Women Lead Pendidikan Seks
April 13, 2022

Bagaimana Perusahaan Pakai COVID Sebagai Alat Pemasaran: Konsumen Harus Waspada

Bukan cuma konsumen, risiko dari menempelkan masalah sosial ke kampanye iklan juga bahaya buat perusahaan dan isu sosialnya sendiri.

by Maha Rafi Atal dan Lisa Ann Richey
Issues
Share:

Pada awal pandemi, konsumen dibombardir dengan bentuk iklan baru yang tampak dibentuk dengan tergesa-gesa. Pada periode yang penuh ketidakpastian tersebut, pelanggan dijanjikan bahwa mereka dapat mengandalkan merek favorit mereka untuk melewati masa sulit COVID-19.

Iklan-iklan itu, yang kerap menampilkan musik piano bernuansa sedih dengan narasi-narasi bahwa kita semua “menjalani ini bersama-sama”, ada di mana-mana.

Penelitian kami mengungkap taktik di balik teknik iklan ini, dan mengapa konsumen harus waspada terhadap strategi pemasaran di masa krisis.

Ketika COVID baru muncul, banyak orang merasa bingung bagaimana menghadapinya. Pemerintah pun terkesan tidak yakin tentang bagaimana meresponsnya.

Lalu datanglah iklan yang berusaha membingkai pandemi dengan cara yang membuat suatu perusahaan – dan tentu produk mereka – menjadi bagian penting dari solusi.

Kami menemukan bahwa selama pertengahan Maret - akhir April 2020, perusahaan menggunakan media iklan untuk menyampaikan tiga jenis cerita utama tentang COVID.

Beberapa perusahaan, seperti korporasi ekspedisi global Maersk, menekankan dampak pandemi terhadap rantai pasokan global. Iklan kemudian ditampilkan untuk menunjukkan peran perusahaan dalam membantu memindahkan peralatan medis penting ke tempat yang tepat.

Baca juga: 8 Iklan Lokal dengan Isu Gender dan Kecantikan yang Beda

Pemasaran semacam ini mendefinisikan COVID sebagai krisis logistik – suatu masalah yang seakan mudah diselesaikan oleh manajer perusahaan yang punya keahlian dalam rantai pasok.

Perusahaan lainnya, terutama perusahaan barang konsumsi (consumer goods) ternama seperti Starbucks, menekankan sisi finansial dari krisis tersebut. Mereka pun menunjukkan peran dalam menyumbangkan makanan atau uang kepada pihak-pihak yang membutuhkannya dalam waktu singkat.

Pemasaran semacam ini mendefinisikan COVID sebagai krisis modal. Jika masalahnya adalah ketidakcukupan uang, maka perusahaan kaya dapat menjadi pahlawan dengan menyediakan dana secara cepat.

Lalu ada perusahaan lain, terutama yang bergerak di industri fesyen dan merek-merek mewah, berfokus pada dampak emosional dari pandemi. Iklan perusahaan jenis ini rata-rata menunjukkan bahwa produk mereka dapat membantu masyarakat melewati pandemi dengan cara yang lebih mudah dan bahkan menyenangkan.

Iklan-iklan ini beranggapan bahwa konsumsi pribadi Anda – berbelanja di masa lockdown – bisa menjadi suatu aktivitas kemanusiaan. Anda dianggap hadir sebagai pembeli yang bersyukur dan tetap berjuang, atau pembelian barang sebagai cara untuk tetap merawat diri sendiri.

Namun, ada risiko yang melekat pada pesan-pesan ini. Tidak semuanya berhasil dengan baik. Beberapa iklan tampaknya tidak menyadari masalah sosial yang lebih luas, sehingga membuat krisis ini sangat menantang bagi sebagian orang.

Iklan fesyen yang menarget perempuan yang menggambarkan pandemi sebagai semacam masa untuk staycation (liburan di rumah atau apartemen), misalnya, hadir bersamaan dengan berbagai laporan berita tentang perempuan-perempuan lain yang harus meninggalkan pekerjaan karena beban berat rumah tangga dan mengasuh anak di tengah pandemi.

