Keikutsertaan anak-anak muda dalam gerakan politik semakin terlihat di berbagai negara beberapa tahun terakhir ini. Di Hong Kong, Thailand, Indonesia, serta Myanmar belakangan ini, gerakan tersebut melanjutkan tradisi anak muda sebagai kekuatan politik penting.
Dalam sejarah panjangnya, gerakan anak muda memiliki berbagai potensi dan tantangan yang khas. Gerakan mahasiswa – salah satu jenis gerakan anak muda – misalnya, memiliki potensi sebagai kekuatan yang relatif lebih mudah memobilisasi diri.
Namun, gerakan anak muda juga memiliki kesulitan untuk menghilangkan mitos sebagai kekuatan moral dan melembagakan gerakan mereka pasca-mobilisasi di jalanan.
Mobilisasi Gerakan Mahasiswa
Jumlah mereka yang banyak dan berdekatan, serta relatif memiliki waktu luang lebih banyak menjadi keuntungan bagi anak muda.
Gerakan anak muda seperti yang dilakukan mahasiswa cenderung mudah untuk memobilisasi diri. Kedekatan geografis mempermudah mereka untuk saling berkomunikasi dan merencanakan sebuah aksi.
Di kota-kota yang memiliki kampus-kampus yang letaknya berdekatan, mobilisasi cenderung lebih mudah dilakukan. Misalnya, gerakan mahasiswa Thailand 1973 akan sulit terjadi tanpa konsentrasi kampus-kampus yang berada di Bangkok.
Antara 6 hingga 15 Oktober 1973, gerakan mahasiswa Thailand di bawah koordinasi The National Student Center of Thailand (NSCT) berhasil menumpahkan ratusan ribu mahasiswa ke jalan. Gerakan mahasiswa tersebut mendesak pembebasan 13 rekan aktivis mereka sekaligus amandemen konstitusi yang dianggap hanya melanggengkan rezim junta militer di bawah pimpinan Jenderal Thanom Kittikachorn.
Awal gerakan mahasiswa Cina tahun 1989 juga bermula dari mobilisasi oleh mahasiswa yang tinggal bersama di asrama seperti di Universitas Beijing. Mereka juga terbantu oleh konsentrasi sekitar 67 universitas yang berada di Beijing yang memudahkan komunikasi dan mobilisasi mahasiswa di tahun 1989.
Mahasiswa juga cenderung memiliki banyak waktu luang. Dalam waktu senggangnya, mahasiswa dapat mendiskusikan isu-isu sosial politik terkini yang pada akhirnya menumbuhkan kesadaran kritis dan politis. Hal ini menjadikan mereka sebagai kelompok yang mudah tertarik ke dalam agitasi untuk merencanakan aksi kolektif.
Baca juga: Membaca Tren Pemakaian Humor dalam Poster Demonstrasi Mahasiswa
Untuk memanfaatkan waktu luang, peran kelompok-kelompok formal dan informal di dalam kampus adalah penting. Kelompok-kelompok ini merupakan wahana mengisi waktu luang dengan beragam corak ideologinya dan pengetahuan yang ditawarkan.
Protes mahasiswa Myanmar tahun 1988 sulit terjadi tanpa peranan kelompok diskusi yang mulai aktif di Yangon sejak tahun 1984. Kelompok diskusi ini rutin bertemu membicarakan buku sastra dan sejarah yang dilarang oleh rezim.
Sebelum gerakan mahasiswa Indonesia 1998 turun ke jalan, kelompok-kelompok diskusi di kampus juga menjadi kendaraan bagi mahasiswa belajar teori-teori sosial kritis sekaligus ruang untuk membedah perilaku rezim otoriter Orde Baru. Unit kegiatan pers kampus juga memiliki peranan besar menjadi tempat belajar bersama perkembangan sosial politik di bawah Orde Baru.
Tantangan Gerakan Mahasiswa
Salah satu tantangan bagi gerakan mahasiswa adalah hasrat menjadi gerakan moral. Konsep gerakan moral menyatakan bahwa mahasiswa ingin bersih dari kepentingan politik dan menjaga kemurnian gerakan dengan menolak beraliansi dengan kelompok sosial lain.
Keinginan ini adalah ilusi karena mahasiswa tidak mampu mendorong perubahan sendirian.
Esensi dari gerakan sosial adalah aksi kolektif yang kerap muncul dari kegelisahan dan amarah banyak kelompok dengan berbagai latar belakang. Berusaha menjaga suatu gerakan tetap eksklusif justru akan mengurangi kekuatan fundamental gerakan sosial yaitu jumlah.
Gerakan mahasiswa di Indonesia kerap mendengungkan posisi sebagai gerakan moral. Protes mahasiswa di tahun 1965-66 memulai tradisi gerakan anak muda sebagai gerakan moral. Keyakinan ini bertahan hingga 1998.
Mengubur mitos gerakan moral adalah langkah pertama dalam membangun gerakan yang memiliki potensi lebih besar menghasilkan dampak bermakna.
Baca juga: Demonstrasi, Kecemasan Orang Tua, dan Pelajaran untuk Melepaskan
Tantangan lain dari gerakan mahasiswa adalah kesulitan untuk melakukan institusionalisasi gerakan pasca mobilisasi di jalan. Gerakan mahasiswa jarang ikut – secara sistematis – dalam membangun rezim baru karena ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan gerakan dalam jangka panjang.
Kelemahan ini lumrah terjadi karena status mahasiswa adalah sementara. Lemahnya institusionalisasi gerakan ini mengakibatkan lemahnya kendali mereka terhadap agenda perubahan yang awalnya diusung.
Sesudah presiden B.J. Habibie dilantik begitu Soeharto lengser misalnya, upaya sistematis mengubah protes di jalanan menjadi gerakan politik hanya berhasil dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Keduanya menjadi basis sosial bagi berdirinya Partai Keadilan dan PRD yang mengikuti Pemilu 1999. Tapi, keduanya tidak terlalu berhasil mengontrol arah reformasi karena perolehan yang minim dalam pemilu. PRD bahkan tidak berhasil mendapatkan satu kursi pun di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1999.
Belajar dari Gerakan Anak Muda di Mesir
Kendati demikian, tidak semua gerakan yang dimotori anak muda berakhir dengan kegagalan pelembagaan gerakan. Pengalaman Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) di Mesir mengajarkan bahwa ada peluang bagi gerakan yang dimotori anak muda untuk merebut kekuasaan.
Meski demikian, perlu kita catat bahwa Ikhwanul Muslimin telah membangun basis pergerakannya selama berpuluh-puluh tahun sebelum sampai pada puncaknya memenangi pemilihan umum pada 2012 dengan menggunakan Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and Justice Party).
Perlu diingat pula bahwa merebut kekuasaan tidak berarti suatu gerakan kemudian mampu mewujudkan seluruh agendanya. Satu tahun setelah presiden Mohamed Morsi merebut kursi presiden dengan dukungan Ikhwanul Muslimin, ia berusaha mengubah Konstitusi Mesir dan memberi lebih banyak kekuasaan kepada dirinya. Langkah tersebut memicu protes besar dari kelompok sekuler yang kemudian dimanfaatkan oleh militer untuk melakukan kudeta.
Tenaga dan waktu yang anak muda miliki untuk bergerak jelas menjadi keuntungan bagi mereka. Tapi, kedua hal tersebut tidaklah cukup. Kemampuan mobilisasi semata tanpa kemampuan untuk melembagakan gerakan tidak akan memiliki dampak yang lebih jauh selain menggoyang dan menurunkan sebuah rezim.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments