Selama ini saya percaya bahwa alat rias dan kosmetik adalah sesuatu yang artifisial, sejalan dengan apa yang dikatakan Naomi Wolf dalam bukunya, The Beauty Myth. Namun, ternyata alat rias dan kosmetik menjadi sesuatu yang mengubah hidup saya sebagai laki-laki.
Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa teman perempuan saya pergi dari Salatiga ke Yogyakarta untuk mengikuti sebuah seminar di Universitas Kristen Duta Wacana. Sebelum ke lokasi acara, teman-teman menggunakan alat rias wajah dan saya jadi penasaran ingin mencobanya. Satu per satu alat rias saya coba, mulai dari alas bedak hingga perona pipi (blush on), dengan panduan dari para teman. Ketika proses rias-merias ini ditutup dengan memulas bibir dengan lipstik, sesuatu menggugah pikiran saya.
Saya teringat pada sebuah kelas yang membahas keberagaman gender beberapa bulan silam. Pemateri kelas tersebut menyatakan, “Kalau kamu masih risi melihat laki-laki memakai rok, lipstik, dan sepatu high heels, kamu belum bisa dikatakan sebagai orang yang merayakan keberagaman.”
Pernyataan tersebut membuat saya merasa sedang merayakan keberagaman sekaligus menemukan ekspresi gender saya dengan alat rias milik teman saya. Kini saya merayakan kembali keberhasilan saya dengan mengumumkan kepada semua orang untuk tidak memanggil saya: “Mas”, “Bang”, atau apa pun itu jenisnya karena saya merasa bahwa diri saya feminin, bukan maskulin.
Pencarian jati diri ini mungkin belum sepenuhnya selesai (baca: saya masih harus menyaru dalam keluarga). Ekspresi gender saya pasti menuai reaksi tak terhindarkan, apalagi saya hidup dalam budaya Batak Toba yang sangat menjunjung tinggi maskulinitas—let men be men, let women be women. Bukannya hal ini tidak ada dalam budaya suku-suku patriarkal yang lain, tapi budaya Batak Toba sangat kental mengusungnya.
Seluruh anggota keluarga saya sebetulnya paham kalau saya punya ekspresi gender feminin. Namun ada saja anggota keluarga yang menyarankan saya untuk melakukan sesuatu agar “mengarah ke rel yang benar”. Seorang tante berkata, “Tidak ada laki-laki marga Situmorang yang melambai.” Ia juga sepertinya berpikir bahwa dengan mengonversi ekspresi gender feminin ke maskulin, saya akan cepat mendapatkan jodoh.
Orang tua pun melarang saya untuk berkreasi dengan gaya rambut. Rambut saya pernah berponi lurus seperti tirai. Ibu saya kemudian dengan tegas dan lantang berkata, “Potong rambutmu! Nanti kalau Papa datang, kau akan dihajar habis-habisan!” Setelah rambut dipotong, saya masih disindir lagi, seolah-olah saya adalah makhluk paling salah di dunia hanya gara-gara rambut.
Tidak hanya soal rambut. Masalah warna pakaian tak luput dari kritikan Mama. Celana Melayu merah saya masih tersimpan rapi di lemari dan Mama tidak ingin melihat saya mengenakan celana itu lantaran merah bukan warna untuk laki-laki, dan laki-laki tidak boleh pakai celana merah.
Akan selalu ada orang-orang yang berkata bahwa saya harus bertobat dan kembali ke kodrat jika saya melawan. Saya akan dianggap domba yang hilang dengan pendirian feminis saya. Secara biologis, saya punya penis, bukan vagina. Tetapi, tokoh feminisme Judith Butler menyatakan bahwa saya punya otoritas penuh untuk menyatakan bahwa lubang anus saya adalah vagina dan dada saya adalah payudara—terlepas dari fakta bahwa laki-laki malu menyatakan bahwa dadanya juga adalah payudara.
Ekspresi memang berbanding terbalik dengan karakteristik seksual, tetapi saya bangga karena dengan berkumpul dan berdiskusi bersama sahabat-sahabat saya yang satu visi dan pemikiran, saya menjadi paham bahwa saya harus menjadi diri sendiri. Jangan pernah menyiksa dirimu sendiri dengan menjadi orang lain. Tidak boleh ada orang yang membungkam langkah gerakmu dengan menyatakan perempuan-harus-begini atau lelaki-harus-begitu. Bahkan, tidak boleh ada stigma berdasarkan warna pakaian karena warna tidak ada hubungannya dengan kelamin.
Sistem patriarki bisa membelenggu proses pencarian jati diri. Tetapi, yang bisa kita lakukan adalah dengan merangkul sebagaimana adanya dan seutuh-utuhnya manusia, bukan dengan sibuk menuding dengan ketidakpantasan. Pencarian jati diri bukan sesuatu yang bisa dikatakan akan berhasil sepenuhnya, tetapi mari kita merayakan keberhasilan langkah demi langkah pencarian jati diri, meskipun itu hanya satu langkah kecil.
Christian Paskah Pardamean Situmorang, 23, bukan mahasiswa lagi. Kini ia mengajar bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus sambil terus berusaha merayakan langkah demi langkah proses pencarian jati diri.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin.
Comments