Women Lead Pendidikan Seks
February 01, 2019

Indonesia Perlu Belajar dari Kemenangan Telak Perempuan dalam Politik Amerika

Salah satu kunci kemenangan para politikus perempuan di AS, terutama pada Partai Demokrat, adalah meningkatnya jumlah pemilih perempuan.

by Ratri Istania
Issues // Politics and Society
Share:

Pelantikan anggota Kongres Amerika Serikat (AS) hasil pemilu paruh waktu awal Januari lalu mencatat sejarah baru dalam politik Amerika karena banyaknya perempuan yang terpilih sebagai anggota Kongres.
 
Pemilihan umum paruh waktu, atau yang dikenal dengan sebutan midterm election, diselenggarakan setiap tahun genap di tengah-tengah masa kepemimpinan seorang presiden AS untuk memilih anggota Kongres dan jabatan politik lainnya selain presiden. Pemilu tersebut dilaksanakan untuk mengakomodasi perubahan politik dan keinginan para pemilih.
 
Menariknya, setelah lebih dari satu abad politikus perempuan AS memasuki Kongres sejak 1916, baru kali ini mereka menguasai 24 persen dari total 441 anggota legislatif. Sebagai perbandingan, persentase perempuan di Kongres  hanya kurang dari 20 persen sebelum 2018.
 
Dalam pemilu paruh waktu terakhir ini, 102 politikus perempuan terpilih. Jumlah ini sangat besar. Keanggotaan perempuan di kursi legislatif dari Partai Demokrat dan Republik biasanya hanya berkisar di angka 70-80 kursi saja.
Penelitian dari Center for American Women and Politics dari Rutgers University  menggambarkan bahwa keikutsertaan politikus perempuan sebagai kandidat anggota legislatif dalam pemilu yang lalu telah memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah politik Amerika. Rekor tersebut dipecahkan oleh kandidat Partai Demokrat yang mengalami kenaikan drastis dari 120 orang pada 2016 menjadi 182 orang pada 2018.
 
Mewakili ragam identitas, sederet tokoh perempuan dari kaum minoritas mencalonkan diri dan menang telak melawan dominasi politikus yang mayoritas adalah laki-laki, berkulit putih dan beragama Protestan. Mereka adalah Rashida Tlaib dan Ilhan Omar, yaitu politikus perempuan kulit berwarna dan Muslim pertama di kongres. Ada juga Sharice Davids dan Deb Haaland, politikus perempuan dari suku asli Indian Amerika. Belum lagi figur pemberani seperti Alexandria Ocasio-Cortez, mewakili warga keturunan Hispanik, dan Ayanna Pressley yang mewakili warga kulit hitam.




 
Salah satu kunci kemenangan mereka, terutama pada Partai Demokrat, adalah meningkatnya jumlah pemilih perempuan. Estimasi dari League of Women Voters   menunjukkan jumlah pemilih perempuan meningkat sebanyak 1 juta suara pada 2018, menjadi 60 persen dari jumlah total suara dari yang biasanya tidak lebih dari 50%.
Meningkatnya jumlah pemilih perempuan merupakan respons kekecewaan terhadap pemerintahan Donald Trump yang sering melakukan diskriminasi berdasarkan gender, ras, dan agama. Sadar atas kondisi ini, perempuan AS tidak bersikap diam. Mereka turun ke jalan, mengorganisasikan diri, masuk ke kancah politik guna melawan rezim penguasa.
Meningkatnya jumlah politikus perempuan memenangkan kursi DPR dari 20 persen di tahun 2018 ke 23,4 persen pada 2019 mengirimkan sinyal keras penolakan mereka terhadap segala macam bentuk diskriminasi dan politik memecah-belah Trump.
 
Melihat sedemikian kuatnya partisipasi politik perempuan di pemilu paruh waktu AS, adakah pelajaran bagi peningkatan peran perempuan dalam politik Indonesia?
 
Perempuan di politik Indonesia
 
Pelajaran terpenting pemilu paruh waktu AS adalah bagaimana perempuan dapat menjadi penggerak politik nasional.
 
