Baru-baru ini publik dikejutkan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara dan denda 500 juta pada seorang korban pelecehan seksual, Baiq Nuril Maknun, seorang guru dari Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang dinyatakan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pada tanggal 18 November lalu, ratusan orang berunjuk rasa di area car free day Mataram dan Makassar demi menunjukkan “Solidaritas untuk Nuril”. Mereka memprotes keputusan Mahkamah Agung yang alih-alih melindungi, justru malah mengkriminalisasi perempuan korban pelecehan seksual. Petisi daring di laman Change.org yang mendorong diberikannya amnesti pada Nuril hingga kini telah menuai lebih dari 140.000 tanda tangan.
Dalam merespons protes massa, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengimbau seluruh pihak untuk menghormati proses hukum yang ada. Ia menyatakan bahwa sebagai presiden, ia tidak dapat mencampuri proses hukum. Presiden Jokowi menyarankan Nuril untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, dan jika keadilan belum diperoleh, maka Nuril dapat mengajukan grasi kepada presiden.
Banyak pihak mengkritisi respons Jokowi terhadap kasus yang dihadapi Nuril. Pertama, karena proses hukum justru berujung menghukum korban pelecehan seksual. Kedua, saran untuk mengajukan grasi dinilai tidak solutif dan tidak valid karena grasi hanya dapat diajukan oleh terdakwa bersalah dengan hukuman minimal 2 tahun penjara.
Kronologi Kasus
Nuril adalah mantan pegawai honorer di SMAN 7 Mataram. Ketika ia bekerja di sekolah tersebut, ia mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah yang bernama H. Muslim.
Pada Agustus 2012, dalam percakapan telepon, Muslim sering kali bercerita pada Nuril tentang perselingkuhannya dengan seorang perempuan dan menjabarkan pengalaman seksual dengan perempuan tersebut. Tak hanya itu, Muslim juga lanjut berbicara dengan perkataan-perkataan yang melecehkan Nuril.
Tak lama kemudian, rumor beredar terkait hubungan Nuril dan Muslim. Orang-orang di sekitar Nuril mengira ia memiliki hubungan gelap dengan Muslim. Khawatir atas rumor dan tuduhan tersebut, Nuril berinisiatif merekam percakapannya dengan Muslim untuk membuktikan dirinya tidak memiliki hubungan gelap dengan atasannya tersebut.
Desember 2014, rekan-rekan kerja Nuril mendesaknya untuk menunjukkan rekaman percakapannya dengan Muslim. Ia kemudian menyerahkan ponsel berisi rekaman tersebut pada seorang rekan kerja bernama Imam Mudawin. Imamlah yang kemudian menyebarkan salinan rekaman tersebut ke pihak-pihak lain.
Karena tersebarnya salinan rekaman tersebut, Muslim kemudian dimutasi dari jabatannya di sekolah tersebut.
Pada 17 Maret 2015, Muslim yang merasa dirugikan, kemudian melaporkan Nuril ke Polres Mataram atas pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memidana setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Orang yang melanggar pasal tersebut terancam hukuman paling lama 6 tahun dengan denda maksimal Rp1 miliar.
Nuril menjalani beberapa tahap pemeriksaan di kantor polisi hingga akhirnya ditahan. Karena kondisi tersebut, suami Nuril terpaksa berhenti bekerja untuk mengurus anak-anak mereka.
Tanggal 26 Juli 2017, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Nuril tidak bersalah karena tidak terbukti dengan sengaja menyebarkan konten yang melanggar dakwaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Pada 26 September 2018, Muslim mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang berujung pada pembatalan putusan Pengadilan Negeri Mataram lantaran tak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Mataram.
Tanggal 9 November 2018, Mahkamah Agung menyatakan Nuril bersalah dengan ancaman pidana 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta.
Putusan Hukum Gagal Memahami Kerentanan Posisi Korban
Dalam kasus Nuril, kecacatan putusan hukum justru telah mengkriminalisasi seorang korban pelecehan seksual.
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengkritik putusan MA dalam rilis pernyataan sikap yang dipublikasikan 15 November lalu. Secara garis besar, Komnas Perempuan menyatakan pentingnya melihat dimensi penindasan yang dilakukan atasan pada bawahannya. Dalam pernyataan tersebut, Komnas Perempuan menggarisbawahi:
- Tindakan Nuril merekam kejadian merupakan upaya mandiri atas haknya membuktikan dirinya mengalami pelecehan seksual.
- Menghukum Nuril berarti mengkhianati filosofi UU ITE yang fungsi utamanya adalah untuk mengentas kejahatan berbasis teknologi. Dalam kasus Nuril, ia menggunakan teknologi untuk membela dirinya dari kejahatan yang paling sulit dibuktikan dalam sistem hukum di Indonesia.
- Alih-alih memberi perlindungan, Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru telah mengkriminalisasi perempuan korban pelecehan seksual yang berupaya membuktikan dirinya tak terlibat dalam hubungan perselingkuhan dengan pelaku.
- Tindakan Nuril merekam tindakan pelecehan seksual merupakan hak Nuril dalam mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai manusia dan perempuan.
- Tidak diakuinya teknologi sebagai alat bukti sah tindak pidana pelecehan seksual telah menyebabkan kegagalan hukum melindungi korban pelecehan seksual.
Komnas Perempuan juga menyatakan putusan Mahkamah Agung tidak sejalan dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 (Perma) tentang Pedoman Hakim dalam mengadili kasus “Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum”.
Secara spesifik, Perma tersebut menjelaskan pentingnya bagi hakim untuk mempertimbangkan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban, masalah ketidaksetaraan status sosial antar dua pihak, ketidaksetaraan perlindungan hukum dan akses keadilan, serta relasi kuasa yang melumpuhkan korban.
Tak diterapkannya Perma tersebut turut menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap korban.
Mendorong Keadilan untuk Nuril dan Mencegah Ketidakadilan Serupa
Eksekusi terhadap Nuril dijadwalkan untuk dilakukan 21 November, namun dibatalkan setelah Kejaksaan Agung mengabulkan permohonan kuasa hukum Nuril untuk menunda eksekusi.
Dengan kondisi penegakan keadilan di Indonesia yang masih lemah, penting bagi masyarakat luas untuk terus terlibat dalam menyuarakan terlaksananya hukum yang adil dan berperikemanusiaan.
Kritik Komnas Perempuan terhadap putusan Mahkamah Agung atas kasus Nuril mengingatkan kembali akan pentingnya memberikan pemahaman pada masyarakat luas tentang pelecehan seksual serta pentingnya mendorong perlindungan hukum yang menjamin keadilan bagi korban pelecehan seksual.
Proses hukum yang malah mengkriminalisasi korban juga mengindikasikan pentingnya melakukan evaluasi terhadap implementasi UU ITE, khususnya pasal 27 ayat (1) terkait kasus yang menimpa Nuril serta pelaksanaan Perma yang mempertimbangkan posisi perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Kita wajib memastikan undang-undang yang berlaku di Indonesia tepat sasaran dan tidak justru merentankan posisi korban.
Penggunaan instrumen hukum untuk menghukum bawahan atau membalas dendam tak seharusnya menjadi suatu hal yang wajar.
Baca “Magdalene Primer” mengenai kriminalisasi korban pemerkosaan.
Comments