Women Lead Pendidikan Seks
October 06, 2020

Magdalene Primer: Setelah UU Cipta Kerja Disahkan

UU Cipta Kerja tetap disahkan di tengah pandemi meskipun ada penolakan dari berbagai pihak karena pasal-pasal problematik dan proses tidak transparan.

by Magdalene
Issues
Omnibus Law_RUU Cilaka_KarinaTungari
Share:

Meskipun ditolak secara lantang oleh banyak pihak, Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU Cipta Kerja, dalam rapat paripurna Senin malam (5/10), tiga hari lebih cepat dari pengumuman sebelumnya.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, seperti dikutip Kompas, bahwa UU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi lapangan kerja.

"Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Untuk itu, diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja," ujar Airlangga.

Ribuan buruh turun ke jalan memprotes pengesahan UU ini, aturan sapu jagat yang berisiko mengabaikan kerentanan pekerja, terutama pekerja perempuan, dan mengancam lingkungan hidup. Gelombang protes juga muncul di media sosial, bahkan para penggemar budaya pop Korea alias K-popers pun ikut bersuara, menjadikan protes terhadap UU ini trending topics di Twitter.

“Secara umum dari awal kita sudah mendorong pemerintah untuk lebih transparan dalam membuat kebijakan. Tapi kenyataannya, ketika melakukan komunikasi dan konsultasi dengan serikat dan federasi buruh, mereka cenderung hanya memberi informasi saja, bukan komunikasi dua arah,” ujar Lusiani Julia, Program Officer Organisasi Buruh Internasional (ILO) kepada Magdalene.

“Giliran ada stakeholder atau para ketua federasi buruh bicara dan menyuarakan apa yang mereka mau, malah enggak didengar dan diakomodasi. Itu sebetulnya yang sangat disayangkan,” ia menambahkan.

Elly Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), mengatakan dari awal sudah banyak pasal dan aturan yang justru mendegradasi buruh.

“Memang sudah ada komunikasi dengan banyak serikat buruh dari berbagai serikat, itu masuk ke dalam tim yang membahas Omnibus Law ini kurang lebih selama 10 hari,” ujarnya.

Magdalene sudah membahas bagaimana problematiknya RUU Cipta Kerja, yang telah dikecam karena berpotensi membatasi hak-hak pekerja, remunerasi, dan keamanan pekerjaan. Para pengkritik memperingatkan akan peran pemerintah pusat yang bakal terlalu dominan, longgarnya persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan izin bangunan), dan dampaknya terhadap pekerja perempuan.

Meski banyak protes, pemerintah seperti memanfaatkan pandemi untuk menggenjot pengesahan UU ini. Berikut adalah poin-poin untuk melihat apakah ada perbaikan dalam UU Cipta Kerja dibandingkan dengan draf RUU sebelumnya.

Apa saja pasal-pasal kontroversial di dalam UU Cipta Kerja?

  • Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa perjanjian kerja waktu tertentu atau pekerja kontrak dapat diadakan paling lama dua tahun, dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Setelah itu, kontrak ketiga kalinya adalah sebagai pegawai permanen.

Pasal 59 UU Cipta Kerja ini menghapus aturan tersebut, dengan menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah. 

Baca juga: Magdalene Primer: Apa Itu Omnibus Law dan Mengapa Kita Harus Waspada

Lusiani dari ILO mengatakan, perjanjian kerja ini penuh ketidakjelasan, memberikan celah yang dapat dimanfaatkan agar buruh bisa terus jadi pekerja kontrak.

“Sistem yang menawarkan ketidakjelasan ini tidak menutup kemungkinan lebih eksploitatif,” ujarnya.

Elly Silaban dari KSBSI mengatakan, Pasal 59 ini memberikan ketidakpastian akan perlindungan dan hak-hak pekerja.

Bisa-bisa dia jadi pekerja kontrak seumur hidup. Masih mending dikontraknya satu tahun, kalau tiga bulan terus putus kontrak gimana? Itu semua enggak ada dicantumkan di kluster UU Ketenagakerjaan yang baru,” ujarnya kepada Magdalene.

  • Pasal 79 UU Ketenagakerjaan diubah

Pasal ini memangkas hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan, yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Selain itu, pasal ini juga mengatur agar pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Pasal 79 juga menghapus cuti panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut, dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.

“Soal jam kerja dan cuti panjang ini perlu penjelasan lebih dalam,” ujar Lusiani.

  • Pasal 88 tentang upah

Perlindungan terhadap buruh melalui pengupahan untuk memenuhi penghidupan yang layak sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 88. Namun dalam UU Cipta Kerja, tiga dari 11 butir tentang pengupahan di UU Ketenagakerjaan dipangkas, yakni upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Elly mengatakan, ada sebagian pasal yang dituntut pihaknya yang diakomodasi DPR, namun tidak diadopsi secara utuh.

“Misalnya, Pasal 88 yang mengatur tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Kota itu enggak dihapus, tapi upah sektoralnya dihapus. Upah sektoral itu lebih tinggi dari UMP, kok dihilangkan,” ujarnya.

“Sekarang kalau semua berpegang pada upah minimum provinsi, masa iya orang kerja di pertambangan akan sama upahnya dengan buruh pabrik lipstik atau pakaian? Kan enggak bisa begitu,” tambahnya.

  • Pasal tentang pesangon dan PHK

Lusiani dari ILO mengatakan, ada tambahan alasan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencantumkan bahwa jika buruh sedang dalam kondisi finansial yang sulit, maka tidak boleh terkena PHK. Ini sebetulnya adalah langkah yang bagus, ujarnya.

Namun ada isu mengenai bagaimana katanya PHK lebih dilindungi dengan adanya kartu atau asuransi pengangguran. Menurut Lusiani, sebelum melangkah ke kartu atau asuransi tersebut, harus dipertanyakan, apakah semua pekerja sudah terjamin hak-haknya seperti asuransi kesehatan dan jaminan-jaminan lainnya.

“Jika belum, dari mana data kartu pengangguran itu didapat, apakah semua pekerja punya akses ke sana? Perlu perjalanan panjang untuk benar-benar mengimplementasikan apa yang disebut pemerintah membantu pengangguran ini. Dalam pengimplementasian dan sistem kerjanya, masih banyak dari Omnibus Law ini yang harus diperjelas supaya tidak merugikan buruh.  Kebijakan itu kan harus dibuat secara komprehensif.”

Baca juga: Omnibus Law, RUU Halu, UU ITE: Demokrasi Sedang di Bawah Ancaman

Dalam UU Cipta Kerja juga terdapat perubahan pada uang penggantian hak, di mana poin penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15 persen dari pesangon atau uang penghargaan masa kerja dihilangkan.

Di samping itu, seperti dilansir Kompas, ketentuan maksimal pemberian pesangon diganti dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah, dengan rincian 19 kali upah bulanan buruh dibayarkan perusahaan, dan 6 kali dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan berupa jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

Yang bisa merugikan buruh adalah saat perselisihan terjadi dan perusahaan mangkir membayar upah mereka, padahal ini telah diatur dalam Pasal 155 UU Ketenagakerjaan. Bunyinya: “Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.” Dalam UU Cipta Kerja saat ini, Pasal 155 dari UU Ketenagakerjaan itu dihapus.

Bagaimana dengan dampak terhadap pekerja perempuan?

Dalam naskah final UU Cipta Kerja sendiri yang kami dapatkan pada 5 Oktober 2020, memang tidak dinyatakan perubahan atau penghapusan pasal-pasal terkait hak cuti hamil/melahirkan. Namun, Lusiana dari ILO mengatakan, ia mengkhawatirkan banyaknya hal-hal yang tidak jelas dan komprehensif dalam Omnibus Law ini, sementara kemampuan berunding para buruh perempuan atau buruh lain belum benar-benar terasah.

“Seberapa kuat solidaritas buruh untuk membantu ketika buruh lain tersandung regulasi. Kami khawatir ketidaktahuan buruh dan serikat tidak bisa memanfaatkan Omnibus Law dan merugikan buruh, kemudian dimanfaatkan pihak tertentu,” ujarnya.

Elly mengatakan, UU ini akan menambah beban perempuan yang sudah berlipat karena juga memiliki beban domestik.

“Sekarang lagi masa sulit begini, buruh perempuan juga dapat tekanan lain karena ketidakpastian pekerjaan. Buruh-buruh di bawah yang kerja di pabrik garmen, pabrik tekstil, manufaktur itu yang paling banyak perempuan, tentu mereka yang paling berdampak kalau aturannya tidak berkeadilan,” ujarnya.

Apa langkah selanjutnya?

Lusiani mengatakan, Omnibus Law belum bisa serta merta terhubung dengan kebijakan ketenagakerjaan lainnya.

“Memang ada bagusnya memikirkan asuransi pengangguran, tapi juga perlu memikirkan pasar lapangan kerja aktifnya. Seberapa banyak lapangan kerja untuk buruh. Kalau hanya mengandalkan asuransi pengangguran, itu bisa menjadi bumerang, tidak solutif,” ujarnya.

“Undang-undang Ketenagakerjaan dibuat untuk melindungi pekerja. Sekarang kalau fokus untuk lebih banyak investasi masuk, yang jadi pertanyaan apakah investasi menjamin lapangan kerja baru?”

Elly mengatakan, pengesahan Omnibus Law di tengah krisis karena pandemi ini sangat-sangat tidak sensitif di saat banyak yang kehilangan pekerjaan.

“Tuntutan kami sekarang ini, kalau membatalkan ya sudah tidak bisa. Tapi kami dengan penuh menolak kluster UU Ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Kami sedang menyiapkan berkas untuk membawa ke Mahkamah Konstitusi, kami tempuh jalur hukum lagi. Tentu kami tidak tinggal diam, aksi akan terus direncanakan ke depannya,” ujarnya.

MAGDALENE is an online publication that offers fresh perspectives beyond the typical gender and cultural confines. We channel the voices of feminists, pluralists and progressives, or just those who are not afraid to be different, regardless of their genders, colors, or sexual preferences. We aim to engage, not alienate.