Women Lead Pendidikan Seks
November 01, 2017

Bebaskan Diri dari Jebakan Kelamin

Saatnya berhenti menjadikan jenis kelamin sebagai pembatas bagi pilihan-pilihan kita.

by Yoga Palwaguna
Issues // Gender and Sexuality
Feminine Man 13 Thumbnail, Magdalene
Share:
Tak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya bahwa kata sesederhana “laki-laki” akan memiliki pengaruh yang begitu besar dalam membentuk kehidupan saya. Awalnya saya menganggap kata “laki-laki” hanya sebagai penanda jenis kelamin saja. “Laki-laki” untuk mereka yang terlahir dengan penis dan “perempuan” bagi mereka yang memiliki vagina. Sama seperti hijau, merah dan kuning yang hanya berfungsi sebagai cara kita mengidentifikasi warna.

Namun, semakin saya dewasa, saya semakin disadarkan bahwa kata tersebut memiliki (atau dibebani) makna dan muatan yang lebih dari itu. Kata “laki-laki” ternyata tak hanya merujuk pada jenis kelamin melainkan juga seperangkat nilai, aturan dan ekspektasi: maskulinitas. Begitu juga dengan “perempuan” yang dibebani dengan seperangkat nilai, aturan dan ekspektasi yang dianggap melengkapinya: femininitas. Kata “laki-laki” kemudian terasa menjadi tak nyaman bagi saya, menyesakkan dan membatasi. Saya tiba-tiba merasa bahwa terlahir dengan jenis kelamin tertentu adalah sebuah jebakan.

Waktu kecil, saya adalah anak laki-laki yang lebih senang diam di rumah dan main masak-masakan daripada bermain bola bersama teman-teman. Kakek saya senang mendongeng, dan setiap kali beliau bertanya cerita apa yang ingin saya dengar, saya selalu merengek minta diceritakan dongeng dengan tokoh utama seorang putri. Saya menangis jika tidak dituruti. Kartun kesukaan saya adalah Sailor Moon dan Little Mermaid, sedangkan penyanyi kesukaan saya adalah Dea Ananda. Sering kali saya menonton video klipnya sambil meniru gaya dan tariannya.

Preferensi-preferensi saya yang bisa dibilang cenderung feminin itu muncul sebagai sesuatu yang terasa alami saat itu. Ketika itu saya tak merasa ada masalah. Saya masih belum menyadari beban apa yang diletakkan masyarakat pada organ di selangkangan saya.

Hingga akhirnya saya mulai tumbuh dan bertemu dengan lebih banyak orang. Ternyata, menurut orang-orang, saya seharusnya tidak menyukai warna merah muda, atau kuning, karena itu adalah warna-warna bagi para perempuan. Ternyata menurut orang-orang, seharusnya saya lebih suka menonton film-film laga yang menegangkan, bukannya serial Korea yang penuh drama dan aktor-aktor rupawan. Katanya lagi, saya seharusnya menjadi pedagang, bukan tukang masak, karena itu adalah pekerjaan perempuan.




Yang membuat saya terganggu adalah, maskulinitas dan femininitas yang dibebankan pada masing-masing jenis kelamin ini telah begitu mengakar dan dianggap sebagai standar nilai utama, bukan lagi sebatas selera perorangan. Sehingga siapa saja yang keluar dari koridor itu kemudian dianggap sebagai pelaku ketidakwajaran. Sesuatu yang aib, yang pantas dicela. Maka tak heran jika ada banyak laki-laki feminin yang jadi sasaran rundungan dan bahan olokan. Begitu pula para perempuan maskulin yang sering dianggap nakal tanpa alasan jelas. Dan sayangnya, hal-hal itu sempat berhasil memengaruhi saya.

Saya mulai jadi lebih mawas diri dengan segala tindakan saya. Saya selalu berusaha untuk memenuhi ekpektasi masyarakat tentang maskulinitas supaya saya tetap dianggap normal. Saya takut sekali jika sampai orang tahu sisi feminin saya lalu mengatai saya banci. Saya benci sekali membayangkan jika sampai ada orang yang berkata bahwa saya kurang laki. Selama bertahun-tahun saya berpuasa, dalam arti menahan diri menjadi diri sendiri. Saya pasang saringan ketat di mulut saya, juga di badan saya. Supaya ucapan dan gerak-gerik yang keluar hanya yang dianggap sesuai standar. Sisanya saya kubur dalam-dalam di kepala.

Tapi siapa, sih, yang tidak merasa lelah berpura-pura? Pada suatu ketika saya sampai juga pada sebuah titik jenuh. Saya menyadari bahwa berpura-pura menjadi orang lain tidak membawa saya ke mana-mana. Tidak juga menghadirkan apa-apa kecuali perasaan tertekan dan rasa bersalah pada diri sendiri. Saya telah menelantarkan isi hati saya sedemikian lama. Saya lebih khawatir dengan ucapan orang lain daripada apa yang benar-benar saya rasakan. Saya telah bersikap tidak adil pada diri saya sendiri. Saya telah menyia-nyiakan bertahun-tahun kehidupan saya.

Maka saya putuskan untuk berhenti. Berhenti mengelabui diri saya sendiri. Berhenti takut pada bayangan yang saya lihat di pantulan cermin. Saya ingin melepaskan diri saya dari segala sekat dan label yang selama ini membatasi. Entah itu batasan usia, kelamin, gender, atau bahkan orientasi seksual. Saya hanya ingin jujur pada diri saya sendiri. Hanya dengan cara itu saya bisa memaksimalkan potensi yang saya miliki, dan di saat yang sama menikmati hidup dengan sebaik-baiknya.

Meski harus saya akui prosesnya tak pernah mudah. Pengaruh yang ditanamkan masyarakat telah begitu mengakar di alam bawah sadar saya. Ketakutan itu masih sering muncul. Ketakutan untuk jujur, ketakutan untuk mengungkapkan pendapat dan berekspresi. Juga ketakutan terhadap penolakan masyarakat dan alienasi jika saya dianggap berbeda.

Sudah saatnya kita berhenti membebankan nilai maskulinitas dan femininitas pada jenis kelamin. Sudah saatnya kita berhenti menjadikan jenis kelamin sebagai pembatas bagi pilihan-pilihan kita. Entah itu warna favorit, acara kesukaan, gaya pakaian, cara bicara, pilihan karier atau kepada siapa kita jatuh cinta. Setiap jenis kelamin berhak memiliki kesempatan dan kebebasan yang sama untuk menentukan hidupnya sendiri. Mari kita membebaskan diri dari jebakan jenis kelamin. Karena dunia ini begitu luas dengan segala potensi dan kemungkinan.

Saya berharap dalam waktu yang tidak lama, saya bisa dengan terbuka mengungkapkan isi kepala saya tanpa perlu mendapatkan reaksi-reaksi semacam, “Lho, kok begitu? Kamu kan cowok?”

Yoga Palwaguna adalah lelaki yang banyak menemukan pelajaran hidup dari drama dan variety show Korea. Murid kelas nol besar di TK virtual bernama Komunitas Supernova. Juga aktif di komunitas literasi Kawah Sastra Ciwidey.