIDS.
  2. Mereka yang bekerja di LSM tapi juga memiliki pekerjaan atau usaha lain untuk menopang kebutuhan ekonomi.
  3. Mereka punya usaha atau pekerjaan yang tidak bersinggungan dengan LSM seperti berdagang dan wirausaha.
  4. Bergantung pada keluarga karena tidak memiliki pekerjaan yang membantu mereka mencukupi kebutuhan hidup.

Laki-laki harus mencegah diri mereka dari perilaku berisiko terutama perilaku seksual yang tidak aman dengan lebih dari satu pasangan.

Feminisasi HIV/AIDS

Menurut Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA), empat perlima dari kasus baru perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS terjadi dalam pernikahan atau hubungan jangka panjang dengan satu pasangan. Peningkatan signifikan jumlah perempuan dengan HIV/AIDS ini sering dikenal dengan istilah feminisasi HIV/AIDS. Perempuan menjadi lebih rentan terinfeksi HIV/AIDS dibandingkan laki-laki.

UNFPA menyatakan diskriminasi gender, kemiskinan dan kekerasan merupakan faktor utama yang berkontribusi bagi munculnya feminisasi HIV/AIDS. Secara fisiologi perempuan lebih rentan dibandingkan laki-laki untuk terinfeksi HIV melalui hubungan seks.

Dibandingkan laki-laki, perempuan juga cenderung tidak memiliki kontrol yang cukup terhadap hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi. Perempuan juga sering tidak memiliki cukup kekuasaan dan dukungan sosial untuk menuntut seks yang lebih aman atau menolak berhubungan seks yang tidak mereka inginkan. Kekerasan seksual berbasis gender memperparah risiko perempuan untuk terinfeksi HIV/AIDS.

Secara umum, ketimpangan gender yang bersumber dari subordinasi posisi perempuan di masyarakat meningkatkan kerentanan mereka untuk terinfeksi HIV/AIDS. Gambar di bawah ini menunjukkan korelasi yang tinggi (0,68) antara persentase perempuan yang terinfeksi HIV dan Indeks Ketimpangan Gender. Hal ini berarti bahwa perempuan di negara-negara yang tinggi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, lebih rentan terinfeksi HIV/AIDS.

Ketika perempuan sudah terinfeksi, ketimpangan gender juga menjadi faktor yang menyebabkan perempuan mengalami dampak negatif yang lebih berat baik secara sosial maupun ekonomi.

Perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS umumnya mengalami diskriminasi dan stigma yang lebih berat. Mereka juga sering kali lebih sulit mengakses perawatan bagi diri mereka sendiri. Karena umumnya perempuan yang terinfeksi dari pasangannya akan tetap mendahulukan pengobatan bagi suaminya dan anak-anak (jika ada anak yang juga terinfeksi) dibandingkan perawatan bagi diri mereka sendiri.

Baca juga: Saya Ibu dengan HIV, Mampu Lawan Stigma Masyarakat

Kebijakan berbasis gender

Pemangku dan pelaksana kebijakan, baik dari pihak pemerintah maupun organisasi non-pemerintah sebaiknya mengarahkan intervensi pencegahan HIV/AIDS yang berbasis gender.

Peningkatan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan menjadi faktor penentu untuk pengurangan kerentanan perempuan terinfeksi HIV. Salah satu caranya adalah memprioritaskan program-program yang terkait dengan peningkatan hak-hak perempuan dan akses yang cukup untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi.

Kebijakan-kebijakan berbasis gender lainnya seperti meningkatkan sumber daya sosial, ekonomi dan politik perempuan akan mampu meningkatkan kondisi kehidupan mereka.

Berbagai kebijakan di atas tidak akan sepenuhnya berhasil jika tidak dibarengi dengan kebijakan atau intervensi pada laki-laki karena umumnya perempuan terinfeksi dari suami atau pasangannya. Laki-laki harus diminta mencegah diri mereka dari perilaku berisiko terutama perilaku seksual yang tidak aman dengan lebih dari satu pasangan. Intervensi yang melibatkan laki-laki bisa memberi ruang negosiasi yang lebih setara bagi perempuan untuk melindungi diri mereka dari hubungan seksual yang tidak aman.

Sosialisasi yang komprehensif terkait HIV/AIDS perlu terus dilakukan untuk mengurangi stigma pada orang yang hidup dengan penyakit ini. Tidak mengasosiasikan HIV/AIDS dengan isu moralitas akan sangat membantu meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap mereka yang hidup dengan HIV/AIDS.

Iim Halimatusa'diyah adalah dosen Sosiologi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta