Women Lead Pendidikan Seks
November 24, 2022

Gempa Cianjur, Gempa Dangkal yang Lebih Destruktif

Mengapa gempa 5,6 skala richter di Cianjur bisa menyebabkan lebih darii 270 kematian dan merusak 22 ribu bangunan?

by Phil R. Cummins, dkk. Diterjemahkan Zalfa Imani Trijatna
Issues
Lingkungan Hidup_Environment
Share:

Pada tanggal 21 November 2022, gempa bumi di dekat kota Cianjur, Jawa Barat menyebabkan setidaknya 268 kematian dan merusak 22 ribu bangunan.

Dengan kekuatan 5,6 skala richter, gempa ini jauh lebih kecil daripada banyak gempa bumi lainnya yang telah menyebabkan kematian dan kehancuran di Indonesia selama beberapa dekade terakhir.

Mengapa gempa Cianjur sangatlah berbeda? Salah satu alasan utama yang membuat gempa bumi ini begitu merusak adalah kedalamannya yang dangkal, yaitu 10 km.

Peristiwa ini harus menjadi peringatan untuk meningkatkan praktik kontruksi bangunan di Indonesia, mengingat bencana dangkal yang jauh lebih besar dapat terjadi di Jawa kapan saja.

Baca juga: Perempuan Paling Rentan Bencana, Tapi Luput dari Kebijakan

Peran Kedalaman Gempa

Dua faktor terpenting yang menentukan intensitas guncangan tanah yang disebabkan oleh gempa bumi adalah kekuatan dan jaraknya.

Gempa bumi besar dengan kedalaman lebih dari 50 km dapat menyebabkan kerusakan yang meluas, tetapi intensitas guncangan berkurang karena gelombang seismik berjalan setidaknya 50 km sebelum mencapai ke permukaan hingga dapat dirasakan manusia.

Gempa bumi seperti ini jarang menimbulkan korban jiwa yang besar. Sebagai contoh, gempa Tasikmalaya yang berkekuatan 6,5 SR pada tahun 2017 terjadi pada kedalaman 90 km dan hanya menewaskan empat orang dan merusak 4.826 rumah.

Meskipun gempa Cianjur yang baru-baru ini terjadi jauh lebih kecil dari gempa Tasikmalaya – dengan kekuatan 5,6 skala Richter, energinya delapan kali lebih kecil, kerusakan yang dihasilkan jauh lebih besar.

Gempa Cianjur memiliki dampak yang lebih besar karena terjadi dalam jarak beberapa kilometer dari kota Cianjur, dengan guncangan yang dikategorikan “parah” – Skala 8 menurut menurut skala yang dibuat oleh seorang vulkanologis dari Italia yang bernama Giuseppe Mercalli.

Perbandingan serupa dapat dilakukan dengan gempa zona yang terjadi di lepas pantai. Meskipun ukurannya bisa jauh lebih besar daripada gempa Cianjur, gempa jenis ini umumnya berjarak 100 km atau lebih dari pusat populasi, sehingga menyebabkan lebih sedikit korban jiwa akibat keruntuhan bangunan.

Baca juga: Perempuan Lebih Rentan Jadi Korban Bencana Alam, Ini Solusinya

Bahaya yang Jarang Terjadi

Selain itu, gempa bumi dangkal di daratan dapat menjadi begitu dahsyat karena jarang terjadi, khususnya di Jawa. Ini menyebabkan kebanyakan orang tidak menyadari bahayanya.

Populasi Pulau Jawa meningkat empat kali lebih besar selama abad ke-20. Selama ini, hanya ada satu gempa dangkal yang terjadi, yaitu pada tahun 1924 yang menyebabkan hampir 800 kematian, dan empat gempa lainnya menyebabkan korban jiwa sebanyak 10 hingga 100.

Kemudian pada tahun 2006, gempa bumi Yogyakarta dengan kekuatan 6,3 skala Richter terjadi. Peristiwa yang luar biasa ini menewaskan hingga 5.749 orang.

Selama beberapa generasi, gempa bumi besar belum pernah terjadi di daerah lain di Pulau Jawa.

Karena hal ini, tidak banyak perhatian yang diberikan terkait konstruksi bangunan, sehingga banyak bangunan lemah akan runtuh ketika gempa terjadi.

