Dalam iklim patriarki yang kuat di Indonesia, pemenuhan hak-hak untuk pekerja perempuan yang hamil dianggap sebagai keistimewaan, bahkan tidak sedikit yang menganggap sebagai bentuk ketidakadilan. Kondisi ini sangat menyedihkan dan menunjukkan betapa munafiknya tatanan sosial patriarki. Di satu sisi perempuan ‘dituntut’ untuk hamil, namun di sisi lain tidak ada – atau tidak mau ada - kesadaran pemahaman bahwa perempuan hamil memerlukan adaptasi yang berbeda dalam lingkungannya, terutama lingkungan pekerjaan.
Pemberian cuti melahirkan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap sudah sangat mencukupi, dan pemberian cuti ini pun, meski sudah diatur dalam undang-undang, tidak dipatuhi oleh semua perusahaan atau pihak yang mempekerjakan. Tidak jarang kita mendapati kasus di mana pekerja perempuan, terutama pekerja kontrak, dihadapkan pada pilihan antara cuti melahirkan dan kontrak selesai, atau kontrak dilanjutkan tetapi tidak ada cuti melahirkan (biasanya diambil dari cuti tahunan sehingga pekerja perempuan kehilangan cuti tahunannya). Selain itu, meskipun waktu cuti sudah diatur juga dalam UU tersebut, tetap saja ada yang memberi cuti hanya 40 hari, padahal proses pemulihan perempuan yang melahirkan itu cukup panjang, baik untuk pemulihan fisik maupun psikologis.
Setidaknya ada beberapa hak pekerja perempuan hamil yang seharusnya dipahami oleh perusahaan, yaitu hak untuk beristirahat, hak untuk menggunakan toilet lebih dari biasanya, hak untuk cuti apabila kondisi fisik mulai buruk, dan hak untuk tidak mendapatkan stigma.
Hak untuk beristirahat, untuk minum, menggunakan toilet dan cuti apabila kondisi fisik dirasa tidak memungkinkan untuk bekerja, berkaitan erat dengan perubahan kondisi fisik seorang perempuan yang sedang hamil. Tubuhnya akan lebih cepat lelah, mengalami mual-mual atau morning sickness, ketidaknyamanan akibat hormon, dan sebagainya, termasuk kondisi-kondisi sampingan yang berpotensi menyebabkan keguguran.
Bagi perempuan pekerja yang tidak memiliki cukup akses untuk memenuhi kebutuhan asupan hariannya atau tidak memiliki akses untuk memeriksakan kandungannya secara berkala karena faktor ekonomi, hak ini seharusnya lebih mendapat perhatian dan menjadi prioritas. Namun yang terjadi, pada pekerja perempuan yang posisi pekerjaannya dianggap tidak strategis oleh perusahaan, hak-hak ini tergerus dengan sadis. Pekerja dianggap tidak lebih sebagai robot yang tidak berhak mendapat istirahat lebih, meski kondisi fisiknya menuntut itu dan pekerja itu pun tidak memiliki uang cukup untuk membeli vitamin, buah, dan makanan bergizi karena perusahaan menggajinya amat sedikit.
Saya menemukan beberapa keadaan yang timpang di beberapa perusahaan. Pekerja perempuan yang memilik posisi strategis atau penentu kebijakan mendapat hak-hak ini dengan lebih mudah, disertai dengan tunjangan-tunjangan dari perusahaan untuk kesehatannya. Kondisi lebih parah ditemui pada pekerja-pekerja perusahaan yang menetapkan target harian, seperti buruh pabrik. Jangankan untuk istirahat lebih, untuk minum pun sulit, padahal menjaga tubuh agar tidak dehidrasi adalah hal yang krusial bagi perempuan hamil. Lalu di tempat kerja yang mengharuskan pekerjanya berdiri terus menerus selama jam kerja dan menggunakan sepatu yang tidak nyaman. Tempat kerja memperlakukan orang berbeda sesuai dengan kewajiban masing-masing orang dalam posisinya, tetapi ada hak-hak yang harusnya tetap melekat apa pun posisi orang tersebut dalam perusahaan.
Hak untuk tidak mendapat stigma adalah fragmen lain yang jauh lebih berat untuk ditegakkan dalam perusahaan, terutama karena peraturan di negara ini pun menstigma perempuan hamil yang tidak memiliki pasangan. Cuti hamil dan melahirkan yang dimaksud dalam undang-undang adalah yang legal, menurut penjelasan Hukum Perburuhan Bidang Hukuman Kerja yang ditulis oleh Prof. Imam Soepomo, SH. Akibatnya, pekerja perempuan yang mengalami kehamilan yang dianggap tidak legal oleh negara, yaitu kehamilan di luar perkawinan, maka ia tidak berhak mendapat cuti hamil dan tidak jarang karena atas nama moralitas, suatu perusahaan memilih untuk memberhentikan karyawannya.
Perusahaan mana yang mau rugi, begitulah argumen yang muncul setiap kali dihadapkan pada kewajiban untuk memenuhi hak-hak pekerja yang hamil, padahal menempatkan keuntungan di atas hak-hak manusia adalah salah. Cuti melahirkan adalah hal ‘termudah’ yang bisa diberikan oleh perusahaan meskipun dalam pelaksanaannya masih banyak perusahaan yang tidak memberi cuti tersebut secara adil. Sedangkan untuk hak-hak lainnya dibutuhkan kemauan untuk memahami pemenuhan hak asasi manusia ini.
Mia Olivia adalah seorang ibu, bekerja di Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
Comments