Meskipun telah diakui statusnya sebagai pekerja oleh pemerintah lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015, pekerja rumah tangga (PRT) masih harus berjuang untuk mendapatkan hak-haknya. Padahal yang PRT butuhkan lebih dari sekedar pengakuan.
Makanya tidak heran, JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi PEKERJA Rumah Tangga) tidak pernah lelah memperjuangkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang menurut mereka secara hukum jauh lebih melindungi, meskipun sudah 10 tahun mandek di meja para wakil rakyat.
Dalam Peraturan Menteri tersebut, upah masih mengacu pada perjanjian kerja, bukan standar upah minimum, dan tidak ada aturan jam kerja maksimal. Hak istirahat yang layak dan cuti juga didasarkan pada kesepakatan. Kesepakatan antara majikan dan PRT yang dibangun dari relasi kuasa berbeda akan membutuhkan keahlian bernegosiasi dari PRT dan kesadaran dari majikan bahwa PRT juga membutuhkan hak cuti.
Jam kerja PRT juga tidak pernah jelas, sangat fleksibel tergantung permintaan majikan dan tidak pernah menguntungkan PRT. Di saat keluarga majikan membutuhkan, mereka harus siap siaga dan sering kali mengerjakan tugas-tugas yang berbeda pada saat bersamaan dari anggota keluarga majikan yang berbeda.
Bagi pekerja harian lepas, performa pekerjaannya dilihat dari berapa hari ia bekerja. Namun bagi PRT, performa pekerjaannya dilihat dari seberapa pagi dia bangun, seberapa rajin ia bekerja, seberapa perhatian ia mengurus rumah tangga, dan seberapa malam ia kembali ke tempat tidur. Intimidasi pun terjadi di ruang-ruang yang sangat privat dan jarang diketahui orang lain. Sebab relasi kuasa jugalah yang membuat mereka bungkam. “Daripada tidak bekerja”, mereka pasif menerima dan bertahan.
PRT mengalami kemiskinan waktu, yang didefinisikan pada individu-individu yang tidak memiliki waktu istirahat dan untuk diri sendiri sebagai dampak dari jam kerja yang panjang.
Kemiskinan itu bukan hanya dihitung dari pendapatan, tapi dari waktu yang dialokasikan untuk bekerja dari bangun tidur sampai tidur lagi. Menurut riset-riset yang ada, kemiskinan waktu itu bukan hanya banyak dialami oleh perempuan yang mengerjakan pekerjaan tak berupah tapi juga pada pekerjaan berupah seperti PRT.
Dalam makalahnya yang berjudul “Women’s Time Poverty and Family Structure: Differences by Parenthood and Employment” (2014), Zilanawala membagi waktu menjadi empat bagian: waktu berkontrak (contracted), waktu dalam komitmen (committed), waktu penting (necessary), dan waktu luang (leisure).
Baca juga: Perempuan Pekerja Rumahan: Terabaikan dan Tak Diakui Haknya
Dalam hal PRT, waktu berkontrak bersifat wajib bagi PRT karena adanya “kontrak” kerja antara PRT dengan majikan. Waktu dalam komitmen adalah waktu yang didedikasikan untuk tanggung jawab domestik dan keluarga. Dilihat dari jam kerja PRT yang fleksibel dan sifat domestikasi pekerjaannya, antara waktu berkontrak dengan waktu dalam komitmen tidak ada batasnya. PRT harus bekerja memenuhi kewajiban namun juga harus memenuhi komitmen dalam tanggung jawab domestik rumah tangga, tapi rumah tangga majikannya. Waktu yang seharusnya digunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga dialokasikan untuk kepentingan keluarga majikan sebagai pengganti kurangnya committed time keluarga majikan yang juga keluarga pekerja.
Peraturan Menaker Nomor 2 Tahun 2015 juga mencantumkan hak berkomunikasi dengan keluarga. Pasal ini memperlihatkan dan juga (membenarkan) bahwa PRT hanya berhak berkomunikasi dengan keluarganya, yang menurut majikan dengan perspektif orang “kota”, adalah kerabat di kampung. Padahal definisi keluarga pun bisa kontekstual. Pertemanan di kota yang sama, sahabat dekat atau pacarnya, pun bisa dianggap sebagai keluarga. PRT punya hak berkomunikasi dengan siapa saja, dan bisa jadi bukan dengan keluarganya.
Yang ketiga, waktu yang dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan dan mandi, dengan tujuan memelihara kesehatan dari pekerja sendiri. Pun ini menjadi persoalan bagi PRT. Tidak sedikit PRT yang harus pintar-pintar mencari waktu untuk hanya makan, atau makan di dapur karena ada perasaan tidak enak di ruang makan majikan sebagai strategi penerimaan diri terhadap kelasnya terhadap kelas majikan.
