Women Lead Pendidikan Seks
March 22, 2021

Tantangan Advokat Gender Dampingi Korban KBGO

Advokat gender menghadapi berbagai tantangan dalam mendampingi korban KBGO mulai dari aspek internal korban hingga sistem hukum di Indonesia.

by Mona Ervita
Safe Space
Perempuan dalam hukum
Share:

Berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU Komnas Perempuan) 2021, sepanjang 2020, kasus kekerasan gender berbasis online (KBGO atau dikenal juga kekerasan berbasis gender siber/KBGS) meningkat. Pada 2019, terdapat 241 kasus sementara tahun lalu, terdapat 940 laporan KBGO.

Peningkatan KBGO berdasarkan data tersebut tidak lepas dari kondisi pandemi COVID-19, di mana mayoritas kegiatan dan komunikasi dilakukan secara daring. Ini mengindikasikan bahwa ruang virtual belum menjadi ruang aman bagi perempuan.

KBGO dapat dialami oleh siapa pun tanpa mengenal gender dan status relasi, mulai dari suami-istri, keluarga, pacar, hingga orang asing. Adapun bentuk KBGO berdasarkan temuan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan yaitu pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten illegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).

Dalam kasus-kasus KBGO ini, banyak korban yang mengalami eksploitasi seksual, intimidasi, hingga kekerasan dari pelaku. Hal ini mendatangkan beban berat bagi mereka baik secara fisik maupun psikis.

Baca juga: Tips Jadi Pendamping Korban Kekerasan Seksual

Ketiadaan Payung Hukum yang Melindungi Korban KBGO

Tantangan dalam mendampingi kasus KBGO merupakan sebuah tantangan yang di mana negara belum sepenuhnya melindungi dari sisi substansi, struktur, dan budaya hukum. Menurut teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, sistem hukum dapat bekerja karena ada tiga komponen tersebut.

Secara substansi, belum ada undang-undang yang sepenuhnya melindungi para korban maupun penyintas. Alih-alih mendapat keadilan, korban malah terancam direviktimisasi seperti dalam kasus Baiq Nuril beberapa tahun lalu. Meski status Baiq Nuril sebenarnya merupakan korban KBGO, ia malah dilaporkan pelaku dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam kasus-kasus lain, ada korban yang sempat memberi consent untuk membuat konten seksual. Namun di kemudian hari, pelaku atau salah satu pihak dengan sengaja menyebarkan konten tersebut tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. Dalam konteks ini, bukan hanya pelaku yang terancam hukuman berdasarkan UU Pornografi, korban pun bisa ikut dikriminalisasi dengan UU tersebut.

Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga disahkan. Padahal, RUU tersebut dapat melindungi korban KBGO yang jumlahnya terus meningkat di negara ini. Karena itulah, advokat gender sering mengalami gap terkait substansi hukum dalam mendampingi kasus KBGO. Ketika pelaku menyebarkan konten seksual korban, advokat kerap kebingungan menggunakan pasal apa untuk membela korban.

Tantangan lain yang dihadapi advokat gender dalam membela korban KBGO adalah apabila pelaku tidak diketahui identitasnya alias anonim. Dalam konteks ini, advokat tidak bisa melakukan tindakan hukum selain melakukan take down konten-konten yang memuat diri korban dan penguatan secara psikologis terhadap mereka. Lain cerita bila pelaku diketahui; advokat dapat melakukan somasi langsung terhadap pelaku dan menegakkan keadilan dengan perspektif korban.

Tantangan dari Aspek Penegak Hukum dan Budaya Patriarkal

Secara struktur hukum, aparat penegak hukum seperti kepolisian menjadi pintu awal untuk membantu korban KBGO menangani kasusnya. Sayangnya, advokat gender yang mendampingi mereka kerap kesulitan ketika mendapati tidak semua kantor polisi memiliki unit cyber crime, khususnya di daerah-daerah kabupaten. Karena itu, advokat mesti mendampingi korban untuk melaporkan kasusnya ke Kepolisian Daerah (Polda) yang memiliki fasilitas cyber crime dan alat pelacakan yang memadai untuk menuntaskan kasus KBGO.

