Han Ji Pyeong tersentak dari tidurnya karena Young Sil membangunkannya. Dia merengut dan menyembunyikan kepalanya di balik bantal sebelum akhirnya berteriak pada Alexa buatan Korea itu, “Yeong Sil, aku masih mengantuk.”
Yeong Sil patuh dan terdiam. Tapi kepala Ji Pyeong sudah terlanjur bekerja. Dia mencoba untuk mengatur posisi agar bisa tertidur lagi, tapi gagal. Ia akhirnya meraih ponselnya. Ada sederet notifikasi muncul, tapi matanya langsung tertuju pada e-mail dari Nam Do San.
Ji Pyeong langsung bangkit dari tempat tidur. Dia benar-benar bangun sekarang. Jarang sekali bocah tengik itu menghubungiku. Apa yang mau ia sampaikan? Ji Pyeong membuka e-mail-nya.
Segera dia melihat dua wajah bahagia. Do San dan Seo Dal Mi tertawa sumringah. Di tangan Dal Mi ada manusia kecil yang warnanya masih kemerahan. Bayi mereka. Sudah lama Ji Pyeong menyerah tapi dia tidak bisa mengelabui perasannya. Rasanya sakit sekali. Terutama melihat wajah Do San yang penuh tawa bahagia.
Bagaimana bisa bocah bau kencur itu mengalahkannya?
Ketika Ji Pyeong membasuh badannya di bawah pancuran pun di kepalanya masih terbayang-bayang Dal Mi dan Do San. Dia tidak habis pikir kenapa dia rela menghabiskan waktunya demi mereka berdua. Dialah yang menulis surat-surat itu. Dialah yang membujuk Do San untuk berbohong menjadi dirinya demi tidak menyakiti hati perempuan itu. Ah, kalau saja dia menolak permintaan si Nenek, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini.
Ji Pyeong menggeleng. Tidak. Dia tidak akan bisa menolak permintaan si Nenek. Memang benar, semua yang ia dapat sekarang—apartemen mewah, mobil mahal, tabungan melimpah—adalah karena hasil kerja kerasnya. Tapi ia tidak akan bertahan tanpa bantuan si Nenek. Tidak mungkin bagi dirinya untuk melupakan jasa si Nenek begitu saja.
Jantung Ji Pyeong berdetak lebih kencang ketika dia berjalan di lorong rumah sakit. Tangannya memegang erat boneka beruang kecil yang tadi ia beli di gift shop di lantai bawah. Dia mendengar suara-suara tawa yang keras dan benar saja, begitu dia masuk Ji Pyeong langsung disambut oleh keluarga Do San dan Dal Mi yang sedang bersuka cita.
Orang tua Do San sedang berbicara dengan ibu Dal Mi sementara Dal Mi mendengarkan si Nenek berbicara. Semua mantan personel Samsan Tech bercakap-cakap dengan Do San. Bahkan setelah perusahaan start-up mereka mendapatkan label unicorn, mereka masih tampak seperti tiga bocah ingusan yang naif di mata Ji Pyeong. Satu-satunya orang yang tidak larut dalam euforia di ruangan itu adalah Seo In Jae, yang hanya berdiri manis tanpa bicara.
Ji Pyeong mengucapkan selamat kepada pasangan Do San dan Dal Mi. Setelah memberikan boneka beruang kepada Do San, Nenek mengajak Ji Pyeong berbicara. Bahan pembicaraan mereka selalu sama. Kenapa Ji Pyeong jarang datang ke rumah? Kenapa dia masih tetap kurus? Kapan dia akan menyusul Dal Mi dan Do San?
Ji Pyeong selalu menjawabnya dengan tersenyum dan berkata bahwa dia masih punya banyak urusan. Diberkahi lesung pipit yang indah membuat kebanyakan orang memaafkan semua basa-basi palsunya. Ji Pyeong tahu kalau dia lama-lama berada di ruangan ini, semua sesepuh akan segera mencarikannya calon untuk menikah di tempat. Ji Pyeong langsung mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan si bayi. Seperti membaca pikiran Ji Pyeong, In Jae mengatakan, “Aku juga belum lihat. Yuk, kita lihat bareng.”
Ji Pyeong dan In Jae sering berada di ruangan yang sama. Tapi mereka jarang ada di satu tempat hanya berdua saja. Berdiri di depan lorong rumah sakit melihat bayi-bayi yang baru lahir, Ji Pyeong tersadar bahwa dia tidak terlalu sering berkomunikasi dengan In Jae. Kenapa dia baru sadar ini sekarang?
“Tadinya aku berharap kalau bayi mereka enggak lucu,” bisik In-Jae. “Tapi kenapa bayi mereka sangat menggemaskan?”
Ji Pyeong terbahak. “Bukannya semua bayi memang lucu dan menggemaskan?”
In Jae menatap Ji-Pyeong lurus. Tidak heran banyak orang segan dengan In Jae. Tatapannya menghunjam langsung ke ulu hati.
“Kamu serius?” katanya. In-Jae kemudian menunjuk bayi yang ada di pojokan. “Lihat yang itu. Dia sama sekali enggak lucu. Bandingkan dengan keponakanku.” Saat mengucapkan kata terakhir, bibir In Jae menyunggingkan senyum. Ji Pyeong mau tak mau ikut tersenyum. Melihat In Jae sebagai perempuan yang kuat dan mandiri adalah hal yang biasa. Melihatnya tersenyum dan bersikap lembut adalah sebuah anomali cuaca.
“Kamu ada acara setelah ini?” tanya Ji Pyeong.
“Kenapa?” tanya In-Jae sambil mengernyitkan alis.
“Aku ingin ngopi. Mau ikut?”
In Jae menatap Ji Pyeong selama beberapa detik. Otaknya berputar. Di detik keempat, ia berkata, “Aku ambil tasku dulu.”
***
In Jae dan Ji Pyeong duduk di pojok kafe di lantai dua rumah sakit itu. Ji Pyeong mengaduk Americano-nya sementara In Jae menuang air panas ke dalam cangkir tehnya.
“Aku enggak tahu kalau kamu enggak minum kopi,” kata Ji Pyeong sambil memperhatikan In Jae.
In Jae mengerling ke arah Ji Pyeong. “Aku minum kopi,” jawabnya pendek sebelum kembali menatap cangkirnya. “Tapi lagi enggak kepingin hari ini.”
Ji Pyeong mengangguk. Dia menatap ke luar jendela. Langit terlihat cerah. Udara juga terasa nyaman hari ini. Tapi entah kenapa dia tetap merasa gamang. Tanpa ia sadari, In Jae memperhatikannya, sebelum menyesap tehnya dan menatap ke luar jendela.
“Kamu masih galau karena gagal mendapatkan Dal Mi?” tanya In-Jae tanpa tedeng aling-aling.
“Kenapa kamu mengambil kesimpulan itu?” tanya Ji-Pyeong.
Baca juga: ‘Start-Up’ Picu Perang Kubu Rasa Pilpres, Bedah Teori Cinta Segitiga
In Jae mengangkat bahunya. “Udahlah, gue-lo aja.” Ji-Pyeong menghembuskan nafas lega karena capek juga ternyata harus berbicara dengan formal sama kakak mantan taksirannya itu. “Karena selama gue kenal elo, Dal Mi adalah satu-satunya hal yang ada di kepala lo.” In Jae menambahkan sambil tertawa. “Agak bikin ilfil sebenarnya.”
Ji Pyeong menggeleng. Dia mencoba mengelak. “Enggak, gue enggak memikirkan dia sama sekali.”
“Sure,” kata In Jae sarkastis.
“Sumpah,” kata Ji Pyeong.
Ia menghembuskan nafas panjang. “Gue capek aja sih semua orang pingin gue nikah. Dikira gampang apa.”
In Jae mengangguk. “Gue ngerti banget apa yang elo omongin.”
Ji Pyeong memajukan badannya. “Orang-orang pasti lebih ganggu kan ke elo? Gimana sih caranya ngadepin komentar-komentar itu?”
“Anggap aja enggak ada,” jawab In Jae cepat. “Gue bukan properti. Man, lagian ini tahun berapa sih? Harus banget perempuan cepat nikah supaya enggak dianggap gagal? Gue udah membangun empire tanpa bantuan siapa-siapa. Tapi tetap aja komen di Instagram nanya kapan gue punya gandengan.”
In Jae menirukan suara netizen. “Sis, kapan kawin? Sis, cepetan nikah. Menghindari zina loh.”
Ji Pyeong tertawa. “Gue tuh cuman…” kalimatnya menggantung di udara.
“Kecewa karena kalah sama si permen karet Do San, kan?” sambung In Jae dengan cepat.
Ji Pyeong mau membalas tapi In Jae langsung memotong. “Gue bisa relate banget. Elo mungkin udah menganggap Do San sebagai temen, tapi bakalan selalu ada suara-suara di dalam kepala lo yang enggak menerima karena kalah sama cowok menye.”
“Gue enggak kalah—“ bela Ji Pyeong.
“Elo kalah,” tukas In Jae tajam. Ji Pyeong mulai mengerti kenapa banyak sekali pegawai Sand Box yang takut sekali menghadapi In Jae. Karena dia memang se-intimidating itu. Kalau ini komik, mata In Jae sudah berkobar.
“Dan dia menang hampir dalam semua bidang. Do San bahagia. Bukan pura-pura bahagia kayak elo tapi betulan bahagia. Dia menemukan cinta sejatinya. Dan kemudian menikahinya. Enggak cukup sampai situ. Dia senang-senang bekerja dengan sahabat-sahabatnya. Dan yang paling menyebalkan, itu semua dia dapat dengan dukungan keluarga yang sayang sama dia.”
Ji Pyeong terdiam seribu bahasa.
“Gue yakin elo juga agak sebal dengan adik lo sendiri,” Ji Pyeong mencoba menarik In Jae ke jurang yang sama dengan dirinya.
In Jae menggeleng. “Sama sekali enggak.”
“Bohong,” kata Ji Pyeong.
“Ngapain juga gue bohong,” In Jae menghembuskan nafas. “Ya, Dal Mi emang bantuin gue membesarkan perusahaan. Tapi sejauh ini, gue telah melakukan apa yang gue inginkan dengan cara gue sendiri. Gue punya rumah, punya tabungan, punya perusahaan sendiri. Gue membangun semuanya dengan memakai sepatu hak tinggi dan make-up flawless. Tanpa bantuan laki-laki. Kenapa harus iri sama Dal Mi?”
“Karena dia pernah merasakan cinta dan elo enggak. Elo cuma sibuk bekerja,” kata Ji Pyeong tajam. Segera setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya dia merasa menyesal. Seharusnya dia tidak mengatakan hal seksis tersebut.
“Sori, sori,” kata Ji Pyeong tulus. “Gue enggak maksud.”
“Elo mau tahu analisis gue?” tanya In Jae setelah menyesap tehnya lagi.
“Tentang apa?”
“Tentang cinta elo ke adek gue.”
Ji Pyeong mengerutkan alisnya.
“I don't think you really love her. I think you just love the idea of being in love.” Sebelum Ji Pyeong protes, In Jae sudah nyerocos dengan meyakinkan. Ini yang ia lakukan setiap hari. Jadi ini bukan barang baru baginya.
“Elo yatim piatu, Ji Pyeong. Satu-satunya orang dewasa yang elo percayai adalah Nenek karena dia satu-satunya yang pernah membantu lo dengan tulus, peduli sama lo dan enggak manfaatin elo. Gue rasa elo enggak paham sama konsep cinta karena elo fokus di survival mode. Dan gue relate banget sama itu. Karena gue juga memilih hal yang sama waktu memutuskan cabs sama Nyokap waktu itu. Jadi ketika Nenek minta elo buat mempertemukan Do San sama Dal Mi, gue rasa elo enggak benar-benar mencintainya. Elo cuma suka dengan perasaan mencintai tapi enggak benar-benar cinta sama adik gue.”
Ji Pyeong mengeraskan rahangnya. Ada api membara di hatinya. Bagaimana bisa orang ini dengan seenaknya menghina cintanya. “Analisis yang menarik tapi—“
In Jae mengangkat tangannya lagi, memotong Ji Pyeong. “Elo tahu apa bukti paling kuat kalau elo enggak cinta-cinta amat sama Dal Mi?”
Ji Pyeong tidak menjawab tapi ekspresinya menunjukkan rasa penasaran yang sangat tinggi. In Jae tersenyum sebelum menjatuhkan bom atomnya. “Elo punya semua kesempatan yang ada untuk mengajak Dal Mi pacaran tapi enggak pernah menggunakan kesempatan itu.”
Ji Pyeong menggeleng. “Salah. Gue pernah bilang ke Dal Mi bahwa gue suka dia.”
“Betul,” In-Jae mengangguk. “Tapi waktu Do San pergi ke Silicon Valley selama tiga tahun elo enggak berbuat apa-apa. Stuck di friendzone. Ada peluang selama 1.095 hari buat nembak Dal Mi tapi elo enggak melakukannya. Elo justru panik begitu Do San balik. Kalau elo benar-benar cinta sama Dal Mi, elo bakalan pake kesempatan itu buat ngajak jadian, atau bahkan kawin.”
Baca juga: Drakor ‘Start-Up’ dan Pelajaran Soal Pola Asuh Helikopter
Ji Pyeong merasa murka sekaligus frustrasi. Bagaimana bisa perempuan ini mengambil kesimpulan sesepele ini? “Ya kan beda orang beda teknik. Jangan dipikir selama tiga tahun gue enggak ngapa-ngapain. Gue—”
“Nongkrong di rumah, masak bareng Nenek, tapi itu enggak sama dengan merebut Dal Mi ya,” potong In Jae cepat.
“Tapi kan gue selalu ada pas di saat penting. Itu artinya gue care,” Ji Pyeong masih ngotot membela dirinya.
“Man, semua orang care sama Dal-Mi,” kata In-Jae agak keras, membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka. In Jae melihat sekeliling lalu menurunkan nada suaranya.
“Itu dia masalahnya, Ji Pyeong. Semua orang peduli sama Dal Mi. Dia cewek rapuh, yatim, dan cantik. Siapa sih yang enggak peduli sama Dal Mi? Tapi masalahnya, elo enggak seize the day. Elo tuh suka marahin geng Samsan Tech karena mereka enggak cerdas. Tapi elo sendiri ngaca enggak? Elo sendiri juga bego dalam hal percintaan.”
Ji Pyeong tersentak. Dia mengambil Americano-nya dengan tangan sedikit bergetar dan berkata, “Kadang kala cinta enggak harus dimiliki.”
“Enggak usah ngutip lagu Dewa. Elo salah. Kalau elo cinta sama seseorang, elo harus melakukan segala cara buat ngedapetinnya. Orang kasihan sama gue karena gue enggak punya cowok. Mereka salah. Gue cinta dengan pekerjaan gue dan ingin meraih kesuksesan besar. Dan gue berjuang untuk mendapatkan itu semua. Sekarang gue bisa beli rumah mewah di daerah Tulodong tanpa mikir. Siapa yang ketawa sekarang? Gue atau netizen Instagram?”
***
Entah karena kejujuran In Jae yang terlalu luar biasa atau karena ini pertama kalinya ada orang yang sejujur itu kepadanya, dalam beberapa minggu berikutnya Ji Pyeong menghabiskan banyak waktu dengan kakak Dal Mi itu. Dia bahkan dengan terang-terangan mengajak In Jae untuk makan siang bersama. Yang tentu saja menjadi rumor di Sand Box. Tapi In Jae jelas tidak menghiraukan gosip itu.
Semakin lama Ji Pyeong berbicara dengan perempuan ini, ia semakin tersadar bahwa ada perbedaan besar antara obsesi dengan benar-benar jatuh cinta. In Jae mungkin tidak lembut seperti Dal Mi, tapi setidaknya dengan In Jae, mereka berdua punya selera humor yang sama savage-nya. Mereka bisa asyik menertawakan dua menteri yang ditangkap dalam selang waktu beberapa minggu karena korupsi. Atau kenapa ada orang niat membuat akun Instagram berjudul Indonesia Tanpa Feminis padahal memahami konsep feminisme juga tidak.
“Segera ngomong, Nak,” kata si Nenek ketika Ji Pyeong mengunjungi toko corn dog-nya suatu hari.
“Ngomong apaan sih, Nek,” kata Ji Pyeong sambil tertawa. Ia mencoba menahan investigasi Nenek dengan lesung pipitnya.
“Nenek boleh enggak bisa melihat, tapi Nenek enggak sebuta itu. Nenek tahu kamu suka dengan In-Jae,” kata si Nenek. “Dari caramu ketawa pas bercanda sama In Jae, Nenek langsung tahu.”
“Aku sering ketawa.”
“Enggak. Kalau sama Dal Mi ketawamu enggak tulus. Lain dengan sama In Jae,” kata si Nenek.
Hipotesis Nenek memang tidak salah. In Jae dan Dal Mi mungkin berbagi DNA yang sama, tapi mereka sangat berbeda. Dengan In Jae, Ji-Pyeong tidak harus menahan dirinya. Dia bisa mengeluarkan apa pun yang ada di kepalanya. Tanpa sensor. Dan In Jae akan menerimanya tanpa rasa sakit hati. In Jae tahan banting. Dengan In Jae, Ji Pyeong bisa mengatakan “anjing, lo” sambil tertawa dan dia tahu In Jae tidak akan baper. Ketika mereka berdiskusi tentang pekerjaan, In Jae bisa menjadi sparring partner yang setara.
Yang Ji Pyeong tidak sadari, In Jae juga merasakan hal yang sama. In Jae yang dari remaja sudah belajar untuk menyembunyikan emosinya, karena menurutnya tidak ada yang peduli dengan perasaannya selama ini, selalu memasang ekspresi netral walaupun hatinya berbunga-bunga. Sejauh ini, cowok-cowok yang mendekati dia semuanya mundur teratur. Kebanyakan dari mereka segan dengan posisinya yang tinggi, gaya bicaranya yang blak-blakan dan keengganannya untuk basa-basi. Tapi dengan Ji Pyeong, In Jae merasa berada di posisi yang sama. Ji Pyeong meledak-ledak tapi gampang untuk diamankan. Ji Pyeong tidak pernah merasa tersaingi berada di samping perempuan sukses.
***
Tapi lama kelamaan, In Jae agak kesal juga dengan Ji Pyeong yang terlalu adem. Sudah hampir tujuh bulan mereka dekat dan Ji Pyeong masih tetap tidak menanyakan apakah mereka mau berpacaran. Sampai kapan lagi dia harus menunggu. Itu sebabnya akhir-akhir ini, ketika Ji Pyeong mengajaknya bertemu, In Jae selalu menolaknya. Ji Pyeong bahkan harus konsultasi dengan Nenek di rumah sakit tentang hal ini.
Pesan Nenek singkat: “Jangan lakukan kesalahan yang sama dengan Dal Mi.”
Baca juga: Pelajaran Soal Kepemimpinan Perempuan dari Drakor ‘Start-Up’
Pesan itu ternyata menjadi pesan terakhir Nenek kepada si Good Boy karena tak lama setelah kunjungan itu, Nenek meninggal dunia. Ji Pyeong menjadi orang yang paling berduka dengan hal ini. Di pemakaman dia menenggak soju sampai akhirnya tak sadarkan diri. Ketika dia dibangunkan oleh Do San keesokan harinya, dia menatap Do San dengan bingung. Hidungnya tersumbat, matanya masih bengkak.
“Gue di mana?” tanya Ji Pyeong.
“Di rumah gue,” jawab Do San ketus sambil menimang bayinya. “Kalau mau berisik di luar. Anak gue belum tidur dari semalem gara-gara lo berisik.”
“Oke,” kata Ji Pyeong sambil berjalan terseok-seok ke halaman belakang.
Di halaman, dia menggosok-gosokkan kedua tangannya ketika dia melihat In Jae sedang berdiri dan berbicara di telepon dengan bahasa Inggris. In Jae melambaikan tangan pelan sambil terus berbicara dengan siapa pun itu. Jangan-jangan In Jae sudah punya pacar? pikir Ji Pyeong. Setelah menutup pembicaraan di telepon, In Jae berjalan mendekati Ji Pyeong.
“Gila, parah banget lo semalem,” katanya.
“Gue ngapain aja?” tanya Ji-Pyeong. “Kayaknya gue black out.”
“Yaiyalah lo black out. Soju setengah kerat lo abisin sendiri. Habis itu lo nyikat abidin-nya Chul San yang dia umpetin di tasnya. Lo bikin Chul San sama Sa Ha berantem karena mereka lagi usaha pengen punya anak makanya Chul San enggak boleh alkoholan,” jelas In Jae.
“Boong lo,” Ji-Pyeong tertawa membayangkan dua orang itu bertengkar.
In Jae ikut tersenyum. “Trus abis itu lo mewek. Minta maaf ke semua orang. Paling pol lo naik meja nyanyi lagu Reza – ‘Berharap Untuk Berpisah’. Yong San sampe nanya gue.” In Jae mengubah suaranya, “Loh, Pak Han ternyata anak Senopati. Gue baru tau.”
“Wah kayaknya gue harus pindah kantor,” gumam Ji Pyeong.
“Asli. Abis itu lo naik meja dan dramatic reading baca semua surat Dal Mi. Pakai mikrofon. Gue juga enggak ngerti lo nemu mikrofon dari mana. Do San semaleman merengut. Dia nyeret Dal Mi sama anak mereka ke kamar,” In Jae tertawa. “Kalau lo mau liat, gue rekam sih semuanya.”
“Maafin gue,” kata Ji-Pyeong tiba-tiba. Menatap wajah In Jae di pagi hari menyadarkannya dia ingin mendengarkan In Jae me-recap setiap aktivitas mabuknya sampai akhir hayatnya.
“It’s okay. Lumayan buat lucu-lucuan,” In-Jae baru mau masuk ke dalam rumah ketika Ji Pyeong memanggilnya.
“Bentar—“ kata Ji Pyeong.
“Ada apa?” tanya In-Jae.
“Kalo gue ngajak elo kawin, lo akan bilang apa?” tanya Ji Pyeong.
“Gue berharap elo ngajakin gue kawin setelah elo mandi dan pakai baju bener sih. Bukan pakai kaos Sheila on 7-nya Dal Mi karena lo semalem jackpot di ruang tamu,” kata In Jae sambil menunjuk kaos yang dipakai Ji Pyeong.
Ji Pyeong tersenyum melihat kaos yang dia pakai. “Jadi lo enggak nolak gue?”
“Ji Pyeong, kalo gue enggak suka sama lo, gue udah ghosting dari kapan tau,” jawab In Jae sambil mendengus dan berlalu.
Ji Pyeong menengadah ke arah langit yang hari ini berwarna ekstra biru. Ia tersenyum manis dengan lesung pipitnya sambil berkata, “Oh, jadi begini rasanya punya pacar.”
Start-Up Episode 1-16 bisa ditonton di Netflix.
Comments