Ada juga iklan rokok elektrik yang mendorong konsumen untuk vaping “demi kesehatan Anda”. Iklan ini mendapatkan kritik tajam saat rumah sakit dipenuhi pasien COVID yang menggunakan ventilator.

Beberapa perusahaan bahkan memprovokasi konsumen dengan mengolok-olok betapa parahnya pandemi.

Misalnya, sebuah resor ski Italia yang mengundang pelancong untuk “menjajaki pengalaman segar di gunung dengan paru-paru sehat” di tempat “di mana kesenangan itu menular”.

Padahal di suatu bagian bumi lain, perusahaan media sosial berjuang untuk membasmi misinformasi dari “kreator” dan “influencer” yang disewa merek kesehatan untuk mempromosikan produk yang belum teruji sebagai obat COVID-19.

Bahkan iklan-iklan yang menanggapi pandemi secara serius tetap harus sangat hati-hati.

Ketika Inggris menerapkan lockdown (karantina wilayah) pertamanya, merek pembersih Dettol sempat viral (secara tidak baik) ketika mereka mendorong pekerja untuk kembali ke kantor. Beberapa konsumen menghubungkan iklan tersebut dengan iklan layanan masyarakat pemerintah yang mempromosikan belanja sebagai cara untuk meningkatkan perekonomian.

Kesalahpahaman ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah, karena Dettol memang mitra perusahaan pemerintah Inggris untuk sanitasi transportasi umum. Beberapa merek dalam penelitian kami memang menyatakan bahwa salah satu manfaat dari krisis ini adalah kesempatan bagi mereka untuk bermitra dengan pemerintah.

Sementara itu, iklan-iklan lain yang mendorong konsumen untuk berbelanja untuk “membantu” membangun kembali ekonomi (termasuk dunia industri), semakin meningkat.

Iklan yang membahas masalah sosial adalah hal yang biasa, tidak hanya saat COVID. Konsumen kerap diarahkan untuk melihat korporasi sebagai solusi atas segala hal, mulai dari kemiskinan hingga perubahan iklim.

Baca juga: Belajar dari Kasus Stella: UU ITE Ancam Perlindungan Konsumen

Menjadi Konsumen yang Punya Kesadaran

Penelitian kami menunjukkan iklan semacam itu sering dirancang untuk memengaruhi cara masyarakat memahami masalah sosial, dan mendorong orang untuk memikirkan konsumsi etis sebagai salah satu solusi.

Studi lain pun menjelaskan bagaimana pemasaran yang dibingkai sebagai suatu niat baik dapat “menciptakan kesan ‘memberi’”–padahal tidak juga. Energi konsumen justru berisiko teralihkan dari upaya atau kampanye perubahan yang lebih radikal. Sebab, konsumen dibuat percaya bahwa mereka telah berkontribusi melalui pembelian yang “etis”.

Salah satu contoh yang umum adalah ketika perusahaan mengatakan dengan bangga bahwa persentase tertentu dari hasil penjualan produk digunakan untuk tujuan sosial. Jumlah yang disumbangkan seringkali kecil. Sedangkan pendapatan yang diambil perusahaan cukup besar.

Penulis lain telah mengatakan: “Jika kita bersikeras bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengatasi masalah sosial secara efektif, kita akan membuat dunia ini disetir oleh pola konsumsi yang impulsif”.

Baca juga: Menjadi Konsumen yang Berdaya

Risiko dari menempelkan masalah sosial ke kampanye iklan cukup besar – bagi perusahaan, konsumen, maupun isu sosial tersebut.

Penelitian kami menunjukkan bahwa ada saat-saat tertentu yang kurang tepat untuk beriklan. Kita harus waspada terhadap merek yang menawarkan kebaikan.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Maha Rafi Atal is a Lecturer in Global Economy, School of Social and Political Sciences, University of Glasgow, University of Glasgow and Lisa Ann Richey is a Professor of Globalization, Copenhagen Business School