Di Indonesia, berdasarkan hasil rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), jumlah pemilih perempuan Indonesia untuk pemilihan umum April nanti lebih banyak dari pria. Dari total 187 juta pemilih, ada 92,9 juta pemilih perempuan, sedangkan jumlah pemilih laki-laki adalah 92,8 juta.
 
Besarnya angka calon pemilih perempuan dapat menjadi faktor yang menentukan arah politik Indonesia ke depan. Sayangnya, kelebihan jumlah pemilih perempuan belum tentu berkontribusi positif terhadap kemenangan politikus perempuan dalam pemilihan legislatif mendatang.
 
Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018 menunjukkan iklim patriarkal dalam perpolitikan Indonesia menghambat kesempatan mereka untuk menang.
 
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, partisipasi politik perempuan secara keseluruhan masih kurang. Pada Pilkada 2017, hanya ada 48 kandidat perempuan dari 670 kandidat (7,17 persen). Pada pilkada 2018, jumlah kandidat perempuan mengalami sedikit kenaikan menjadi 101 orang dari keseluruhan 1.140 orang (8,85 persen).
 

Perempuan Indonesia dapat belajar bagaimana naluri politik perempuan AS teraktivasi untuk merespons diskriminasi di sekitar mereka dengan menggunakan wadah politik. Perempuan Indonesia harus sadar bahwa mereka sudah ditarik ke dalam pusaran politik yang memecah belah antara kedua kubu pasangan calon presiden.


Ada beberapa pembelajaran yang bisa kita catat dari keberhasilan perempuan dalam politik di AS. Pertama, perempuan Indonesia dapat belajar bagaimana naluri politik perempuan AS teraktivasi untuk merespons diskriminasi di sekitar mereka dengan menggunakan wadah politik. Perempuan Indonesia harus sadar bahwa mereka sudah ditarik ke dalam pusaran politik yang memecah belah antara kedua kubu pasangan calon presiden. Belajar dari AS, perempuan seharusnya mampu mengolah energi negatif yang ada menjadi positif.
 
Kedua, perempuan Indonesia harus terlibat aktif dalam sistem perekrutan kandidat politik, pendanaan kampanye, sampai proses pemilihan. Peneliti perempuan dan politik asal AS, Richard Matland mengatakan, penyebab rendahnya partisipasi politik perempuan adalah hambatan akses perempuan dalam proses politik misalnya mekanisme perekrutan kandidat. Untuk kasus Indonesia, kehadiran organisasi semacam Kaukus Perempuan Politik Indonesia, yang terafiliasi dengan Emily’s List, organisasi yang mewadahi aktivitas politik perempuan Amerika Serikat, perlu terus didorong. Dari kemitraan ini diharapkan pemenuhan kuota 30 persen perempuan dalam kursi legislatif tidak hanya sekadar berhenti sampai pencalonan saja.
 
Terakhir, peneliti politik dan perempuan asal AS, Jeniffer L. Lawless dan Richard Fox, mengatakan bahwa salah satu pendorong perempuan berpolitik adalah dukungan keluarga dan orang tua, terutama ibu. Peran seorang ibu dianggap penting dalam menumbuhkan ambisi berpolitik dari sejak kecil. Dalam penelitian Lawless dan Fox, seorang ibu mampu mendorong perempuan berpolitik sekitar 50 persen.
 
Menyikapi perkembangan perpolitikan bangsa saat ini, naluri perempuan melawan ketidakadilan seharusnya bisa melawan upaya persekusi dan diskriminasi berdasarkan suku, agama, ataupun ras. Sudah saatnya, perempuan turun ke jalan menyuarakan kegeraman mereka atas perilaku politik anti toleransi demi kesatuan bangsa Indonesia.
 

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
 
Ratri Istania adalah asisten profesor di Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. Saat ini sedang menempuh program doktoral dalam Ilmu Politik di Loyola University Chicago, dengan fokus penelitian pada pengaturan wilayah dan pembagian kekuasaan untuk mitigasi konflik.