Perempuan di Philadelphia, Amerika Serikat (AS) diperkosa oleh laki-laki tak dikenal, saat ia menumpangi kereta pada 13 Oktober lalu. Selain dianggap tak berdaya dan pantas diperlakukan sebagai objek pemuas seksual, mirisnya, penumpang lain tidak berinisiatif menghubungi 911, nomor telepon yang dihubungi di AS saat dalam situasi darurat.
Menurut Southeastern Pennsylvania Transportation Authority (SEPTA) Police Chief, Thomas J. Nestel dalam konferensi pers, mereka yang semestinya berperan sebagai bystander mengangkat ponselnya, mengarahkan ke korban di tengah insiden tersebut, dan membiarkan pelaku melakukan tindakannya selama 40 menit. Melansir USA Today, kejadian itu berlanjut sampai petugas transit dari SEPTA, melihat serangan dan menghentikannya. Ia menarik Fiston Ngoy, sang pelaku, keluar ke peron.
Menanggapi peristiwa tersebut, kepolisian setempat kecewa lantaran tak satu pun penumpang berusaha menghentikannya, atau melaporkan secara diam-diam lewat tombol darurat yang tersedia. Pun dari kamera CCTV terlihat beberapa kali korban berusaha mendorong tubuh Ngoy.
Padahal, para penumpang seharusnya merasa jijik, marah, dan bertanggung jawab melihat seseorang menerima perlakuan tersebut. Mereka mestinya bisa berperan mewujudkan rasa aman untuk korban.
Baca Juga: Pemisahan Gender pada Transportasi Umum, Perlukah?
Merekam Untuk Gratifikasi
Mulanya, para penumpang yang mengangkat ponsel ke arah korban, diduga merekam pemerkosaan yang dilakukan Ngoy untuk gratifikasi, karena polisi tidak menerima laporan dari mereka. Namun, pada 22 Oktober, jaksa yang menangani kasus tersebut dan bertemu dengan saksi, menyatakan narasinya keliru.
Pengawas Upper Darby Police Department, Timothy Bernhardt pun sempat menyarankan agar penumpang yang merekam peristiwa ini bisa menerima tuntutan, dengan catatan mereka tidak membantu korban keluar dari situasi ini.
Namun, Kevin McMunigal, mantan jaksa federal dan profesor hukum di Case Western Reserve University, AS, menjelaskan kepada BBC. Kebanyakan negara bagian di AS tidak memiliki kewajiban hukum untuk mengintervensi atau memberikan bantuan. Pengecualiannya jika mereka adalah orang tua, guru, pengurus, atau petugas polisi, sehingga memiliki tugas khusus, dan ini berlaku di Philadelphia.
Sementara menurut profesor hukum di University of Miami, Tamara Rice Lave, orang-orang yang merekam kejadian itu dapat dituntut apabila rekamannya mendorong pelaku kejahatan. Dikhawatirkan, rekaman tersebut dapat memicu tindakan pemerkosaan selanjutnya, terutama jika disebarluaskan, dan memicu trauma korban lainnya yang menyaksikan.
Baca Juga: Transportasi Online Didesak Cegah Kekerasan Seksual
Mengalami Bystander Effect
Dalam kasus pemerkosaan yang terjadi di kereta itu, dijelaskan terdapat beberapa penumpang lain di dalamnya. Namun, tidak dapat sepenuhnya disebut mereka bersalah karena tidak mengambil tindakan untuk menghentikan. Jika dibahas secara psikologis, mereka mengalami bystander effect, atau fenomena ketika sejumlah orang menyaksikan insiden itu, semakin kecil kemungkinan orang akan membantu korban.
Menurut psikolog sosial AS, John M. Darley dan Bibb Latané, dalam penelitiannya berjudul “Bystander intervention in emergencies: Diffusion of responsibility” (1968), saksi mata yang berada dalam situasi darurat akan bertindak, apabila tidak ada orang lain yang bisa membantu sehingga mereka satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk menghentikan aksi. Ini disebabkan oleh menjadi bagian dari kerumunan besar membuat seseorang menganggap ada orang lain yang akan berinisiatif melakukannya.
Alasan lain seseorang tidak bertindak dikarenakan adanya kebutuhan berperilaku benar dan diterima oleh orang-orang di sekelilingnya, seperti dikutip dari Verywell Mind. Oleh karena itu, kemungkinan para penumpang ragu untuk melakukan. Mereka khawatir jika yang lain tidak ikut memberikan bantuan, sehingga respons tersebut dinilai sebagai sinyal, apakah perilakunya memang diperlukan atau cara melakukannya salah.
Baca Juga: Perempuan Korban Kekerasan Seksual Sulit Cari Keadilan
Selain itu, dalam bystander effect juga para saksi mata belum tentu memahami situasi yang terjadi antara korban dan pelaku, begitu pula dengan relasi antara mereka. Pun mereka berusaha menelusuri apa yang perlu dilakukan dan menunggu reaksi dari orang-orang di sekelilingnya.
Hal ini juga yang disampaikan oleh Delaware County District Attorney, Jack Stollsteimer dalam sebuah konferensi pers. “Para penumpang datang dan pergi di setiap stasiun, jadi bukan berarti saat melihat aksi tersebut mereka tahu insidennya sebagai pemerkosaan”, tuturnya.
Namun, Elizabeth Jeglic, seorang profesor psikologi di John Jay College of Criminal Justice, AS justru berkata lain. Kepada AP News ia mengatakan berdasarkan penelitian, dalam 90 persen kasus penyerangan justru terdapat seseorang yang mengintervensi.
“Kasus ini menjadi tidak biasa karena tidak ada yang membantu korban,” ujar Jeglic.
Sebenarnya, kesadaran menjadi bystander aktif diperlukan jika seseorang berada dalam situasi darurat. Pun ia akan mengalami dilema moral, apabila yang disaksikannya benar sebuah kekerasan.
Melansir Psychology Today, dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, saksi laki-laki yang bersikap seksis, atau kondisinya dipengaruhi oleh alkohol dan obat-obatan, cenderung tidak memberikan bantuan. Namun, kita dapat mengandalkan empati sebagai salah satu cara untuk melatih diri.
Apabila menjadi bagian dari sebuah kerumunan, bystander dapat mengajak orang-orang di sekelilingnya untuk memberikan bantuan, dan menjelaskan jika kemungkinan kejadian tersebut adalah kekerasan sehingga mereka memahami, keselamatan korban perlu diprioritaskan. Namun, pastikan bantuan itu tidak berisiko bagi keselamatan sendiri.
Comments