Peringatan: Artikel ini mengandung sejumlah informasi yang bisa membuat kamu tidak nyaman. Jika tidak sedang dalam keadaan baik, kami menyarankan kamu untuk tidak melanjutkan membaca.
Pada suatu hari yang cerah tahun 2009, Adinda Amalia (bukan nama sebenarnya) dan pacarnya ditangkap setelah mereka tertangkap sedang menyuntikkan heroin di sebuah galeri penyuntikan informal––sebuah gedung terlantar di daerah kumuh Jakarta Selatan. Penangkapan tersebut menyusul penggerebekan polisi di daerah yang dikelilingi oleh perlengkapan narkotika bekas.
Pasangan itu dibawa ke kantor polisi setempat. Sementara pacarnya dipukuli dan disiksa di sel terpisah, Adinda ditutup matanya, dibius, dan diperkosa oleh petugas polisi selama empat hari.
Polisi meminta Rp95 juta (US$6.500) untuk mengakhiri penderitaannya dan membatalkan semua tuntutan––jumlah yang tak terduga untuk seseorang yang berpenghasilan di bawah garis kemiskinan di Indonesia.
Penelitian terbaru saya menunjukkan bahwa pengalaman serupa dengan pemerkosaan, penganiayaan fisik dan pemerasan pada Adinda di tangan petugas polisi merajalela di Indonesia.
Lebih buruk lagi, skema penegakan hukum narkotika di Indonesia, seperti tindakan keras aparat, penangkapan pengguna narkotika, proses penahanan, dan indikasi penyalahgunaan di luar proses hukum, menunjukkan hasil yang negatif bagi kesehatan perempuan, dan meningkatkan risiko mereka menderita overdosis narkotika.
Baca juga: Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Ambisi Menciptakan Dunia Bebas Narkotika
Perempuan, Narkotika, dan Kekerasan
Indonesia telah melarang keras penggunaan dan peredaran narkotika sejak tahun 1970-an melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika berikutnya, yang diadopsi pada tahun 2009, mengakui penggunaan narkotika sebagai masalah medis yang kompleks dengan memasukkan ketentuan untuk mengalihkan pengguna narkotika dari sistem peradilan pidana ke rehabilitasi narkotika.
Namun dalam praktiknya, aparat penegak hukum terus secara aktif menargetkan dan menjatuhkan sanksi penjara dan hak-hak sipil bagi orang-orang yang dicurigai atau tertangkap menggunakan zat psikoaktif.
Polisi memainkan peran sentral dalam penegakan UU Narkotika. Deklarasi “perang melawan narkotika” yang digaungkan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo sejak tahun 2015 justru mengakibatkan peningkatan penegakan hukum narkotika tingkat jalanan oleh aparat keamanan, termasuk penggerebekan polisi, penyisiran dan penumpasan, banyak penangkapan, dan laporan pelanggaran hukum.
Sekitar setengah dari 276.000 tahanan di Indonesia dipenjara karena pelanggaran terkait narkotika. Meski terdiri dari sebagian kecil dari total populasi penjara di Indonesia, perempuan dipenjara pada tingkat tahunan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Per Februari 2020, ada total 14.204 tahanan perempuan di Indonesia, dan lebih dari setengahnya dipenjara karena pelanggaran narkotika. Jumlah itu bisa bertambah dan membuat penjara semakin padat karena, menurut Badan Narkotika Nasional, sekitar satu juta perempuan di Indonesia menggunakan obat-obatan terlarang.
Meski perempuan lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan, memiliki, atau menjual narkotika dibandingkan dengan laki-laki, satu ringkasan kebijakan global menunjukkan bahwa mereka lebih mungkin menjadi sasaran polisi.
Menurut ringkasan kebijakan itu, perempuan cenderung mengalami perlakuan yang lebih keras daripada laki-laki, terutama penyalahgunaan yang melanggar hukum seperti pemerkosaan, kekerasan, pemerasan uang dan pemaksaan layanan seksual.
Studi saya didasarkan pada wawancara yang melibatkan 731 perempuan dari DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten antara September 2014 hingga Juni 2015. Respondennya adalah para perempuan yang pernah menggunakan narkotika suntik selama minimal 12 bulan sejak mereka disurvei.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari perempuan responden ditangkap setidaknya sekali dalam hidup mereka, terutama atas penggunaan narkotika dan kepemilikan untuk penggunaan pribadi.