Terakhir, waktu untuk diri sendiri yang tersisa untuk tetap waras menghadapi tekanan sosial serta menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan personal. Waktu bagi diri sendiri menjadi saat yang harus dicari-cari oleh PRT sendiri. Kurangnya waktu untuk diri sendiri dapat dilihat dari miskinnya waktu tidur PRT. Waktu tidur terkadang selalu berbanding lurus dengan fasilitas tidur itu sendiri: Jam tidur yang kurang dan kamar tidur yang sempit serta tempat tidur yang tak nyaman.
Media sosial dan aplikasi kencan: Salah satu solusi kemiskinan waktu
Ruang yang selalu terkungkung domestik dan waktu kerja yang tak terbatas adalah dua realitas kemiskinan waktu yang dialami oleh PRT, selain kemiskinan pendapatan dari upah yang umumnya di bawah standar minimum. Kesibukannya yang hanya di rumah dan di rumah membuat mereka tidak memiliki banyak relasi sosial kecuali memanfaatkan teknologi informasi. Di tengah-tengah kebosanan dan waktu luang, jika dulu pekerja rumah tangga menonton sinetron, mereka kini bermedia sosial dan menonton video dari telepon genggamnya.
Waktu bekerja PRT dari fajar hingga malam hari membuat mereka tidak memiliki pertemanan yang dibutuhkan pada usianya yang masih sangat belia. Di kala perempuan remaja dan dewasa kelas menengah perkotaan bisa berteman dengan siapa saja di dunia perkuliahan dan nongkrong di kafe untuk berkumpul, PRT harus merantau, bekerja mencari nafkah, dan mengirim uang kepada keluarganya di desa.
Menghadapi tekanan sosial sebagai pekerja rumah tangga juga tidak mudah. Tekanan sosial yang dialaminya berasal dari keluarga pekerja yang berbeda kelas dan jelas memiliki kuasa atas diri mereka. Salah satu strategi adaptasi bagi pekerja rumah tangga adalah dengan menjalin relasi soal yang bukan hanya berkomunikasi via udara, tapi bertemu tatap muka.
“Kurangi bekerja, perbanyak bercinta” seharusnya tidak hanya berlaku untuk pekerja formal atau lepas, tapi juga pekerja rumah tangga.
Misalnya dari cerita dua PRT yang saya jumpai di Bogor, Jawa Barat. Dewi, 19, adalah PRT yang memiliki waktu istirahat selepas makan siang, di sela-sela kesibukannya yang tak pernah henti sejak fajar hingga malam hari. Ia memanfaatkan fitur panggilan video di masa-masa senggang. Dewi menerima kontak video dari calon-calon pacarnya, yang dipertemukan dari aplikasi kencan bernama Tantan.
Dewi tidak mau sembarangan. Waktunya yang berharga membuatnya sangat selektif. Filter yang pertama bagi Dewi adalah laki-laki yang santun dalam bertutur kata baik dalam teks maupun di perkataan saat kontak telepon terjadi. Filter kedua adalah “nyambung” ketika berbicara dan santun ketika bertemu. Bagi filter yang kedua, Dewi rupanya sering “kecolongan”. Waktu lowongnya yang hanya malam Minggu dan digunakan untuk bertemu dengan pria pilihannya dari dating app ini, ternyata tidak membawa hasil menggembirakan. Namun Dewi tidak merasa gagal. Dia terus mencoba dan mencari pria terbaik pilihannya.
Pemanfaatan aplikasi ini juga dilakukan oleh Cici, 23, pekerja rumah tangga yang akhirnya berhasil bertemu dengan pujaan hatinya meskipun hanya bertemu enam bulan sekali sebab kekasihnya bekerja di Banjarmasin. “Toh saya juga sibuk” juga menjadi alasan mengapa hubungan jarak jauh tidak bermasalah baginya.
Ketika aplikasi kencan seperti Tinder dan Bumble marak sejak enam tahun terakhir bagi kaum remaja dan dewasa di Indonesia, aplikasi Tantan yang berbahasa Indonesia ternyata lebih ramah bagi pengguna dari kelas pekerja dan dimanfaatkan oleh Dewi dan Cici. Namun, apalah artinya teknologi jika tidak didukung oleh daya dukung sosial.
Bagi perempuan kelas menengah, berkencan kapan saja tidak menjadi masalah berarti, namun tidak bagi pekerja rumah tangga perempuan yang juga membutuhkan hubungan sosial di luar rumah majikannya. Untuk itu, saya jadi teringat poster bertuliskan “Kurangi Jam Kerja, Perbanyak Bercinta” dari lembaga Sindikasi pada peringatan Hari Buruh. Poster dari serikat pekerja media ini menjadi pengingat bahwa waktu sudah seharusnya juga digunakan memanusiakan manusia. Dan ini bukan hanya berlaku bagi pekerja formal, atau pekerja lepas, tapi juga pekerja rumah tangga.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments