Women Lead Pendidikan Seks
August 02, 2018

Feminisme dalam Gerakan Emak-emak Militan

Apa yang berbeda dari Barisan Emak-Emak Militan dan Suara Ibu Peduli?

by Nadya Karima Melati, Kolumnis
Issues // Politics and Society
Share:

“Barang siapa tidak belajar dari sejarah akan mengulang peristiwa tersebut.” – Anonim

Kalimat tersebut barangkali menjadi pemantik dari sebuah buku berjudul The Idea of Historical Recurrence in Western Thought: From Antiquity to the Reformation, untuk memahami mengapa sesuatu yang pernah terjadi di sebuah masa bisa berulang kembali.

Penulisnya, sejarawan G. W. Trompf dari Universitas California, Berkeley, berusaha membaca ulang hipotesis sejarawan Yunani periode Helenistik, Polybius, yang berpendapat bahwa pengulangan sejarah terjadi karena pergerakan bintang-bintang dan bukan akibat dari sejarah manusia. Hasilnya, Trompf menawarkan ide bahwa kemiripan sejarah bisa dilihat sebagai proses pertukaran budaya yang tidak terikat waktu dan bergerak dalam konsep-konsep seperti siklus melingkar, naik-turun, saling timbal balik, maupun bangkit kembali.

Baru-baru ini, sejarah mengulang dirinya sendiri. Pada Rabu, 18 Juli 2018, sekelompok ibu-ibu yang menamakan dirinya Barisan Emak-emak Militan (BE2M) berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, memprotes pemerintah atas harga barang-barang pokok yang melambung. Mereka juga menyerukan agar Presiden Joko Widodo mengundurkan diri dari jabatannya, dengan beberapa memakai kaos bertuliskan #2019GantiPresiden.

Dua puluh tahun lalu, pada 1998, sekelompok ibu-ibu dan perempuan lainnya berkumpul dan berdemonstrasi dengan nama Suara Ibu Peduli (SIP). Dalam poster-poster SIP, mereka menuliskan retorika, “turunkan su.. su..” yang bermakna susu dan juga Soeharto. SIP menjadi pelopor demonstrasi yang memprotes pemerintah, dan mendorong Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.

Gerakan Perempuan Indonesia Hari Ini

Tidak dipungkiri, Aksi 212 pada akhir 2016, yang berhasil menjebloskan Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ke dalam bui, membuat banyak orang jadi mulai kembali peduli pada gerakan massa turun ke jalan. Sebelumnya, hanya mahasiswa dan buruh yang melakukan aksi demonstrasi sedangkan orang-orang pada umumnya ogah berdemo karena akan diprotes memperparah kondisi jalan Jakarta yang sehari-harinya memang sudah macet. Pada 2018 ini, sudah dua demonstrasi besar dengan massa di atas 200 orang atas nama kelompok perempuan yang tidak berasal dari buruh, aktivis maupun mahasiswa. Demonstrasi perempuan tersebut adalah Women’s March 2018 dan Barisan Emak-emak Militan tadi.

Walau dilakukan sama-sama tahun ini dan oleh perempuan, kedua demonstrasi perempuan ini sangat jauh berbeda. Women’s March Indonesia awalnya terinspirasi dari gerakan serupa di Amerika Serikat yang memprotes sikap misoginis Presiden Donald Trump yang tidak melihat perempuan dan minoritas seksual sebagai warga negara yang memiliki haknya.

Walau berembel-embel “Women’s”, demonstrasi di berbagai kota di Indonesia itu tidak hanya diikuti oleh perempuan dari berbagai latar belakang, dengan bermacam gaya pakaian, termasuk yang berjilbab. Sejumlah laki-laki, baik tua dan muda, tak terkecuali dari kelompok minoritas seksual, ikut andil dalam jalan bersama. Tuntutan mereka adalah penghapusan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan, akses hukum yang adil bagi perempuan korban kekerasan, hingga hak yang sama bagi para difabel dan minoritas seksual.

Sementara itu, BE2M didominasi oleh ibu-ibu yang mengenakan jilbab, beberapa membawa anak dan peralatan dapur seperti panci. Tuntutan mereka lebih mirip dengan SIP pada 1998 yakni meminta presiden bertanggung jawab menurunkan harga bahan kebutuhan harian dan tarif dasar listrik, serta menolak kenaikan harga LPG.