Hampir 87 persen responden melaporkan bahwa mereka atau keluarga mereka mengalami pemerasan yang melibatkan uang dan layanan seksual dengan imbalan tuntutan pasal yang lebih rendah, rujukan ke pengobatan ketergantungan narkotika, atau pengurangan hukuman.
Mereka sering juga dipaksa untuk memberikan nama dan alamat rekan-rekan pengguna narkotika lainnya dengan imbalan pengurangan hukuman.
The Conversation Indonesia telah meminta dua juru bicara kepolisian Indonesia untuk menanggapi temuan penelitian, tapi mereka menolak berkomentar.
Baca juga: Merry Utami dan Kerentanan Perempuan dalam Kasus Narkotika
Risiko Kesehatan yang Lebih Besar
Perempuan pengguna narkotika sudah diperlakukan seperti warga negara kelas dua di Indonesia. Julukan yang dominan membingkai perempuan yang menggunakan narkotika biasanya adalah ibu dan istri yang buruk atau perempuan yang cacat moral.
Meski mereka menghadapi peningkatan risiko terkena human immunodeficiency virus (HIV) dan tingkat kematian yang lebih tinggi, mereka sulit mendapatkan akses ke layanan kesehatan.
Selain itu, bagi perempuan yang hidup dengan HIV, masuk penjara karena pelanggaran narkotika meningkatkan kemungkinan penghentian pengobatan antiretroviral sebesar 42,3 persen.
Temuan lainnya yakni perempuan yang memiliki riwayat penangkapan dan penahanan memiliki risiko lebih tinggi terkena HIV dan hepatitis C melalui berbagi jarum suntik yang tidak steril, dibandingkan dengan perempuan yang tidak pernah ditangkap atau dipenjara.
Lingkaran setan ini didorong oleh faktor-faktor seperti ketakutan ditangkap, penganiayaan dan kekerasan, yang dapat memaksa pengguna untuk berbagi jarum suntik bekas dan terlibat dalam suntikan berisiko tinggi yang terburu-buru.
Baca juga: Vonis Hukuman Mati Tak Hasilkan Efek Jera
Dekriminalisasi Narkotika
Para pembuat kebijakan Indonesia harus menghadapi fakta: kebijakan dan penegakkan hukum narkotika di negara ini memiliki konsekuensi merusak kesehatan dan melanggar hak-hak perempuan.
Pemerintah Indonesia harus mendekriminalisasi penggunaan dan kepemilikan narkotika untuk mengurangi dampak buruk dari kebijakan narkotika dan penegakan hukumannya.
Dekriminalisasi bukan lagi pilihan kebijakan kontroversial seperti yang terlihat satu dekade lalu.
Pada 2018, sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bergabung dengan banyak pembuat kebijakan dan sarjana di seluruh dunia dalam menyerukan dekriminalisasi kepemilikan narkotika untuk penggunaan pribadi dan menerapkan alternatif untuk penghukuman.
Setidaknya 30 negara (dan lebih dari 50 yurisdiksi lokal) telah menerapkan beberapa bentuk dekriminalisasi.
Thailand baru-baru ini menjadi negara Asia pertama yang mendekriminalisasi budidaya dan konsumsi ganja, dan membebaskan ribuan orang dari penjara karena pelanggaran narkotika.
Menghapus hukuman pidana untuk penggunaan narkotika dan pelanggaran terkait akan mengurangi intervensi polisi di area yang seharusnya memang berada di bawah naungan otoritas kesehatan.
Ini juga akan mengurangi kepadatan penjara dan membebaskan sumber daya bagi polisi untuk memerangi kejahatan serius. Bagi Kementerian Kesehatan, ini akan memperluas intervensi kesehatan yang efektif.
Secara paralel, pemerintah harus berinvestasi dalam program kesehatan dan sosial yang peka gender guna mengatasi akar penyebab penggunaan narkotika dan mendukung perempuan untuk mandiri secara ekonomi, serta memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang layak.
Bersama-sama, upaya tersebut dapat memastikan bahwa tanggapan yang efektif, berfokus pada kesehatan, dan berbasis bukti terhadap obat-obatan menjadi norma di Indonesia. Ini tidak hanya akan menguntungkan perempuan yang hidupnya melibatkan narkotika tapi juga keluarga dan komunitas mereka.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments