Ia sempat meributkan hal yang ia alami, beberapa detik setelah si pelaku beraksi. Namun, pelakunya berkilah, ia bilang tidak sengaja. Beberapa orang yang berada di tempat kejadian juga tidak begitu bereaksi, mungkin karena suasana yang sudah larut malam dan penghuni ruangan itu telah lelah beraktivitas seharian.
Keesokan harinya, sang sahabat bicara serius dengan salah seorang yang ia percaya tentang yang ia alami. Ia memohon untuk menjauhkannya dari si pelaku, ia tidak ingin menjalin kontak apa pun dengannya. Wajar, ia merasa takut dan seperti tak mendapatkan perlindungan sejak kejadian malam itu.
Si pelaku itu tak pernah muncul lagi, kabarnya ia dilarang beraktivitas di perkumpulan itu. Alasannya tidak jelas, entah memang karena perbuatannya atau ia memang tak mengerjakan tugasnya dengan baik di sana.
Kabar ini baru saya terima beberapa minggu setelah pemberhentian laki-laki itu dari perkumpulan. Saat saya bertanya pada teman, mereka tidak begitu paham alasan pemberhentiannya. Ketika saya mengatakan bahwa saya telah mendengar kabar tentang pelecehan tersebut, barulah teman-teman lain mulai memberikan pandangan.
Awalnya mereka tidak mau memberitahu saya tentang kejadian yang dialami oleh sahabat itu. Mereka beralasan bahwa saya tidak akan bisa memberikan pandangan yang rasional mengenai kejadian itu, karena kejadian serupa pernah saya alami dulu.
“Nanti kamu akan overreact jika kami langsung beri tahu,” ujar salah seorang teman.
Peristiwa itu kini seperti hilang ditelan bumi. Tidak pernah ada pembahasan lagi mengenai kejadian itu. Teman-teman sepertinya memilih untuk mendiamkan dan membiarkan peristiwa itu terlupakan begitu saja. Mereka merasa semua pihak sudah tenang, mulai dari si pelaku sampai dengan si korban.
Namun, ada pernyataan seorang teman yang cukup mengganggu saya, bahwa si laki-laki itu bisa saja memang tidak sengaja dan kemudian dia langsung dikeluarkan begitu saja. Hal itu, menurutnya, bisa menjadi sesuatu yang tidak adil.
Saya terkejut, bagaimana bisa pernyataan itu keluar. Ternyata ia mengatakan bahwa si korban tidak mau memperjelas masalahnya, dan teman kami yang mengalami kejadian itu tidak mau dipertemukan dengan si pelaku.
“Kalau dia sendiri enggak mau memperjelas masalahnya, kita bisa apa?” ujarnya, ketika saya menjelaskan bahwa hal itu tidak mudah dilakukan oleh seorang korban pelecehan seksual.
Melihat kejadian ini, saya semakin yakin bahwa tidak banyak orang yang mengerti bagaimana cara menghadapi seorang yang mengalami pelecehan seksual. Sebagai seorang yang pernah berada di posisi tersebut, saya bisa memberi sedikit gambaran.
Menjadi korban pelecehan seksual bukan hal yang mudah. Efek yang timbul bisa bertahan hingga ujung usia si korban. Perasaan buruk akan menghampirinya bertubi-tubi. Rasa marah, kecewa, malu, penyesalan hingga kebencian muncul, tidak hanya pada pelaku, kadang juga pada dirinya sendiri. Maka tidak jarang kita temui korban pelecehan seksual yang memilih bunuh diri.
Adalah penting bagi kita untuk memahami pergolakan dalam diri korban pelecehan. Pengertian ini nantinya akan menuntun kita pada perlakuan yang tepat dan bisa membatu si korban.
Lingkungan sangat memengaruhi kemampuan korban untuk menghadapi efek pelecehan seksual yang dialami. Jika lingkungan tempat ia berada adalah lingkungan yang terbiasa menyalahkan korban atau victim blaming, tentu ini akan semakin berbahaya bagi korban. Namun, jika kita bisa memberi lingkungan yang positif yang dapat memberikan keamanan dan kepercayaan bagi korban, ini jauh lebih baik.
Dalam kasus teman saya tadi, penanganan yang dilakukan seharusnya perlahan dan bertahap. Tidak mudah bagi korban untuk mengungkap pelecehan yang dialami, biasanya ada perasaan malu dan rasa tidak ingin membesar-besarkan masalah yang nantinya akan membuatnya menjadi pusat perhatian dan topik pembicaraan.
Penolakan untuk berbicara merupakan pilihan terbanyak yang diambil oleh korban pelecehan seksual. Kenyataan ini justru menjadi alasan terkuat kita untuk berada di pihaknya. Bantu ia untuk bicara, bukan lantas kita biarkan ia diam dan bergelut dengan perasaan buruk yang ia dapat dari kejadian itu.
Ajak ia bicara, dengarkan ketakutannya dan yakinkan ia bahwa akan ada orang yang membantunya menghadapi ketakutan itu. Dampingi ia dan berikan pemahaman kepada orang sekitar tentang apa yang korban takutkan agar tidak ada pihak yang justru mempersulit korban untuk bicara.
Pelecehan seksual memberikan dampak buruk sepanjang sisa hidup korban. Besar kecilnya skala peristiwanya, kerugiannya tidak dapat diukur. Membantu korban untuk bicara akan memberikan kita jalan untuk mengambil keputusan tepat terhadap sebuah kejadian yang merugikan.
Sanksi adalah hal mutlak yang harus diterima oleh pelaku pelecehan seksual. Hal itu tidak hanya akan menyelamatkan korban, tapi juga akan menyelamatkan calon-calon korban lainnya, yang mungkin saja adalah salah seorang yang dekat dengan kita.
Lingkungan yang suportif terhadap korban pelecehan seksual adalah senjata paling ampuh untuk menangkal terjadinya peristiwa serupa di kemudian hari. Membangun lingkungan yang suportif dapat dimulai oleh satu orang dan bisa dimulai oleh kita.
Mutia Aisa Rahmi adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan Ekonomi di salah satu perguruan tinggi negeri di Sumatera. Pernah aktif sebagai jurnalis kampus selama kurang lebih tiga tahun dan kini tengah berusaha untuk menyelesaikan studi. Tertarik pada isu-isu tentang kemanusiaan, perempuan, dan sosial. Berusaha untuk tetap merdeka dari sejak dalam pikiran, dan terus bersuara.
Comments