Baik Women’s March dan Suara Ibu Peduli, kedua-duanya mengakui bahwa mereka beridentitas feminis. Sedangkan BE2M mungkin menolak apabila disematkan identitas feminis dalam gerakannya, walaupun sama-sama menyuarakan pengalaman perempuan sebagai kelompok yang ditindas secara sistemik oleh negara.

Membandingkan SIP dan BE2M

Feminisme memberikan andil dalam sejarah politik di Indonesia dan Suara Ibu Peduli adalah contoh nyata bagaimana perempuan memulai gerakan massa, dan apa yang perempuan alami sebagai individual ternyata bersifat sistemik kepada sesama perempuan. Sebelumnya, Kongres Perempuan di Indonesia pada 22 Desember 1928 juga memperlihatkan bagaimana pengalaman perempuan di dunia domestik ternyata bersifat politis. Hal yang harus diperhatikan dalam gerakan perempuan adalah bagaimana perempuan-perempuan membangun kesadaran kolektif tentang pengalaman menjadi perempuan, dan kemudian menyuarakannya dalam politik praktis seperti gerakan massa atau advokasi kebijakan melalui Undang-undang.

Sebuah gerakan perempuan, karena dibangun dari kesadaran sebagai perempuan, berciri memihak kepada perempuan. Memihak kepada perempuan dimulai dari mengapresiasi diri bahwa dia, sebagai perempuan, berharga. Secara kasat mata, tuntutan dan strategi yang dilakukan SIP dan BE2M sangat mirip karena menggunakan retorika kenaikan harga untuk menurunkan presiden. Tapi, ada beberapa hal-hal yang membuat SIP sangat berbeda dengan BE2M. Menggunakan analisis gender, saya berpendapat bahwa B2EM bukan gerakan perempuan massa yang berlandaskan kesadaran.

Pertama, bisa dilihat dari bagaimana SIP menggunakan kata “Ibu” yang bermakna positif sedangkan BE2M menggunakan istilah “emak-emak” yang dipahami oleh warga internet bermakna peyoratif.

Kedua, istilah feminin yang digunakan oleh SIP sesungguhnya adalah untuk mengecoh rezim yang sangat represif terhadap segala bentuk demonstrasi. Pada saat itu, peserta demonstrasi SIP bahkan mengenakan seragam kantor untuk “menyaru” dan tidak dicurigai. Namun usai demonstrasi, tokoh penggerak demonstrasi tersebut, akademisi dan aktivis perempuan Karina Supelli dan Gadis Arivia langsung ditangkap dan dimasukkan penjara.

BE2M, sementara itu, sengaja mengedepankan identitas feminin lewat atribut peralatan dapur dan membawa anak. Tentu saja, tidak ada yang ditangkap setelah demonstrasi. Di sini, kita bisa melihat walaupun keduanya membawa identitas feminin mereka, motif keduanya amat berbeda karena karakter pemerintah yang berkuasa tidak sama.

Gerakan perempuan selalu dikenal dengan militansinya. Bagaimana ibu-ibu Kendeng rela dicor kakinya agar tambang semen di Rembang tidak jadi beroperasi. Aktivis Marsinah yang diculik, diperkosa, dan dibunuh setelah memimpin demonstrasi buruh. Pasukan Ibu-ibu yang menyuplai nasi bungkus untuk para demonstran pada 1998. Tak terkecuali Barisan Emak-Emak Militan.

Tapi alangkah baiknya gerakan perempuan yang menyuarakan pengalaman terhadap perempuan berasal dari kesadaran perempuan dan dilihat sebagai gerakan politik. Apa yang dialami perempuan adalah politis bukan sekedar masalah sosial-domestik. Dan sungguh disayangkan apabila militansi perempuan dalam berjuang digunakan sebagai senjata untuk menyuarakan kepentingan laki-laki guna menumbangkan musuh politik. Oleh karena itu, mungkin kutipan dari Hegel tentang peristiwa sejarah yang berulang bisa jadi benar: history for the first time as tragedy, the second time as farce.

Baca soal identitas perempuan dalam sejarah bangsa.

*Ilustrasi oleh Sarah Arifin

Nadya Karima Melati adalah aktivis/sejarawan feminis yang bermukim di Bonn, Jerman. Buku pertamanya adalah "Membicarakan Feminisme" (2019).