Artis Indonesia Nikita Mirzani bikin geger karena ditangkap dan dijemput paksa petugas Polres Serang Kota, (21/7) terkait pencemaran nama baik. Kasus yang dilaporkan Dito Mahendra ini berbuntut panjang lantaran Nikita sering mangkir dalam pemeriksaan. Alhasil, polisi menjemput paksa Nikita saat ia tengah bersama sang anak, Arkana Mawardi.
Namun tak lama, Nikita dibebaskan dengan alasan kemanusiaan. Alasannya, kata Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Sinto Silitonga, ada permohonan dari kuasa hukum Nikita untuk tak menahan kliennya. Dilansir dari Suara.com, Nikita dalam hemat kuasa hukum, masih bertanggung jawab dalam pengasuhan anak.
"Dengan pertimbangan kemanusiaan, saudari NM harus mendampingi tiga anak. Maka penyidik mengakomodasi permohonan saudari NM untuk tidak ditahan," papar Shinto.
Pembebasan Nikita Mirzani yang sebelumnya terancam dibui selama 12 tahun pun panen komentar dari warganet. Banyak yang membandingkan pengalaman Nikita dengan kasus-kasus ibu narapidana lain, yang tetap ditahan kendati tengah hamil atau masih punya anak kecil.
Seorang ibu berinisial NSB, 31, di Lampung misalnya terpaksa harus membawa anaknya yang masih berusia dua tahun tinggal bersamanya dalam sel tahanan. Dilansir dari Kompas.com, NSB ditangkap Polda Lampung pada (22/2) karena tertangkap menjual obat pelangsing ilegal.
Rio, suami NSB kepada media yang sama menjelaskan, pasca-istrinya ditahan per (19/5), sudah meminta agar pihak Kejaksaan Negeri Bandar Lampung bisa mengabulkan penangguhan penahanan. Menurut Rio, anaknya yang berusia dua tahun masih membutuhkan sang istri karena ia masih menyusui.
Terlebih, anak mereka yang lain yang kini duduk di kelas 3 SD, terpaksa tak bersekolah pasca-ibu mereka ditahan. Sayangnya, permohonan itu ditolak dan anak-anak terpaksa tinggal bersama istrinya.
Baca Juga: Surat dari Penjara: Cadong Sang Legenda
Mendengar Pengalaman Para Ibu Narapidana
Apa yang dialami oleh NSB tampaknya tak berbeda jauh dengan pengalaman ibu narapidana Nicky, 37. Mendekam di bui dari Maret 2018 hingga Agustus 2021, ia tak diberikan keringanan masa tahanan. Padahal saat itu anak-anaknya masih kecil, masing-masing berusia 3 dan 7 tahun.
“Dapat keringanan itu hanya di khayalan kita saja. Tidak akan pernah terjadi. Pas masuk ke Polres, pengacaraku ngomong kalau aku masih punya anak yang kecil-kecil, tapi tetap saja enggak ditangguhkan,” curhat Nicky.
Ia mengisahkan, selama proses penahanan, kerap melihat kondisi para ibu narapidana yang membuat hatinya teriris. Mulanya ia bercerita tentang teman satu Rumah Tahanan (Rutan) yang masih menyusui. Setiap malam temannya memompa asi, tapi air susu itu akan dibuang percuma karena tidak orang yang bisa mengambilnya untuk diberikan kepada anak.
Selama di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), ia juga menyaksikan bagaimana banyak perempuan calon ibu yang hamil dan harus melahirkan serta membesarkan anaknya di Lapas. Nicky mengatakan kendati di Lapas kamar tidur bagi ibu hamil dan anak bawaan (sebutan untuk anak yang dibawa ibunya ke sel tahanan) terpisah, tapi mereka masih menempati satu blok hunian. Akibatnya, anak pun harus tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif dan rentan terhadap kekerasan.
“Untuk yang membesarkan anak itu kacau. Dengan ada sekitar 350-an orang dengan berbagai macam kalangan, anak-anak ini jadi tumbuh dengan bahasa-bahasa kasar. Anak umur 1 tahun kata- kata pertamanya “Bego lu”, “Anjing”. Kalau mau ngebandingin sama lingkungan normal membesarkan anak, ya itu enggak layak,” tutur Nicky.
Lingkungan yang tidak kondusif untuk membesarkan anak juga terlihat dari fasilitas yang disediakan Lapas. Kendati Lapas yang ia tempati memiliki ruang ramah anak dengan tempat mini playground di pelataran depan aula, ruang menyusui tidak tersedia bagi para ibu narapidana. Yang ada hanyalah bilik menyusui, terletak di luar blok hunian. Hal yang tentu membuat ibu narapidana cukup repot karena harus meluangkan waktu sendiri untuk keluar blok hunian. Maka tak heran, bilik menyusui pun jarang dipakai oleh warga binaan dan mereka cenderung lebih sering menyusui di kamar tahanan masing-masing.
Hal yang kemudian membuat Nicky tak pernah tentang pengalamannya di Lapas adalah ketika ia harus melihat dan mendengar dengan telinga serta kepalanya sendiri nasib-nasib anak dari narapidana perempuan yang mengalami ragam kekerasan karena ditinggal ibunya.
Ia bercerita tentang teman di sel tahanan yang harus mendapatkan berita duka tentang kematian anaknya. Ketika temannya ditahan, anaknya terpaksa diasuh oleh ayah tirinya. Namun, bukannya mengemban tanggung jawab yang baik sebagai orang tua pengganti, si bapak tiri justru memerkosa anaknya tersebut, membunuhnya, dan memasukkan ke dalam koper untuk dibuang.
“Ada yang nitipin tetangga sampai tetangganya enggak mau ngurusin lagi dan dioper ke yayasan. Ada juga yang pas dia masuk ke Lapas, dia enggak tahu anaknya di mana. Terlantar anaknya, enggak ada yang urus. Jadi pas mau pulang, dia juga bingung nyari anaknya di mana,” cerita Nicky.
Baca Juga: Surat dari Penjara: Duniaku 1.200 Meter Persegi
Sistem Pemenjaraan yang Tak Ramah Perempuan
Perempuan narapidana memiliki seperangkat kebutuhan gender yang spesifik yang berbeda ketimbang narapidana laki-laki. Mereka diberi beban tunggal pengasuhan anak, sehingga rentan mengalami mengalami kekerasan dan punya masalah kesehatan mental yang kompleks.
Dalam penelitian Women and gestation in prison: Becoming a ‘good enough mother (2018), Jane Walker peneliti dari The University of New South Wales menjelaskan, peran sepihak perempuan ini kerap diikuti dengan upaya menuntut pertanggungjawaban atas dampak pemenjaraan mereka terhadap anak-anak. Para napi perempuan cenderung disalahkan terus-menerus oleh petugas penjara, profesional lain di lingkungan penjara, dan tahanan laki-laki lainnya.
Untuk para ibu narapidana yang harus terpisah dengan anaknya, dampaknya terlihat pada kesehatan mental mereka. Perpisahan dari anak-anak mereka adalah pemicu stres utama. Ibu merasa putus asa, sulit menavigasikan identitasnya sebagai ibu, dan anak mereka pun seringkali terhambat tumbuh kembangnya.
Hal inilah yang terjadi pada Nicky selama penahanannya. Nicky mengungkapkan, menjadi narapidana membuatnya harus kehilangan identitas sebagai ibu. Waktu yang ia miliki untuk bertemu anaknya, yaitu 1 bulan sekali dan hanya 1 jam saja sesuai dengan jadwal kunjungan khusus anak. Waktu sesingkat ini tak bisa menyembuhkan rasa rindu terhadap anaknya.
Kesehatan mentalnya pun terdampak karenanya. Ia jadi mudah marah dan kesal. Namun, anaknya ternyata yang harus menerima dampak terbesar dari absennya Nicky dalam tumbuh kembang mereka.
“Anakku yang pertama itu bengong terus, ditanya kenapa? “Aku kangen bunda”. Anakku juga pas di kelas enggak mau ngomong di kelas. Ditegur enggak mau jawab, nilai sekolahnya turun banget, dan dua-duanya jadi minder. Jadi yang lebih sakit mereka, anak anakku ini,” cerita Nicky.
Baca Juga: Surat dari Penjara: Cinta adalah Cinta
Melihat dampak yang terjadi pada ibu narapidana, maka ada pertanyaan penting yang perlu dijawab? Benarkah sistem pemenjaraan di Indonesia tak ramah perempuan? Hal pertama yang mungkin bisa dijawab dari pertanyaan ini adalah dari sisi perundang-undangan. Dilansir langsung dari halaman website Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Wanita Semarang, hak-hak narapidana perempuan di Indonesia secara khusus tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam PP ini hak dari perempuan narapidana antara lain:
- Makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter untuk perempuan narapidana hamil, menyusui, dan sedang sakit bersama dengan anak bawaannya
- Makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter bagi anak bawaan dan yang lahir di lapas, paling lama sampai berumur 2 (dua) tahun
- Ruang khusus menyusui
- Ruang ramah anak
- Ruang sanitasi yang layak beserta 1 (satu) unit pembalut
- Fasilitas Kesehatan untuk warga binaan perempuan (WBP) termasuk anaknya
- Makanan dan minuman yang layak
Kendati dalam PP ini, hak perempuan narapidana telah diatur tapi tak berarti ini sudah terpenuhi dengan baik. Hal inilah yang disampaikan Astried Permata, Advocacy and Outreach Specialist di Kurawal Foundation dalam wawancaranya bersama Magdalene.
PP boleh jadi sudah ditetapkan, tetapi sayangnya pelaksanaan haknya masih jauh dari lapangan dan masih jauh dari kesepakatan dalam The Bangkok Rules. The Bangkok Rules atau The United Nations Rules for the Treatment of Women Prisoners and Non-custodial Measures for Women Offenders, adalah seperangkat 70 aturan yang berfokus pada perlakuan terhadap perempuan pelaku dan tahanan yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 22 Desember 2010.
“The Bangkok Rules itu perangkat hukum yang komprehensif kalau kita bicara tentang hak-hak perempuan narapidana. Itu diatur secara rinci karena perangkat hukum ini tahu betul perempuan punya kebutuhan khusus. Mulai dari kebutuhan sanitasi khusus, perawatan psikologis, saran medis dan program untuk ibu menyusui. Di Bangkok Rules bahkan disebutkan rekomendasi tentang warga binaan yang bisa ditempatkan dekat dengan
rumahnya. Karena perempuan sampai sekarang secara sosial masih dibebankan peran nurturing,” jelas Astried.
Sayangnya, detail hak perempuan narapidana yang tercantum dalam Bangkok Rules masih jauh dari harapan di Indonesia. Astried memberi contoh, jangankan memenuhi hak-hak yang dalam Bangkok Rules, pemerintah Indonesia sendiri masih belum bisa memenuhi hak perempuan narapidana terkait kewajiban negara terhadap anak terlantar. Kewajiban yang sebenarnya tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 Ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 Ayat (6).
“Di negara yang belum bisa menjamin akses pendidikan dan kesehatan terjangkau, hak ini saya pesimis enggak bakal dikasih. Perempuan narapidana saja di masyarakat stigmanya berlapis. Agak sulit meminta pertanggung jawaban kepada negara. Ini yang bolong di implementasi hak-hak”
“Ketika memenjarakan perempuan, negara tidak hanya mindahin perempuan dari rumah ke lapas, tapi negara juga memutus interaksi dengan anaknya, income, dan merusak mental mereka. Negara kita belum melihat ini (pemenjaraan perempuan) ada dampak sosialnya,” jelas Astried.
Luputnya negara memberikan hak-hak kepada perempuan narapidana tak lain menurut Astried karena produk hukum dan aparat hukum Indonesia yang masih tidak sensitif gender bahkan buta gender. Undang-Undang Narkotika atau RKUHP misalnya tak melihat kerentanan perempuan dan kebutuhan khusus mereka. Akibatnya, hak perempuan narapidana mendapat alternatif pemenjaraan atau pemidanaan non-penjara misalnya jadi susah sekali terlaksana.
“Ibu-ibu hamil atau yang punya bayi, langsung aja masukin pidana penjara. Karena sejatinya, produk hukum kita itu yang dibuat oleh laki laki dan untuk laki laki. Such a waste ada perangkat hukum yang mewadahi hak-hak WBP (Warga Binaan Perempuan) tapi pemerintah buat keran terus. Banyak undang-undang yang mengkriminalisasi masyarakatnya dan perempuan jadi korban yang paling banyak dari produk hukum ini. Makanya jangan heran kalau sistem pemenjaraan kita masih gender blind.”
Comments