Tantangan ini menuntut waktu proses hukum yang tidak singkat, serta mengharuskan korban untuk mengakses tempat yang jauh dan mengeluarkan biaya operasional untuk mencapai pusat kota.

Selain itu, perspektif yang belum ramah gender kerap kali ditemukan pada tahap penyelidikan maupun penyidikan. Korban KBGO mendapatkan stigmatisasi dan penyalahan dari aparat, bahkan sebagian di antaranya sampai mendapatkan pelecehan seksual. Hal ini mendorong urgensi disosialisasikannya pemahaman gender bagi para aparat penegak hukum.

Korban KBGO juga membutuhkan fasilitas yang memadai ketika melaporkan kasusnya. Hal ini dapat berupa penambahan personel polisi wanita, peningkatan pelayanan unit perempuan, dan ruangan khusus konsultasi dan pemeriksaan secara tertutup untuk kasus kekerasan berbasis gender. Dengan demikian, akses keadilan dan jaminan rasa aman bagi korban dapat terpenuhi.

Dari segi budaya hukum, nilai-nilai patriarkal yang mengakar di masyarakat kerap menghambat korban dalam penanganan kasus KBGO. Bahkan tahun lalu, DPR sempat menunda pembahasan RUU PKS dengan alasan “sulit”. Sikap DPR yang seperti ini dapat muncul karena banyak anggotanya yang masih belum memahami aspek gender dan memegang kuat budaya patriarkal. Mirisnya lagi, substansi RUU PKS untuk melindungi korban kekerasan seksual termasuk  KBGO kerap diinterpretasikan sebagai upaya kelompok tertentu yang hendak melawan nilai-nilai moral dan agama di Indonesia.

Karena itu, selain berperan mendampingi korban dalam mengurus kasusnya secara hukum, advokat gender juga melakukan edukasi dan sosialisasi pemahaman gender terhadap pembuat kebijakan dan masyarakat secara luas.

Baca juga: Mental Kuat, Siap Hadapi Aparat: Menjadi Pendamping Penyintas Kekerasan

Memahami Korban KBGO Lebih Mendalam

Korban tentu memikul beban besar secara psikis setelah mengalami KBGO dan hal ini masih kerap luput diperhatikan masyarakat, penegak hukum, dan pembuat kebijakan. Dalam banyak kasus, korban enggan bercerita atau tidak menyampaikan semua kronologis peristiwa KBGO karena tekanan yang ada dalam dirinya. Ini menjadi tantangan lain bagi advokat gender dalam mendampingi mereka.

Karena itu, penting bagi advokat untuk memiliki pengetahuan dari sisi psikologis untuk melakukan penguatan terhadap korban selain memahami isu hukum, kode etik dan profesionalitas advokat.

Penguatan terhadap korban dapat berupa upaya untuk mendengarkan korban dengan empati, serta memberikan dukungan moral agar korban dapat mengungkapkan peristiwanya secara detail. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama atau membuat jaringan dengan relawan psikolog dalam mendampingi korban kekerasan seksual.

Dalam penanganan kasus KBGO, tantangan lain bisa hadir ketika korban menyediakan bukti-bukti seperti surat, rekaman, konten, percakapan, dan lain-lain. Advokat gender harus berhati-hati agar tidak melakukan malpraktik dalam menggunakan bukti-bukti tersebut sehingga menjadi bumerang bagi si korban sendiri.

Hal lain yang juga perlu dipahami dalam kasus KBGO adalah bahwa tidak semua korban mau menyelesaikan kasusnya secara hukum dengan bantuan advokat karena mereka berpikir harus menyediakan dana lebih untuk menyewa jasa advokat. Mengingat naiknya kasus KBGO pada 2020 lalu, penting bagi advokat sebagai bagian dari penegak hukum untuk berkontribusi membantu korban kekerasan seksual dengan memberikan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma atau pro bono, terlebih di daerah-daerah yang minim akses pendampingan hukum.

Mona Ervita merupakan seorang peneliti di Lembaga Bantuan Hukum Pers Jakarta dan advokat probono di Kolektif Advokat Untuk Keadilan Gender (KAKG). Bersama teman-temannya, ia mendampingi dan memberikan konsultasi secara gratis kepada korban kekerasan seksual.