Masa Kolonial yang Sangat Berbeda

Sejarah gempa bumi di Jawa pada masa kolonial melukiskan gambaran yang sangat berbeda. Studi terbaru kami menunjukkan banyak gempa bumi yang menimbulkan kerusakan telah terjadi di Jawa sejak abad ke-17. Setidaknya sembilan gempa bumi sejak tahun 1865 telah menyebabkan guncangan yang begitu parah sehingga hampir pasti merupakan peristiwa gempa yang dangkal.

Ini termasuk dua gempa bumi di dekat Wonosobo di Jawa Tengah pada tahun 1924 yang menjadi penyebab bencana tanah longsor yang menewaskan hampir 900 orang.

Sebuah foto sepia yang menunjukkan bangunan kecil yang runtuh sepenuhnya
Kerusakan akibat gempa di Cianjur, Jawa Barat, pada Maret 1879. Leiden University Libraries Digital Collections, CC BY

Dalam penelitian terbaru kami, kami juga mendokumentasikan getaran yang sangat ekstrem yang disebabkan oleh gempa pada 25 Oktober 1875 di dekat Kuningan, Jawa Barat. Seorang saksi mata menggambarkan dirinya terlempar dari kursi dan melihat sekawanan sapi terlempar dari tanah.

Gempa bumi yang menyebabkan kerusakan juga pernah terjadi di Cirebon pada tanggal 16 November 1847. Peristiwa ini diperkirakan menyebabkan aliran sungai setinggi 5 meter karena kekuatannya yang mencapai 7 skala Richter atau bahkan lebih besar.

Cianjur, lokasi gempa minggu ini, telah mengalami setidaknya satu gempa bumi yang menyebabkan kerusakan hebat, yaitu pada 28 Maret 1879, yang menyebabkan runtuhnya beberapa bangunan dengan korban jiwa.

Retakan dan Sambungan di Kerak Bumi Jawa

Ahli geologi sangat memahami bahwa gempa bumi adalah fakta kehidupan di Pulau Jawa. Selama dua dekade terakhir, para ahli geologi telah mengidentifikasi banyak retakan atau sambungan di kerak bumi di Jawa yang cenderung aktif, tetapi hanya segelintir yang telah dipelajari secara detail.

Patahan Lembang di pinggiran Bandung, kota terbesar keempat di Indonesia (dengan populasi 8,8 juta, yang lokasinya berlawanan dengan Cianjur 170.000), adalah salah satu dari sedikit bukti geologis dari aktivitas gempa prasejarah yang telah ditetapkan. Patahan ini diperkirakan mampu menghasilkan gempa berkekuatan 6,5–7,0 skala Richter setiap 170–670 tahun.

Selain Yogyakarta, patahan aktif lainnya diketahui mengancam kota Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Ini tidak menutup kemungkinan bahwa patahan lain juga mengancam daerah-daerah lain di luar ketiga kota tersebut.

Baca juga: 4 Tantangan Bagi Perempuan Saat Banjir dan Mengungsi

Bersiap-siap untuk Gempa Berikutnya

Gempa dangkal yang jauh lebih besar dari gempa Cianjur dapat terjadi di kota-kota yang jauh lebih besar dari Cianjur. Apa yang dapat dilakukan Indonesia untuk menghindari kematian massal akibat peristiwa seperti itu?

Jawaban tipikalnya adalah memperbaiki – dan menegakkan – aturan bangunan yang akan memaksa setiap konstruksi baru menjadi lebih tahan gempa.

Indonesia memang memiliki kode bangunan berdasarkan peta bahaya seismik modern, tetapi hanya berlaku untuk bangunan delapan lantai atau lebih tinggi. Mengingat tingkat kemiskinan yang tinggi di Indonesia, penegakan aturan bangunan secara universal dianggap tidak praktis.

Sebagai alternatif, Indonesia mungkin dapat mengadopsi standar minimum yang sederhana untuk kekuatan beton, kualitas struktur, dan aspek lain dari praktik bangunan yang mungkin tidak sesuai dengan kode bangunan, tetapi setidaknya dapat memberikan tingkat perlindungan yang lebih tinggi daripada praktik yang diterapkan saat ini.

Setiap perubahan dalam praktik bangunan memerlukan perubahan budaya. Artinya, masyarakat harus menaruh harapan lebih pada tenaga konstruksi bangungan, dan bersedia membayar untuk membayar jasa mereka.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Phil R. Cummins, Professor, Australian National University; Mudrik Rahmawan Daryono, Senior research scientist, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), and Stacey Servito Martin, PhD Candidate, Earth Sciences, Australian National University. Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris..